Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Sabtu, 12 Desember 2009

INDULGENSIA BUNDA


Sahabat, Fira sudah menerbitkan buku lho dengan teman-teman di Gerombolan Kreatif. Buku ini diberi judul Indulgensia Bunda yang diambil dari salah satu judul tulisan yang ada. Ada berbagai tulisan di dalam buku ini. Ada cerpen, surat, proposal, esay dan sebagainya yang semuanya kreatif dan inspiratif.

Buku ini tidak dijual bebas di pasaran, maka untuk sahabat yang berminat memesan sebagai persiapan kado di HARI IBU, segera jadilah pemiliknya yang pertama dengan menghubungi penulis : SAFIRA SAKSONO di 085266493946 atau via account Face Book:MARTHA DEWI SAMODRAWATI.
Email:fira412@gmail.com

Hanya seharga Rp 27.500 (tidak termasuk ongkos kirim di luar Jogja-tempat tinggal Fira).
Silakan transfer ke Rekening Mandiri Cabang Bangko an. TRISNO SAKSONO
Nomor rekening 1100004355134

Hubungi dulu ya kalau mau pesan, buat konfirmasi alamat pengiriman.
Semoga bermanfaat! ^_^
Maturnuwun...

Senin, 31 Agustus 2009

Tak ada yang lebih mengerti!!!


Telephon berdering di hand phone jadulku. Bapak memintaku pulang untuk sebuah acara. Ah, Bapak. Pasti engkau kangen pada putrimu inikan? Lagian acaranya tidak penting-penting amat bagiku. Setelah ujian, aku memang belum sempat pulang. Masih banyak urusan dikampus yang tidak mudah kutinggalkan. Maklum aktivis!he he he.

Pak Kades datang siang itu dengan membawa berita yang membuatku bingung untuk bersikap. Senang atau harus sedih? Entahlah yang pasti aku kadang bosan dengan hal-hal seperti ini. Pikiran burukku mengatakan, ”seakan hanya jadi obyek”. Tragis. Kasihan sekali mereka. Mereka? Aku juga kale!. Tidak, karena aku berbeda. Aku sudah merasa berdaya dan puas dengan yang kumiliki dan kurasakan. Apa kupikir mereka tidak? Mereka mungkin juga jauh lebih kuat dan tegar dengan alur hidupnya. ”Mau bagaimana lagi, mbak!”.

”Mbak, besok ada kegiatan Rehabilitasi sosial keliling untuk penyandang cacat, tadi pak Kades datang mengantarkan undangannya”.

”Acaranya apa, pak?”

”Ada pelatihan beberapa skill sepertinya”.

”Dimana, pak?”

”Di Sarolangun, besok diampiri mobil dinas sosial jam tujuh. Sepertinya mobil yang dulu pernah jemput mbak Dewi pas SD itu. Siap-siap aja di depan rumah.” Aku diam saja. Mungkin Bapak tahu kalau aku bosan dengan hal-hal seperti ini. Bapak juga tahu seperti apa putrinya. Tanpa program pemberdayaan pun aku sudah berdaya.

”Mungkin mbak malah bisa membantu tim dinas sosial”. Ucap Bapak akhirnya.

”Ouo, njih, Pak lihat situasinya dulu”.

Bapak juga sudah tahu kalau aku bahkan sudah merintis lembaga training bersama teman-teman. Materi motivasi selama ini selalu ditugaskan padaku. Entah apa maksud teman-teman. Tapi aku percaya mereka memahami aku seperti aku memahami mereka. Karena aku ”provokator” J. Bermacam-macam niat tiba-tiba mampir diotakku. Aku bisa merasakan psikologis penyandang cacat. Mereka tidak akan mampu bangkit hanya dengan motivasi yang lahir dari dalam dirinya. Apalagi jika lingkungannya menekan pertumbuhan semangat itu. Sementara mereka belum memiliki nilai yang mampu membuat mereka merasa tidak sia-sia. Mungkin suatu hari nanti bisa bekerjasama dengan dinas sosial untuk pembinaan ini. Amiin.

......

Tak ada yang bisa mengerakkan hatiku selain dari membantu memenuhi kewajiban pak Kades untuk mendata dan menyertakan warganya dalam program sosial itu. Apa yang istimewa? Aku juga pernah mengikuti aktivitas serupa. Bedanya saat itu aku masih kecil. Seingatku baru kelas tiga SD. Masih imut-imut dan lucu-lucunya J. Masak sich? Iya, karena tidak ada orang lain yang serapi dan selucu diriku di tempat itu. Kita diperiksa satu persatu oleh tim medisnya. Ditanya-tanya lalu diputuskan akan diberi alat bantu seperti apa, atau perlakuan yang menurut mereka ”tepat”. Mungkin karena aku masih terlalu dini untuk memahami program ini saat itu, aku hanya melihat bapak-bapak, ibu-ibu ada juga anak-anak seusiaku yang memiliki keunikan sendiri-sendiri dan manis menurutku. Karena mereka special. Ada yang tidak punya tangan, kaki, ada yang badannya besar tapi tingkahnya seperti anak-anak, ada bayi yang tidak tumbuh sempurna dan kepalanya besar. Aku jadi berfikir, kok yang sakit begini juga ada disini? Bukannya harusnya di bawa ke rumah sakit? Oh, mungkin memang para kepala desanya hanya asal angkut saja, urusan pilih-pilih itu urusannya para medis itu. Nanti mau diperlakukan gimana, dirujuk kemana, yang penting dapat pertolongan pertama dulu. Maksudnya dibawa ke kegiatan sosial ini. Seingatku, mereka umumnya orang-orang yang menengah ke bawah. Layanan seperti ini mungkin juga membantu. Seberapa membantukah?

Dari yang lengkap ingatannya sampai yang hilang ingatannya ada disini. Antrian yang panjang, kasihan mereka. Aku tidak pernah merasa bagian dari keterpurukan nasib mereka. Perasaan nyaman itu mungkin yang membuatku beda. Aku hanya bermain saja dihalaman sekolah yang dijadikan tempat pelayanan itu. Masih dengan seragam sekolahku yang rapi. Lucunya. Ya karena saat itu, aku dijemput Bapak ke sekolah karena mau diajak hadir di kegiatan ini.

Karena perjalanan dari rumah cukup jauh, sampai siang hari begini aku masih pakai seragam sekolah. Sementara SD yang dipakai untuk acara ini sudah ditinggalkan makhluknya eh muridnya. Anak sekolahan nieh. Bangga juga rasanya. Aku merasa lebih beruntung dari mereka. Meski sama-sama penyandang cacat, masih bisa merasakan jadi anak sekolahan, tidak sekolah di SLB tapi bersama anak-anak yang katanya normal. Padahal teman-temanku juga banyak yang ”aneh”. Masak sich, anak normal kok suka aneh? Kalau diajarin gak mudeng-mudeng, nakal tidak produktif. Meski aku juga nakal, tapi kan selalu produktif. Tepatnya sering, bukan selalu! He he. Jadi apa bedanya anak SLB dengan anak-anak yang sekolah di sekolahan normal/biasa? Saat bapak-bapak tim medis itu menanyakan adabtasiku di sekolah biasa dan menanyakan kemungkinanku masuk SLB ke Bapak, aku jadi bingung sendiri. Bukankah seharusnya anak sepertiku tidak boleh didiskriminasikan? Aku juga berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Aku juga berhak menentukan mau sekolah dimana. Buatku sudah tidak penting masalah adabtasi harus dibesar-besarkan. Justru perlakuan yang khusus akan membuat anak sepertiku tidak bermetal baik. ”Dianggap beda”. Seperti anak-anak aneh yang harus dimasukkan ke penjara yang jauh dari peradaban luar. Bukankah suatu saat nanti kami juga harus berinteraksi dengan berbagai bentuk manusia? Mengapa tidak dibiarkan saja kami menjalani proses persaingan hidup bersama. Bukan perlakuan istimewa itu yang seharusnya diberikan, tapi perhatian yang benar dalam pebinaan mental kami para penyandang cacat!

Dasar anak kecil, tapi aku diam saja saat bapak ibu para medis itu tanya ini itu. Biar Bapak yang jawab. Lagian aku tetap saja juara di sekolah. Imposibble kalau Bapak mau menyekolahkan aku di SLB. Hanya cacat sedikit ini, lagian tidak menghambatku untuk bisa berfikir normal. Huuuhhh, memuakkan!

Lagi-lagi memang aku masih begitu kecil saat itu, setelah diperiksa, aku kembali bermain dan diam-diam memperhatikan orang-orang unik disekitarku. Aku tahu, mereka juga pasti tidak suka kalau kuamati terus. Mereka bisa saja jadi minder karena kondisi fisiknya. Aku paham itu. Sebisanya aku bersikap normal atau kadang melemparkan senyum imutku. Ya Allah, Engkau menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, itu pasti!

Dhin dhin dhin...suara klakson mobil dinas sosial sudah memanggilku untuk keluar rumah. ”Mbak, jemputan sudah datang”. Ibu mengingatkanku. Kali ini aku harus pergi sendiri karena aku sudah jadi mahasiswa. Lebih tepatnya sudah sarjana. Meski tidak ada yang akan menyangkanya. Apa peduliku. Tubuhku yang awet imutnya ini selalu saja menipu banyak orang. Mereka pasti berfikir kalau aku masih anak SMA atau kalau yang keterlaluan mungkin dikira masih SMP atau malah SD J. Tidak apa-apa, itu namanya awet muda!

Dulu saat SMP aku juga pernah ikut kegiatan seperti ini. Aku dapat kenang-kenangan sepasang tongkat penyangga dari dinas sosial. Ya hanya jadi kenang-kenangan karena sampai hari ini aku enggan memakai tongkat itu yang hanya membuatku tidak leluasa berjalan. Bahkan masih berada dibungkusan plastik dan kupajang saja disudut kamarku untuk dipandangi sebelum dan setelah tidur. Tapi bukan benda yang dikeramatkan lho! Lucunya, karena aku tidak punya perasaan apapun dengan selalu melihat barang menarik itu. Harusnya kan, aku menangis kalau melihat togkat itu. Bukankah itu lambang ketidakberdayaan? Ketergantungan? Tidak demikian karena aku merasa sudah mampu menerima kenyataan ini 100%. Ya, aku seorang penyandang cacat, lalu kenapa?! Kata orang-orang dari dinas sosial dulu, kata ”penyandang” dipilih karena kami hanya menyandang gelar itu saja. Toch, tidak menutup kemungkinan orang-orang yang hari ini sehat lengkap fisiknya bisa mengalami hal yang serupa dengan kami. Buatku ini pasti terasa sangat menantang.

Suatu hari teman SMP ku yang kebetulan rumahnya juga tidak jauh dari rumah dan biasa seangkot bersama, kecelakaan. Kakinya patah. Anaknya manis eh, cantik ding. Sepertinya dia begitu tertekan. Sebagai gadis cantik yang biasanya lincah dan disukai banyak anak-anak putra, sejak kejadian itu ia seperti orang yang tidak percaya diri. Bukan seperti lagi, tapi aku yakin, pasti! Dia tidak lagi berani berbicara dengan manatap lawan bicaranya. Mungkin dia merasa begitu hina. Tiap naik turun angkot, dia begitu kesulitan. Maklum, penyandang cacat baru. He he. Lho kok diketawain, biarin biar dia tahu rasanya. Bukan itu maksudku, aku hanya melatih dia untuk menerima kenyataan dan percaya bahwa ia bisa sembuh lagi. Tiap berangkat, aku selalu berusaha menemani dan mengantarkannya sampai ke dalam kelas lalu mengunjinginya saat akan pulang. Bukan karena kasihan, tapi aku bisa merasakan beratnya menyesuaikan diri dengan profile yang baru. Padahal aku sendiri juga tidak kuat-kuat amat seandainya harus menolonya saat jatuh. Tapi setidaknya aku bisa pakai jurus sakti ”teriakan minta tolong”. Aku berharap, dengan adanya teman yang memperhatikannya, hatinya jadi lebih kuat dan ini sangat baik bagi perkembangan kesehatan kakinya. Dalam pemahamanku, stimulus positif itu begitu berkesan dalam banyak penyembuhan penyakit. Gak percaya? Buktikan sendiri! Pikiran positif dan lingkungan positif yang kita rasakan akan mempercepat penyembuhan penyakit meski tanpa obat-oabatan kimia sintetis. Karena dengan rangsangan positif ini, otak akan bekerja lebih ekstra untuk mengomandoi organ-organ tubuh untuk melakukan aktivitas penyembuhan. Coba saja kalau sedang pusing, pegang bagian yang pusing dan bacakan beberapa surat pendek dari Al Qur’an sebagai stimulus positifnya dan katakan dengan yakin bahwa pusing itu akan mulai hilang perlahan-lahan. Dijamin, tambah pusing eh enggak. Insya Allah sembuh. Tapi harus tahu dulu penyebab pusingnya, kalau karena lapar ya makan obatnya. Sambil baca-baca mantra, eh maksudnya ayat-ayat tadi, pijit beberapa titik kontak syaraf yang ada di tangan dan kaki. Wah gak rampung ntar kisahnya kalau ditambah ilmu yang ini. Kalau mau belajar hubungi nomor sekian-sekian J. Back to fokus!

Untuk aku yang sudah cacat dari kecil, biasa saja dengan hidup begini. Jadi bahan tertawaan orang, teman-teman, anak-anak kecil. Di pandang dengan tatapan yang mengasihani, atau malah dianggap tidak layak dengan posisi tertentu hanya karena cacat fisik, itu mah biasaaa!. Tapi bagaimana dengan mereka yang cacatnya baru? Mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, apa yang sebelumnya mampu dilakukan sendiri menjadi begitu terbatas. Akhirnya harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal. Ketergantungan ini dan kondisi fisik yang berubah, membuat banyak orang tidak percaya lagi pada dirinya. Bahkan tidak jarang yang akhirnya lupa dengan potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya. Ia lebih asyik dengan aktivitas barunya. Meratapi nasib dan merasa menjadi manusia tidak berguna! Wuih,..tragis! Apalagi jika ia merupakan tulang punggung keluarga atau, harapan tempat bersandar banyak orang, ia merasa menjadi benar-benar tidak berguna. Jika tidak kuat, tidak sedikit yang akhirnya memilih bunuh diri. Na’udzubillahi mindzalik! Ya Allah, seberat itukah hidup?

...........

”Martha Dewi Samodrawati!”. Panggilan itu akhirnya sampai juga diurutan namaku. Sedari pagi aku hanya mencoba berkenalan dengan manusia-manusia unik ini. Berusaha untuk membuat mereka bahagia. Dasarnya aku memang suka bersama anak-anak, semua anak kecil yang unik ini akhirnya bisa kujinakkan! Aku satu-satunya mahasiswi di sini. Paling manis lagi (narsis!). Rasanya aku salah alamat dan nambah-nambahin pekerjaan kru dinas sosial. Harusnya aku yang membantu mereka untuk urusan seperti ini. Kemampuan bersikap simpatikku tidak akan mengecewakan. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa aku juga sering membuka praktik ”pelacur” tidak resmi. Ups, jangan salah sangka dulu, maksudku pelayanan curhat gitu lho! Jadi, seharusnyalah jika aku bisa membuat orang-orang ini nyaman dengan hadirku. Bukankah aku memang ”wanita penghibur”. Tuh, kan....dilarang berfikir negatif lho! Ini kawasan ”berikat” dan terikat (pakai apa?). Terikat pada norma-norma hati yang dibuat oleh pembaca sendiri J. Ok, deal?

Hobi kenalan rupanya ada manfaatnya juga. Aku memang sama dengan penyandang cacat lainnya, tapi bedanya aku sudah masuk bagian dari sedikit komunitas yang tercerahkan. Ya, tercerahkan adalah istilah yang paling tepat. Aku merasa telah menemukan hakikat penciptaanku dan nyaman dengan apa yang kumiliki dan rasakan. Kuberharap virus motivasi positif ini akan menular lewat sapaan, senyuman dan diskusi ringanku dengan mereka. Menjadi penyakit yang melenakan jiwa. Hingga mereka tidak peduli pada orang-orang negatif yang ada disekitarnya yang selalu menularkan aura negatifnya. Ya, orang-orang negatif memang suka bawa sial! Auranya bisa mematikan sel-sel positif yang bergejolak dalam diri mereka yang butuh disalurkan segera sebelum ia digantikan dengan sel baru atau mati mengenaskan! Yap, aku akan menularkan virus itu.

......

Siapa yang tidak senang jika dirinya merasakan sinyal-sinyal penerimaan dari target operasinya? Pun aku, meski mungkin hanya hari ini bersama mereka, aku bahagia sekali. Semoga mereka bisa bermimpi lebih tinggi dari apa yang telah kudapatkan. Karena aku juga masih punya banyak stock mimpi yang akan kuserahkan pada Penciptaku. Agar Dia mengembalikan mimpiku dengan warna-warna yang mengagumkan. Aku percaya itu!

Anak-anak ini, bapak-ibu, mas dan mbak yang ada diantaraku ini. Mereka harus tahu bahwa kondisi fisik bukanlah halangan yang berarti bagi masa depan mereka. Apalagi masa depan akhir hidup mereka. Di Palestina, seorang pria pincang dan selalu bersama kursi rodanya tetap menjadi penggelora semangat perjuangan orang-orang disekelilingnya untuk mencapai cita-cita tertinggi, asma amanina,...syahid sebagai syuhada atau hidup mulia! Siapa yang tidak mengenal pria pincang itu? Bahkan Israel bangsa yang konon very very cerdas, begitu takut dengan keberadaannya. Apalah yang bisa dilakukan oleh seorang yang cacat dan harus diantarkan oleh kursi rodanya? Apa ia bisa ikut perang, bisa melatih brigade militer atau apalah....Ternyata ada hal istimewa yang ia miliki yang mungkin tidak dimiliki oleh selainnya, karena Allah menciptakan manusia dengan kunikannya masing-masing. Kekuatan ruhiyahnya jauh lebih berbahaya dibandingkan seluruh senjata pemusnah masal mana pun buatan Israel. Kedekatannya pada Pemilik nyawa, jauh lebih dekat dari tembok ratapan Yahudi. Dialah Syekh Ahmad Yassin. Pria sederhana yang tewas dibom dan berserakan bersama kursi rodanya oleh kebiadaban Israel! Orang-orang ini, disini, pasti juga punya keistimewaan, aku percaya itu. Hanya mampukah mereka mengenali dirinya dan melejitkan potensi istimewa itu menjadi sesuatu yang dikenang oleh sejarah. Setidaknya sebagai cerita positif bagi anak cucunya kelak.

”Martha kuliah di Unja?”

”Iya, pak. Di Fakultas Hukum”

”Martha, dari dinas sosial kita punya beberapa program yang bisa Martha manfaatkan. Kita menyediakan beberapa pelatihan skill di Bandung dan Jakarta. Seperti yang Martha lihat, anak-anak tadi juga akan ditangani sesuai kebutuhannya.”

” Tadi Martha bilang sudah lulus kuliah, ya?”

”Iya, pak. Baru dua pekan yang lalu saya ujian. Karena di suruh pulang sama orangtua untuk datang di acara ini, makanya saya pulang”.

”Kalau Martha bersedia, kita bisa mengirim Martha untuk ikut pelatihan yang cocok dan Martha suka”.

”Mohon maaf bapak sebelumnya. Saya sebenarnya senang sekali jika bisa mengikuti pelatihan-pelatihan itu. Saya jadi punya skill tambahan. Tapi mohon maaf, pak. Orangtua meminta saya untuk melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan UGM tahun ini. Insya Allah akhir bulan ini saya sudah harus berangkat ke Jogja karena harus ikut test penerimaan.”

”Wah, bagus kalau begitu. Bapak bangga! Semangatmu untuk kuliah tinggi. Bapak doakan semoga apa yang Martha cita-citakan terwujud.”

”Amiin! Terima kasih, pak. Jika ada hal yang bisa kita kerjasamakan, saya bersedia dihubungi, pak. Saya bersama teman-teman di Jambi juga punya lembaga training, namanya ChaMpion Leadership Centre.”

”Hehemm. Yaa. ”Ini kartu nama Bapak. Kalau pulang ke Jambi, silakan mampir ke rumah”.

”Terima kasih sekali, pak. Saya tidak akan melupakan pengalaman ini”.

......

Hampir sore ketika aku akhirnya sampai di rumah. Mobil yang mengantarkan kami harus pula mengantarkan satu-persatu penyandang cacat yang datang di program ini. Lumayan, aku jadi bisa merasakan masuk-masuk ke beberapa desa di Sarolangun. Kondisinya beragam. Ada yang jalannya sudah diaspal, ada yang masih jalan tanah dan sangat becek setelah dilalui truk barang yang biasa mengangkut karet dan sawit. Yang pasti buatku setiap perjalanan adalah hal yang menarik. Banyak pelajaran yang tak akan pernah kuterima di bangku kuliah apalagi dengan jurusan yang kupilih. Bagaimana memahami orang-orang dengan keterbelakangan mental yang kadang ngamuk, menguatkan para penyandang cacat hanya untuk mau hadir saja di acara seperti ini, masih banyak lagi. Rupanya rasa minder yang dalam membuat kebanyakan mereka hanya berdiam diri di rumah dan terisolasi dari warga sekitar. Begitu yang kutahu dari para kru dinas sosial ini. Sabarnya mereka ya. Menjemput satu persatu, membujuk, lalu mengantarnya lagi pulang. Semoga diberi balasan yang baik. Ternyata masih ada di negeri ini orang-orang yang bisa bersikap santun kepada para penyandang cacat. Maklum, dulu sewaktu kecil aku sering merasakan sikap yang tidak simpatik kecuali hanya kasihan!

Aku harus lebih baik dari teman-teman sesama penyandang cacat itu. Meski tidak sempurna, aku masih memiliki fisik yang bisa dibawa kemana-mana. Aku masih memiliki banyak potensi yang tersimpan. Aku juga bukan anak idiot. Setidaknya tidak layak bagiku untuk meratapi kondisi dengan kekayaan ciptaan Allah atas fisikku. Hatiku. Dengan merasa tidak berguna dan menjadi beban, secara sadar atau pun tidak, aku sedang memaki Penciptaku dan menampar muka-Nya dengan keluhan-keluhanku. Mengapa aku harus diciptakan cacat? Mengapa aku tidak seberutung anak-anak lain yang memiliki dua kaki sempurna. Jika mereka ingin latihan naik motor atau nyetir mobil, mereka tinggal latihan saja. Toch, dua kakinya kuat untuk itu. Sedangkan aku, kemana-mana harus diantar. Malah dulu saat masih lumpuh, harus digendong kemana-mana.

Rahman Rahiim, aku tahu semua yang Engkau beri bagi hamba-Mu adalah adil. Aku tidak pernah tahu jika saja aku bukan penyandang cacat, entah seperti apa liarnya diriku. Atau sudah jadi apa diriku. Dan bimbingan yang selalu hadir dalam hidupku ini, selalu saja membuatku merasa kuat meski sering jatuh dan jatuh lagi dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan menyenangkan. Yach,...aku harus menerima ini. Harus!

Dulu saat aku masih kecil, aku sering ingat lagu sekolah minggu yang masih kuingat hingga hari ini. Begini kurang lebih syairnya

Ada orang buta

Duduk minta-minta

Tiap-tiap hari dipinggir jalan

Pada suatu hari

Tuhan memberkati

Karena Tuhan cinta celik matanya

Celik matanya

Celik matanya

Karna Tuhan cinta dia disembuhkan!

Aku lalu mengqiyaskan dua celik mata orang buta itu dengan kedua kakiku. Saat itu, aku percaya, bahwa satu kakiku yang sempurna juga Tuhan simpan disurga seperti halnya mata orang buta itu. Hanya tinggal menunggu waktu kapankah aku akan bertemu dengan dua kaki sempurnaku di surga. Indahnya, subhanallah...Ini pula yang rupanya membuatku merasakan kefanaan dunia dan tidak terlalu berharap banyak darinya. Karena toch, yang kuharapkan adalah bertemu dengan hal-hal yang kucintai di surga. Maka ketika aku merasakan lelah yang sangat payah karena harus berjalan kaki, saat itu aku kembali mengingat lagu ini. Menghibur diri karena mengharapkan pertemuan yang abadi. Anak kecil!

Rahiim, harusnya hari ini aku masih seperti dulu. Oh, sungguh dunia begitu melenakan!

11:41 29 Agustus 2009

Aku lebih tertarik menulis ini daripada BAB IV Tesisku,...OH L.maafkan!

Lalu adzan Dzuhur mempertemukan kembali ku pada-Nya. So nice^_^.

Jumat, 21 Agustus 2009

Ucapan jelang Ramadhan

Tak henti-hentinya HP itu berdering. Dari lepas tegah malam tadi. Semua bermotif sama ”tulisan indah selamat Ramadhan dan permohonan maaf”. Kurasa ini akan terjadi sepanjang hari ini. Tua muda, kecil besar, harusnya aku membalas. Lebih tepatnya aku yang mengirimnya duluan. Tapi, maaf. Aku tidak akan melakukan ini. Meski kadang cinta harus diuangkapkan, tapi biarlah kutitipkan kata hatiku ”sama-sama Pakde, Mas, Mbak, Dik,…..”. Aku sudah memaafkan segala kesalahan orang lain padaku meski tiada yang meminta. Semoga demikian pula kalian. Maaf, aku sedang tidak punya pulsa yang cukup untuk membalas. Daripada satu dibalas lainnya tidak, lebih baik kubalas saja lewat hembusan angin yang menemaniku .


Aku mencintai kalian semua karena Allah. Selamat Ramadhan 1430 H. Semoga ujung Al Baqarah 183 menjadi milik kita.


Doakan aku komitmen dengan targetan sepanjang bulan ini.

Masa Ramadhan ini tidak akan lebih panjang

dari bulan-bulan perjuangan,

maka raih kesempatan perbekalan ini

dengan sempurna!”


Begitu tulisan yang tertera diakhir mimpi Ramadhanku yang kuhias indah dalam sebuah slide powerpoint. Romantis sekali!

10:33 21 Agustus 2009


Kado Milad untuk Mami


Menjelang 4 Desember 2009 yang tak tertebak akan bertemu dengannya atau tidak. Hari ini 10 Agustus 2009.

Maafkan aku, Mam. Jika aku harus menulis ini. Jika ini membuatmu merasa sesak. Tapi bacalah, agar engkau tahu. Agar engkau mengerti apa yang kurasakan 27 tahun ini. Aku menulisnya bukan hanya karena deadline cetak pertama buku kami. Bukan pula karena mengejar tanggal 22 Desember sebagai peringatan hari Ibu. Juga bukan karena aku baru sadar jika usiaku sudah hampir 27 tahun diawal Desember nanti.

Sekali lagi maafkan aku Mami, karena mungkin aku harus menuliskan aibmu. Aib yang seharusnya kututupi. ”Mendhem Jero, mikul dhuwur”, begitu pepatah Jawa. Tapi Mam, aku hanya ingin orang lain belajar dari masa lalu dan masa kecilku yang baru kucuplikan sedikit di tulisan ini, agar pula engkau mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada putrimu. Aku berharap suatu hari nanti, aku mampu menyelesaikan kisah hidupku. Agar anak cucuku tahu seperti apa Ibunya, neneknya. Baiknya, buruknya. Hatinya yang berbunga-bunga, fisiknya yang hancur, luka-lukanya, prestasinya, bahagianya, cintanya dan seberapa banyak orang mengakuinya sebagai seorang manusia yang berguna. Hingga kelak saat aku meninggal masih ada orang yang merasakan aku hidup lewat tulisanku. Mendoakanku, berempati padaku dan mengambil hal yang bermanfaat dari hidupku. Biarkan aku hidup untuk selamanya! Mami, doakan aku bisa mengaplikasikan mimpiku. Menulis biografiku dan kisah-kisah nyata dari orang-orang berkesan dalam hidupku. Amiin.

Teguran mengesankan itu

Mami, saat pertama yang membuatku begitu berkesan memilikimu dan merasakan kepedulianmu padaku, adalah ketika hari itu kau menegur tindakanku dengan begitu mempesona. Itu yang kurasa. Mungkin ini hanya efek dari sikapku yang selalu komitmen pada hal-hal yang kusukai. Aku suka diperlakukan dengan terhormat. Bahkan jika memang harus dimarahi pun, aku ingin dimuliakan sebagai seorang manusia. Kata orang Jawa ”di wongke”. Darinya pula aku belajar untuk memperlakukan orang lain seperti halnya aku ingin diperlakukan. Meski, maaf. Kadang aku juga sering tidak manusiawi. Mungkin.

Ketika itu Mam, engkau sering memergokiku mengambil uang jajan berlebihan di kotak uang. Karena engkau tidak pernah marah, maka jika boleh, aku ingin protes. Sebenarnya dalam satu sisi engkau juga turut bersalah telah membiarkanku mengambil dan menggunakan uang jajan harian dengan semauku. Bagaimana tidak, saat itu wadah uang kembalian toko selalu saja berisi banyak ribuan dan pecahan ratusan rupiah. Sehingga aku bisa mengambil sesuai dengan keinginanku, atau mungkin kebutuhanku? Untuk ukuran anak yang hidup di kota-kota, uang jajanku sehari bisa saja wajar. Tapi untuk ukuranku yang hanya tinggal di ibukota kabupaten, rasanya cukup mewah. Karena tidak ada batasan berapa banyak uang yang harus kuambil tiap pagi, seingatku uang jajanku makin meningkat jumlahnya setiap pekan. Berawal dari hobi mentraktir teman-teman, meski tidak banyak tapi ajeg ini, aku jadi punya kebutuhan lebih terhadap uang saku. Mami pasti tahu, sebenarnya bukan karena aku ingin diterima dan dicintai teman-temanku dengan bersikap seperti ini, karena toch mereka menyukaiku sebagai anak yang punya prestasi akademik baik dan sikap yang tidak mengecewakan. Demikian pula guru-guruku, penjaga sekolah sampai para pedagang di sekolah. Jarang ada orang yang tidak mengenalku di sekolah. Mungkin engkau akan bilang ”ya iyalah, lha wong yang fisiknya seperti mbak itu langka, pasti mudah dikenali”. Apapun analisamu, menurutku, aku anak yang cukup mengesankan. Aku jujur lho, Mam. Juga tidak sedang akting agar engkau bangga memiliki putri yang unik sepertikuJ Lagian engkau tidak pernah mengajariku ujub dan menyombongkan diri, setidaknya itu yang kutangkap. Sebagai mahasiswi fakultas hukum, pantang buatku memberi informasi fiktif, Mami J.

Mami, engkau yang mengandung, melahirkan dan menyusuiku. Meski kita sempat berpisah cukup lama. Papi yang menemaniku pertumbuhan keusilan dan kejiwaanku. Kurasa kalian jauh lebih tahu anakmu ini. Aku begitu mudah terpanggil dan selalu saja ingin membuat orang-orang tertolong dengan hadirku. Makanya aku jadi sering mentraktir teman-teman. He he he. Bukan alasan lho, Mam. Satu hal pula yang ingin kukatakan, Mam. Dulu aku tidak pernah tahu jika dibalik trik uang jajan tanpa jatah dan bebas mengambil sendiri ini, ada hal yang ingin kalian tanamkan padaku. Ini pun hanya penafsiran yang kubuat setelah hari ini aku menyadari bahwa untuk memperoleh sesuatu, kita harus pula mengorbankan sesuatu yang lain. Aku berhasil menjadi pribadi yang bertanggungjawab dengan apa yang kulakukan, Mam. Jujur setidaknya karena aku belajar dari kepercayaan yang kalian tanamkan. Kalau butuh uang lebih, toch aku tidak perlu mencuri atau pun takut untuk meminta. Karena uangnya tinggal ambil sendiri. Kepercayaan yang luar biasa yang kudapatkan dalam tiap situasi, membuatku berfikir sendiri jika ingin melakukan suatu tindakan. Pun saat aku harus mengomandoi demonstrasi disekolah pada akhir 1997. Kalian begitu percaya padaku meski aku jarang pulang dan berada dalam bahaya. Aku bisa merasakan support luar biasa itu. Aku seperti seorang wanita dewasa yang harus bertanggungjawab dengan segala hal yang mungkin terjadi. Bukan hanya pada diriku, tapi juga terhadap teman-teman se sekolah. Padahal aku baru kelas satu SMA. Masih muda saat itu, belum 16 tahun. Oh, tapi Mam, aku kehilangan hal yang lain. Aku tak pandai memanage keuangan. Mungkin menurut orang lain aku boros. Tapi apa boleh buat, kita sekeluarga selalu berkeyakinan bahwa rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tinggal berdoa saja dan diiringi dengan membuka jalan rezeki, maka rezeki itu akan datang saat kita membutuhkannya. Lagian pengeluaranku juga tidak melulu untuk hal yang sia-sia. Saat kuliah di S1 misalnya, aku yakin uang yang Mami dan Papi beri tidak akan sia-sia. Aku seorang aktivis yang pantang mengeluarkan uang untuk sekedar hura-hura. Jika pun membeli barang-barang, rasanya memang aku membutuhkannya. Meski kadang aku juga suka royal. Heemmm, terutama pada makanan dan hal-hal yang kusukai. Tak apalah sekali-kali. Tapi maaf, Mami. Tetap saja aku belum cerdas mengatur keuangan mungkin sampai umurku hampir 27 tahun ini. Doakan aku, Mam. Aku pasti bisa profesional dan proporsional!

Kemudahan rezeki yang menurut Papi datang lewat berbagai saluran itu terbukti. Hingga aku akan menyelesaikan S2 ku pun, kita tidak pernah persiapan dana kuliah. Uang bayaran yang jutaan tiap beberapa bulan datang saja sesuai dengan waktu dibutuhkan. Meski mungkin kalian harus berpusing-pusing ria untuk itu. Maafkan aku jika belum mampu membalasnya. Kurasa aku tak akan pernah mampu, Mam. Karena semuanya tak dapat dihargai lagi hanya dengan tumpukan uang. Semoga aku bisa membalasnya dengan hal lain. Doakan aku menjadi anak yang berbakti, Mami, Papi.

Oh iya, Mam. Tadi aku ingin menceritakan hal yang berkesan dari caramu menasehatiku saat hobi mentraktir itu sulit dihentikan. Engkau memanggilku, lalu kita duduk di rumah tengah, hanya berdua saja. Pelan-pelan engkau katakan padaku, ”Mbak, teman-temanmu itu juga punya orangtua. Mereka juga dipikirkan oleh orangtuanya. Mereka juga punya uang saku. Juga diberi uang jajan. Bla bla bla. Tahukah engakau Mami, aku merasa tersanjung saat itu. Kukira engkau akan membiarkan anak ”liar” ini tanpa teguran, nasehat. Kukira aku akan dibiarkan bebas sesuka hatiku. Aku bahagia saat itu. Akhirnya kita sepakat pada nominal uang saku harianku. Hanya sejumlah itu yang boleh kuambil setiap hari. Tapi maaf, Mam. Kuyakin engkau sudah mengevaluasi kebebasan yang sudah terjadi. Maka jika aku tetap masih suka mentraktir teman-temanku, kali ini jauh lebih rasional dan proporsional. Tahukan, Mam apa alasannya? Itu pun akhirnya hanya jadi hal yang momentual. Karena aku memang baik, Mami. Jadi sulit menghilangkan sifat baikku. Huuuhhh.

Dia sahabatku

Mami jangan marah, ya. Sebagai anak yang transparan, Mami dan Papi pasti tahu semua aktivitas dan segudang agendaku, intra dan ekstra kurikuler. Belum lagi hobi kreatifku yang sering membuat kamar menjadi berantakan karena berisi banyak bahan-bahan dan barang-barang kerajinan, meski setelahnya aku segera merapikan. Hobi ini pula yang membuatku kadang suka menyendiri (meski secara normal, semua orang menyukai kehadiranku, kecuali saat aku bawel dan keras). Meski kadang suka sendirian, aku tetap menjadi anak yang berjiwa sosial, Mam. Bukan karena bisa bersosialisasi dengan berbagai genk dan kelompok pergaulanku, tapi aku juga selalu ingin merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang kurang beruntung sepertiku, yang bukan anak manja dan kolokan sepertiku (biar manja dan kolokan tapi aku ngangeni banyak orang kan, Mam. Dan pasti menggemaskan J. iyaaa, kan gak bisa gede-gede, jadi imuuuut terus). Untuk aksi ini aku ingin berterima kasih kepada kalian berdua yang sudah memberi anggaran lebih buatku. Ongkos sosial. Sehingga aku bisa sedikit merasakan dan menjadi bagian dari teman-temanku yang kekurangan. Juga terima kasih, karena sudah bersedia menerima sahabatku yang hidupnya penuh tragedi untuk disekolahkan dan menjadi bagian dari keluarga kita, meski niat baik ini tak berhasil kuwujudkan. Tahu Mami, bagaimana ceritanya?

Begini.

Sore itu ditemani langit mendung, aku membulatkan tekad untuk datang ke rumah sahabatku. Itu pun setelah konsultasi dengan kalian berdua. Aku sudah gemas dan jenuh atas perlakuan kakak iparnya yang tidak manusiawi dan tidak senonoh. Meski aku masih SMP, dan gak bisa gedhe, aku merasa ini masalah serius. Tiap curhat ia selalu menangis. Tapi ia tidak punya daya untuk melepaskan diri dari keluarganya itu, karena ibunya sendiri jauh dan hanya menjadi pembantu rumah tangga yang tidak seberapa honornya. Belum lagi adik-adiknya juga butuh dihidupi. Ia sudah tidak ber-ayah. Adik-adiknya pun semua dititipkan pada orang lain untuk disekolahkan. Pun dirinya, harus rela ikut kakaknya yang bersuami jahil (maaf kalau ini salah, aku hanya mendengar dari ceritanya). Akhirnya kuberanikan diri juga untuk melihat seperti apa kakak iparnya sore itu, sekalian ingin kusampaikan niatku untuk membawanya ke rumah kita. Dengan bahasa seadanya gaya anak SMP, aku sampaikan keinginan memintanya menemaniku di rumah. Alasanku, karena aku butuh teman, itu saja!

Aku begitu sedih, karena belum pandai berargumentasi dan meyakinkan kakak iparnya. Aku pun belum pandai membuat strategi yang lain, hingga akhirnya permintaanku ditolak! Meski gaya bicaranya baik, tetap saja aku tidak puas karena keinginanku tidak terwujud. Mam. Benar-benar tidak puas! Oo, mungkin ini efek dari sikap kalian yang selalu memfasilitasiku, sehingga aku selalu berfikir aku harus dapatkan semua yang kumau J. Maaf, Mami....

Malam itu akhirnya aku pulang dibawah gerimis menuju rumah sahabatku yang lain. Mami tahu kan, siapa dia. Tempat Mami sering menjemputku sepulang dari les sore. Aku masih ingat, saat itu disebuah pertigaan, kami berpisah dan berpelukan. Hanya ada kami bertiga saat itu. Tiga anak kecil dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tiga penyayi cilik yang mengidentikkan diri sebagai AB Three, idola kami. Kami berpisah hampir tanpa suara. Hanya air mata yang mewakili hati kami. Apa yang bisa kami lakukan untuk merubah takdir yang rasanya begitu suram saat itu, terutama untuk kedua temanku. Akhirnya, satu persatu kata-kata bijak itu lahir dari lidah kami masing-masing. Kami saling menguatkan dan menasehati. Ukhh, anak sekecil mereka harus merasakan kehidupan yang pahit.

”Jika Allah mengizinkan kita akan terus bersama, mengejar mimpi kita bersama.”

”Dewi, engkau beruntung, tidak merasakan kehidupan seperti kami, doakan kami tegar dan semoga engkau kelak akan meraih mimpi-mimpimu. Doakan aku masih bisa tetap sekolah, ya.”

”Maafkan aku, tidak bisa menolongmu”. kataku terbata-bata di sela sesengukkanku.

”Terima kasih untuk kalian berdua, yang selalu ada dalam suka dukaku”. Lanjutnya. Dialog itu nyaris hanya terjadi antara aku dan sahabatku yang tanpa ayah itu. Sementara sahabatku yang satunya, nyaris tanpa kata kecuali saat pamitan. Titik gerimis yang menguyur rasanya ikut berduka, ia mencoba memahami hati kami. Romantis sekali, ya....

Saat terakhir kami bersama adalah menjelang perpisahan kelas tiga. Kami masih latihan vokal bersama. Mencoba menyanyikan lagu-lagu AB Three bersama. Masih sedikit kuingat, saat itu ada sebuah syair yang berbunyi

Pertemuan kita seakan ...... (aku lupa J)

Menghapus sgala salah prasangka

Kisah cinta kita

bagai melodi yang terukir indah terbebas dari sgala kesalahan...

Dan segala cobaan....

Hari ini aku bahagia (na na na)

Mencoba tuk berdoa

Semoga cita-cita kita (na na na)

wah dah lupa nich!

Lagu ini tertuju bagi kisah persahabatan yang hilang diderai gerimis kota Bangko. Aku ingin mengingat syairnya kembali, tapi apa ya judulnya. Semoga kalau AB Three membaca tulisan ini, ia berkenan mengirimiku albumnya J. Karena kendala teknis, lagu perpisahan ini pun tak mampu megakhiri kisah cinta kami. Semua hanya bisa tampil solo dengan lagu cadangan masing-masing. Mami masih ingat, kan? Begitu sibuknya aku mencari kostum untuk pementasan. Untungnya aku hanya tampil pada moment perpisahan dan lomba-lomba. Coba kalau sering, pasti Mami akan ngomel-ngomel terus. He he he. Waktu itu aku nyanyi lagunya Nike Ardhila. Ya, memang jenis musik begini yang kami suka, Mam. Dulu aku alergi berat sama DangDut. Karena saat itu kesannya kurang baik buatku. Pun hingga hari ini, aku tetap suka musik, terutama musik klasik dan instrumentaliaJ

Biarkan aku memilih lagi

Iya, Mam. Ngomong-ngomong soal musik, aku jadi ingat kebiasaan kita kalau malam mingguan. Di halaman rumah kita akan ramai sekali dengan bunyi-bunyian. Ada yang main keyboard, gitar, kencringan, harmonika atau kadang malah Papi ngeluarin gamelan. Ada Slendro atau Pelog. Untung gong nya tidak dikeluarkan. Tapi heran ya, Mam. Tidak satu pun alat musik yang aku kuasasi meski Papi sudah berusaha menyediakannya. Aku lebih suka bernyayi dari pada main musik. Padahal pak Pendeta Simanjuntak sudah diminta khusus sama Papi untuk melatihku main keyboard dan organ. Tetap saja sama, aku hanya bisa bernyanyi Denpasar Moon karena menghapalkan notasi angkanya. Mami mau tahu apa alasannya, kenapa aku tidak berminat main musik? Banyak Mam, diantaranya aku tidak sabar, saat latihan gitar jariku jadi pedih, bengkak-bangkak. Saat latihan organ, Papi bilang nanti kalau sudah mahir bisa jadi pemain organ di gereja. Padahal saat itu aku sudah merasa menjadi seorang muslim. Maaf, Mam yang pasti ego keislamanku jadi ikut berbicara. Sebenarnya aku juga belum tahu banyak tentang Islam. Makanya tiap Natal dan Tahun Baru aku tetap saja membaca liturgi dan dapat hadiah di gereja, hanya saja aku tidak pernah punya ruh untuk menjadi seorang Nashrani. Itu yang mungkin membuat kita berbeda. Jika Mami muslimah yang akhirnya begitu khusyuk menjadi Nashrani. Sedangkan aku sebaliknya. Aku merasa menikmati petualangan ruhiyah yang fantastis selama aku menjadi seorang muslimah, meski Ayah Ibuku Nashrani. Makanya, kalau ada apa-apa yang dihubungkan dengan gereja, aku pasti akan mundur teratur. Seperti motivasi belajar keyboard misalnya. Padahal sebenarnya tidak harus sesaklek itu. Lagian aku bisa belajar lagu-lagu selain yang ada di Kidung Jemaat. Tapi mau gimana lagi, pak Pendeta selalu saja mengajari notasi Kidung Jemaat. Mami dan Papi juga tahu, aku anak yang santun. Aku tidak akan mendebat dan membantah kedua orangtuaku yang mulia. Atau menolak saat proses belajar sedang berlangsung. Makanya aku lebih baik bermalas-malasan saja. Mohon maaf, Mami, Papi tidak semua hal yang kalian minta dapat aku turuti. Dalam hal muamalah, apa pun akan aku berikan semampuku jika itu membuat kalian bahagia, tapi dalam hal Aqidah, Ibadah, dan Akhlaq Islam, biarkan aku memilih hidupku.

Jujur, Mam. Aku begitu merasakan hal yang fantastis dari kehidupan kita. Terlepas dari beban-beban perasaan yang pasti kita rasakan meski itu takkan terucap. Kupikir jika ada penghargaan keluarga bertajuk kerukunan antar umat beragama, seharusnya kita menjadi nominatornya. Bagaimana tidak, Mam. Papi yang seorang Pinitua gereja pengurus resort Lintang Bukit Barisan GKPI, yang mengkoordinasikan gereja-gereja di Jambi, dan Mami seorang bendahara gereja, punya seorang putri aktivis dakwah kampus. Aku pun bukan aktivis biasa, Mam. Dulu hidupku dari hari kehari hanya berputar pada aktivitas dakwah kampus yang kadang juga perlu banyak pembenahan management agar efektif. Berbusa-busa kata dan ide yang termuntahkan dalam tiap rapat. Hingga kami saling menjuluki satu sama lain sebagai angkatan enam enam (66). Hanya karena berangkat pagi jam enam dan pulang sudah jam enam lagi. Mungkin di Jawa pukul enam itu sudah siang, karena subuhnya pukul 04.00 dini hari. Tapi Jambi, ya lumayanlah. Embun pun masih belum tersibak. Semoga ini menjadi evaluasi bagi mereka yang masih peduli pada pencitraan yang baik bagi kampus untuk lebih efektif dan efisien dalam koordinasinya. Agar waktu yang begitu banyak tidak sia-sia hanya di forum-forum rapat dan rapat (syuro’). Sehingga julukan ahlul syuro wal jama’ah terpaksa mereka sandang. J.

Aku juga ingin minta maaf, Mam. Jika seringkali saat kalian datang jauh-jauh dari Bangko ke Jambi hanya bertemu denganku sesaat atau hanya malam hari saat aku sudah merasa lelah. Saat itu, aku tak dapat meninggalkan agenda-agendaku, Mami. Jikalah ada peran pengganti. Tapi aku yakin kalian paham. Karena kalian juga akyivis sepertiku. Bahkan pulang ke rumahpun terkadang sudah tengah malam karena aktivitas yang dipisahkan berkilo-kilo jarak. Aku juga masih ingat betapa saat SMA aku sempat merasa kurang diperhatikan. Jika saja saat itu aku bukan ketua OSIS, bukan aktivis LSM, bukan juara sekolah, dan tak ada yang peduli dengan segala perilakuku, mungkin aku sudah jadi anak yang tidak ”bener”. Bagaimana tidak, Mam. Setiap opersi narkoba yang kulakukan bersama sta-staf di OSIS dan para guru, ada beraneka jenis obat-obatan yang bisa kukenali dan jadikan mainan. Alhamdulillah, posisi juga yang menyelamatkanku. Hingga kuputuskan untuk mengenal dekat dengan narkoba agar aku bisa membentengi diriku. Maka hampir tiap bulan ada-ada saja kegiatan yang kuadakan disekolah terkait dengan ”perkenalan” dengan narkoba. Kadang ada bapak-bapak dari kepolisian yang datang, kadang dari kejaksaan, dari kehakiman pokoknya semua yang bau-bau hukum harus menyicipi sambutan kami disekolah. Dengan catatan mereka harus mengenalkan kami dengan ilmu-ilmu hukum.

Mami, Papi, dengan perbedaan agama ini, kadang aku berfikir begitu kuatnya Papi dan Mami menahan malu karena memiliki anak sepertiku diantara keluarga-keluarga gereja yang lain. Tapi Mam, percayalah. Kalian tidak akan pernah rugi memiliku. Aku tahu, aku istimewa. Tidak ada seorang pun yang sama denganku. Aku begitu beruntung dan merasa berharga dengan kehidupan yang kujalani. Tapi Mami dan Papi juga tidak perlu khawatir kalau aku akan menjadi pribadi yang sombong. Aku ini hanya seorang hamba. Seperti nama yang Papi berikan padaku, aku hanya seorang Martha, Pelayan. Dan doakan aku tetap setia memakai makna dari nama itu untuk melayani ummat hingga akhir usiaku ini. Terima kasih Papi, untuk nama yang engkau berikan, penuh inspirasi. Meski hari ini banyak yang memanggilku Safira. Sebenarnya ini berawal dari hobiku berpetualangku, aku ingin menamai diriku dengan kebiasaan shafar, sebagai seorang musafir. Tapi akhirnya kepeleset jadi Safira yang sebenarnya lebih tepat bermakna ”Duta”. Maka nama yang kupakai saat pertama kalinya aku bersyahadat pada 1 Desember 2001 itu adalah Safirah Jannah (Duta Syurga). Padahal aku inginnya Shafiratul Jannah (Orang-orang yang dalam perjalanan ke surga). Maaf, Mam. Aku tidak pernah cerita tentang syahadatku. Karena buatku ini hanya upaya legal formal. Syahadat (kesaksian) ku yang sesungguhnya ada di sini, didalam lubuk hatiku yang tergetar saat kata-kata mulia itu pertama kali kuucapkan.

MERAH !!!

Mami, mungkin cerita ini hanya menjadi penggal-penggal yang tak utuh yang Mami, Papi juga teman-teman di Jambi tahu. Tapi biarlah, setidaknya suatu saat nanti saat harus merangkainya kembali, surat ini bisa membantuku.

Mami masih ingat saat melepaskan kepergianku ke Jogja bersama Tria? Ya, waktu itu kita berdoa bersama seperti biasa sebelum kita berangkat ke suatu tempat atau hendak beraktifitas. Aku berdoa dengan caraku, dan engkau berdoa dengan caramu. Bait-bait do’a ikatan hati kulemparkan ke penjuru ruang. Berharap malaikat hadir dan mengamininya. Aku tidak kuat menahan linangan air mata dan sesak di dada saat itu. Mudah terenyuh dan menangis memang diantara ciriku, tapi kali ini beda. Aku akan pergi ke negeri seberang dan menemui orang-orang asing dalam hidupku. Meski Jogja tidak terlalu jauh, tapi aku juga harus berjuang mewujudkan mimpi kalian. Lulus di kenotariatan UGM. Bukan tidak ingin kuliah di UGM, Mam. Engkau juga tahu saat SMA aku sangat berharap bisa diterima di kampus itu. Bahkan aku sudah menutup hatiku untuk UNJA, satu-satunya kampus negeri di propinsi Jambi saat itu. Meski aku bisa melenggang masuk tanpa tes. Mungkin diantara pergolakan batinku adalah, aku akan bersaing dengan orang-orang yang berada pada jurusan yang sama sekali tidak kuminati. Tapi kecamuk ini sesungguhnya kurasa telah selesai setelah aku menangis semalaman dan meminta agar Allah menguatkan hatiku. Allah tunjukan bahwa ini pasti yang terbaik bagiku. Permohonan itu telah kupanjatkan beberapa bulan sebelumnya kalian menyatakan dengan resmi rencana menyekolahkanku di kenotariatan. Habis sudah hatiku saat itu. Padahal, aku hanya berharap menjadi seorang dosen atau anggota legislatif. Di kelas hukum administrasi negara awal kuliah, seorang dosen pernah bertanya padaku alasan memilih jurusan ini. Dengan penuh emosi mungkin dan kemantapan hati kukatakan ”saya sudah muak dengan birokrat negeri ini yang tidak beres membuat undang-undang. Biar saya yang akan menggantikan mereka, pak!” Banyak peraturan timpang-tindih. Mana upaya sinkronisasinya? Undang-undang Perseroan Terbatas saja tidak kompak dengan BUMN. Belum lagi birokrasi, standart pelayanan minimal untuk rakyat jarang ada yang jelas. Urusan dengan pejabat sering jadi urusan yang memakan banyak waktu dan menghabiskan uang. Capek!

Mami, aku hanya seorang mahasiswi biasa yang pernah merasakan menyalanya fakultasku di awal-awal tahun kuliah. Menikmati suasana panas, ceceran darah, perkelahian dan permusuhan yang seakan tak pernah ada akhirnya. Aku lelah. Bahkan selama menjadi mahasiswi fakultas hukum saat itu, aku jarang terlihat di kampusku kecuali pada jam-jam kuliah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, rasanya lebih adem untuk mangkal. Ada suasana yang berbeda antara mahasiswa hukum dan calon guru. Mungkin ini lumrah dan sunatullah. Aku yang setiap saat menerima hal-hal berbau sekuler, atau juga filsafat, atau pemikiran-pemikiran bebas dari para ilmuan yang kudapat bukan hanya lewat buku, tapi juga lingkungan akademik, membuatku haus akan sesuatu yang menyeimbangkan pertumbuhan pemikiranku. Aku lelah, Mam. Begitu lelah. Jiwa pemberontakkanku menguat saat aku mulai memasuki semester tiga. Aku benar-benar tidak betah dengan pemandangan disekitarku. Mahasiswa yang mabuk dipinggir ruangan. Puntung rokok yang berserakan, pergaulan bebas, begitu murahnya laki-laki dan perempuan berangkulan, atau kadang aku yang sering iseng harus memergoki kakak-kakak tingkatku memakai barang haram di belakang kelas. Belum lagi sebuah insiden pembunuhan yang terjadi di koridor kelas, dan segala perkelahian yang hanya layak dilakukan oleh orang-orang yang otaknya tidak diisi kecuali dengan hal-hal tidak berguna.

Terkadang aku berfikir, situasi ini mungkin akan mematikan hatiku dan membentukku menjadi makhluk aneh yang hanya pandai berdebat dan mengucapkan segudang teori-teori hasil reduksi pemikir barat yang tak kumengerti ujung pemikirannya selain dari kehidupan yang hedonis dan sekuler. Bukan aku tidak bangga dengan gelarku sebagai mahasiswa fakultas hukum saat itu. Sebagai mahasiswa yang paling ditakuti di kampus Unja! Saat OSPEK, dengan teriakan tertahan, aku sudah mencium lantainya dan membunuh segala keegoan dan keterpaksaan untuk berada di jurusan ini. Aku berharap bisa membahagiakan kalian berdua dan guru-guruku yang meminta agar aku masuk ke fakultas hukum. Dua hari diawal masuk kampus ini begitu tragis. Tiada istilah lain yang dipilih oleh teman-teman dari dalam maupun luar fakultas selain kata ”pembantaian” dalam OSPEK. Mungkin ini berlebihan. Tapi mungkin pula ini adalah persiapan mental kami untuk masuk ke dunia rimba yang hanya mementingkan kekuatan otot ini. Lalu aku menjadi peserta terbaik di acara yang ”gila” itu. Seremoni yang seumur hidup tak akan pernah masuk dalam daftar pembinaan terhadap kepribadian. Alhamdulillah, ditengah kegersangan situasi ini, aku masih bisa berobat dengan wajah-wajah teduh disekitar kampusku. Bukan hanya suara monyet dan gemerisik dahan, tapi juga dari pribadi-pribadi yang menjadi saluran ketegaranku.

Setapak demi setapak namun pasti, kegersangan itu mulai menipis. Fakultas yang dulunya hanyalah tempat ”angker” tempat Jin buang anak kata orang-orang, mulai dihiasi dengan rona yang segar. Meski jujur, aku sempat menjadi orang ter-aneh diantara teman-teman se-fakultasku. Usai syahadat di tahun pertama, aku memutuskan untuk tidak mengobral auratku pada orang-orang yang tidak berhak melihatnya dan akan tersiksa karena kelakuanku. Aku menemukn komunitas baru. Komunitas yang membuatku berani memiliki mimpi untuk memperbaiki sistem dan menjadi problem solver masalah-masalah di fakultas ini. Indah, bukan? Ya, karena kita memang harus bermimpi, dan biarkan Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu. Lalu mengembalikan mimpi itu dengan berbagai warna yang menakjubkan. Saat itu, mimpimu telah terjawab!

Pakaian taqwa yang kukenakan nyaris menjadi tontonan yang unik setiap kali aku melintasi jalan-jalan di sepanjang fakultas. ”Aku jadi bahan perhatian”! Ups, keren J. Ada hal yang selalu menguatkanku dan membuatku tetap percaya diri dengan pakaian ini dan cara mereka memandang. ”Aku pasti terlihat unik, lagian mereka belum tahu apa gunanya pakaian aneh ini”. Biarlah mereka belajar. Dari buku, ceramah, internet atau apapunlah. Bukankah di era ini tidak lazim kalau ada orang yang mengatakan saya tidak tahu ini dan itu sementara ia tidak pernah mempelajarinya dan berusaha cari tahu. Segala fasilitas telah tersedia. Tinggal satu fasilitas lagi yang harus disediakan sendiri, ”bunuh kesombongan dan keegoanmu lalu mulailah untuk memakai mata hati yang masih bersih”.

Aku hanya mampu berdo’a agar Allah mengirimkan orang-orang baik yang bisa mewarnai kebobrokan ini. Pelan tapi pasti, aku yakin doaku didengar. Hingga hanya air mata saja yang masih kumiliki untuk mengekspresikan jeritan syukur hatiku. Hari ini, aku yakin adik-adik tingkatku memiliki ujiannya sendiri. Semoga mereka tidak sekasar aku J. Tidak seanarkis aku! Lihat saja dari bahasa tulisku. Jika layak diberi warna kuyakin sama dengan warna khas fakultasku. MERAH!

Jogja telah membunuhku!

Manusia hanya bisa berencana dan hanya Tuhan yang menentukan! Aku sepakat dengan kalimat itu. Tapi ada hal yang harus dilanjutkan. Aku selalu diajarkan untuk mempengaruhi pikiranku tentang hal yang kuinginkan. Itulah sebabnya aku sangat percaya dan peka dengan alur dan kekuatan pikiranku. Jika aku merasa mampu, aku pasti mampu melakukannya. Ternyata memang demikian adanya ”Allah di atas persangkaan hamba-Nya”. IndahnyaJ

Bermodal tekad dan niat bulat untuk belajar mencintai hal yang tidak kusukai karena cintaku pada kalian, kuberanikan diri untuk mengikuti test masuk Magister Kenotariatan UGM. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus lulus dan aku yakin pasti lulus, insya Allah. Tiga bulan sudah aku mempersiapkan hatiku untuk meninggalkan Jambi dan semua orang yang membuatku menjadi merasa berarti. Beraneka reaksi mereka sesungguhnya sama dengan apa yang kurasa. Berat untuk berpisah. Saat itu pula aku dan tim kecilku sedang membidani kelahiran sebuah wadah potensi kami. Sebuah lembaga training. Kami punya banyak mimpi, Mam. Mimpi itu baru belajar berjalan dalam step-step yang tak tertebak. Tapi kami tahu apa yang kami inginkan.

Tiga bulan ternyata pula bagian dari skenarioku untuk menanti dan merasakan derita yang panjang. Pendaftaran ujian skripsiku harus tertunda karena masalah kurikulum yang kurang terprediksi sebelumnya. Maklum, sosialisasinya tidak masif. Tapi apa boleh buat, aku hanya punya waktu tiga bulan lagi untuk berkesempatan test di UGM atau harus rela menanti sampai tahun depan!

Ridho Allah di atas ridho orangtua adalah bagian dari senjata utamaku selain keyakinan yang telah kutanam dalam-dalam, aku pasti lulus insya Allah. Mungkin ini cara-Nya untuk membuatku mampu melepaskan Jambi perlahan-lahan. Dengan sedikit berjuang akhirnya aku menjadi satu-satunya mahasiswa di angkatanku yang dapat lolos ujian akhir. Sebabnya sederhana. Sifat iseng dan coba-cobaku ada hasilnya. Dulu, saat kurikulum baru ditawarkan, aku mencoba mengambil beberapa mata kuliah yang kurasa menarik. Akhirnya aku tidak harus mengulang banyak mata kuliah yang tersisa seperti teman-teman dan kakak tingkatku yang terjebak kurikulum. Hanya beberapa langkah dan bantuan yang luar biasa dari para dosenku yang rasanya seperti orangtuaku sendiri, akhirnya aku dinyatakan dapat mengikuti ujian. Dan hal yang sampai hari ini begitu membekas dari peristiwa itu. Akhlaq yang baik dan kesabaran sering memberi banyak peluang saat yang lain tidak mendapatkannya. Mengikuti prosedur, menghindari konflik, lalu semangat melanjutkan kuliah ternyata membuat jalan ujianku mulus! Aku nyaris tidak banyak persiapan untuk itu. Hanya sehari sebelumnya aku sempat minta izin untuk tidak hadir rapat instruktur sebuah acara karena esoknya akan ujian. Jadilah aku mahasiswi yang punya rekor akademis cukup lama. Sebelas semester! Dengan IPK pas-pasan hanya 3,5. itu pun ada nilai Cnya 3. Jujur aku malu. Malu pada planning-planningku dulu saat baru masuk kampus. Sedih, karena saat wisuda Mami dan Papi tidak dipanggil untuk menerima penghargaan atas prestasiku. Tidak seperti dulu saat aku masih sekolah. Maafkan aku....

Mami, masih ingat ucapanku saat baru tinggal di Jogja? ”tiap dengar suara pesawat, aku ingin pulang!”. Katamu waktu itu ”bukannya pesawat lewat hampir tiap lima menit, mbak?” ”Iya”. Kataku. Lalu kalian berdua menghibur sulung yang kolokan ini dengan berbagai motivasi dan harapan. Sejenak aku bisa tenang. Tapi selanjutnya aku tetap hanyut dalam kehidupan putri dalam cermin atau putri di balik jendela seperti toto chan. Atau apalah lainnya. Aku jadi pemalas, Mam. Mungkin juga sampai sekarang. Setelah subuh dan tilawah, aku begitu malas beraktifitas. Hanya di tempat tidur, baca, lalu dibaca oleh buku karena aku sudah tidur! Hidup yang membosankan! Untungnya masa penantian menuju kuliah tidak terlalu lama. Bisa amnesia aku kalau tidak produktif begini. Kalau pun aku berada di depan komputer, aku hanya memutar musik-musik instrumentalia, lalu mengenang kenangan-kenangan selama di Jambi dan menangis. Oh, lucunya. Aku shock budaya, shock situasi. Bagaimana tidak, sebenarnya bukan kalian saja yang selalu melayaniku tapi juga teman-temanku. Kalau dulu aku tidak pernah mengangkat tas yang berat sendiri, di sini aku harus melakukannya. Mengangkat air seember. Pegal semua badanku! Aku bukannya tidak pernah bekerja. Bahkan nyaris semua pekerjaan aku bisa. Mulai dari membuat perabotan rumah sederhana, memperbaiki saluran listrik meski harus manjat-manjat, saluran air, mengecat, pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan meski bukan kewajibannya. Seperti memasak, menjahit, menyulam, mencuci, apa lagi ya... yang pasti semua hal yang bisa dilakukan fisikku, kurasa tak ada yang tidak dapat kulakukan. Karena hal yang belum dapat kulakukan saat ini adalah lari! Bedanya, aku selalu melakukannya dengan senang hati dan selalu ada orang yang siap membantuku. Karena badanku kecil dan tidak terlatih mengangkat yang berat, jadi wajar kalau aku kurang nyaman dengan hal yang satu ini. Tapi di sini aku harus melakukan semuanya sendiri! Kadang aku juga berfikir, apa mereka tidak bisa lihat kalau kakiku cacat. Untuk berjalan saja aku harus memegangnya dengan tangan kanan. Kalau harus mengangkat barang yang berat dengan satu tangan kiri, logikanya pasti melelahkan. Atau karena aku orang asing jadi masih pada segan. Lagian aku memang sulit mengatakan kata ”tolong” pada orang asing. Begitu, Mam. Akhirnya aku capek sendiri. Mana ada teman-temanku di Jambi yang tega melihatku mengangkat tas? Aku baru merasakannya di sini. Oh, belajar itu perlu pengorbanan dan sedikit kelelahan....

Lelah itu hal kecil, Mam. Karena hanya urusan fisik. Tapi hal yang besar bagiku adalah saat aku lelah tanpa aktivitas. Semua potensiku mati. Akhirnya aku berusaha untuk mencari aktivitas dengan melamar sebagai freelance announcher di sebuah radio. Perjalannanya mulus, aku diterima. Lalu training dengan banyak pengalaman baru yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Jadi karyawan. Pufffff,... jangan pernah bercita-cita meski senyaman apapun posisi anda. Tetap saja kita hanya bawahan yang harus diatur dengan berbagai hal. Mungkin karena terbiasa hidup bebas, aku harus menahan hati sekuat-kuatnya untuk bisa bersikap profesional. Aku baru tahu, kenapa aku dipilihkan program kenotariatan dan kalian ingin aku menjadi Notaris. Ini emang pilihan yang tepat, Mam. Setidaknya kelak aku akan memiliki kantor sendiri dan bisa bekerja dalam usahaku sendiri. Tidak menjadi bawahan siapapun, hanya terikat pada aturan tapi tidak pada tekanan dan tuntutan managemen di atasnya layaknya atasan dan bawahan.

Aku bersyukur, Alhamdulillah hampir dua tahun aku bergabung dalam perusahaan penyiaran ini dengan berbagai pengalaman baru. Dan pastinya diriku yang pembosan ini harus kembali berpetualang untuk meraskan hal baru berikutya. Yap! Petualangan belum berakhir!

Mam, aktivitas ini belum cukup buatku. Meski sudah ditambah beberapa organisasi mahasiswa pasca baik di fakultas atau lintas fakultas, rasanya aku tetap saja tidak bisa merasakan hawa Jambi di sini. Segalanya serba baru, aneh! Aku akhirnya mendaftar pula di sebuah pesantren mahasiswi yang kuliahnya hanya pagi setelah Subuh dan malam setelah Isya. Aku lagi-lagi harus beradabtasi. Adik-adik ini begitu tidak sopan dimataku. Mungkin karena memang wajahku yang sering membuat orang tertipu meski aku tidak pernah berniat demikian, aku diperlakukan sama dengan anak-anak kecil yang baru kemarin masuk kampus! Atau mungkin karena wajah manja dan kekanak-kanakanku juga yang sulit dihilangkan, sehingga kesan masih muda dan cilik selalu saja melekat padaku. Di satu sisi aku senang karena awet muda, tapi disisi lain kepribadianku menjadi rapuh! Bahkan hal yang paling menyakitkan bagiku adalah ketika orang-orang yang berpengaruh di sini memperlakkanku seperti layaknya anak SD. Aku yang biasa hidup dalam tanggungjawab dan kepercayaan bersama kalian dan orang-orang di Jambi, harus rela diperlakukan sebagai pribadi yang harus diarahkan dari A sampai Z! Apa tidak tahu, aku ini mahasiwa pascasarjana! Cobalah untuk bermain sedikit cantik. Tidak selamanya dengan meremehkan orang lain kita akan terlihat dewasa. Aku juga sempat sakit hati karena harus dipanggil ”dik” oleh orang-orang yang secara usia sebaya dengan adik-adikku. Ya Allah, begitu imutkah aku?! Rasanya aku salah masuk asrama. Itu selalu yang tertanam dihatiku.

Satu tahun sudah berlalu, tapi rasanya aku makin muak saja dengan Jogja yang lebih banyak dihuni orang-orang yang tidak bertata krama. Kata sapaan ”kamu” mungkin biasa untuk sebagian orang, tapi ini tidak pernah diajarkan dirumahku! Apalagi jika yang mengucapkan seseorang yang jauh lebih muda! Kalau diterjemahkan dalam bahasa Jawa akan menjadi ”kowe” selain nama lain dari ”anak kera” juga tidak ada sopan-sopannya jika dipakai untuk memanggil orang tua. Berat sekali rasanya memanggil ”mbak” sampeyan atau jenengan. Padahal begitu banyak orang Jawa yang kutemui. Lebih risihnya lagi, sesama orang Jawa pun harus pakai bahasa Indonesia saat komunikasi non formal. Dulu Tria pernah mentertawakan ini. ”Aneh ya, mbak. Orang Jawa, tinggal di Jawa kok pakai bahasa Indonesia. Udah gitu logatnya tetap saja totok dan mendhok Jawanya” Ya, memang jadi lucu. Dan satu lagi ngumuni!

Lama-lama biasa juga aku, Mam dengan semua ini. Sampai ketika Lilik bertanya “mbak, kok ngomong sama Lilik pakai bahasa Indonesia, kita kan orang Jawa.” Malu rasanya, anak lima tahun yang lahir di tanah seberang yang harus hidup dengan berbagai bahasa itu saja bisa bicara dalam bahasa Jawa, kok yang di Jawa sepertinya malu pakai bahasanya sendiri. Sebenarnya siapa sich yang memalukan ya, Mam. Bukan apa-apa, jika dengan gaya bahasa demikian ia jadi lebih beretika ”it’s ok buatku. Tapi masalahnya, bahasa Indonesia itu begitu umum. Tidak ada spesifikasi tata kramanya. Kalau mau dicampur mungkin lebih baik. Lagian siapa yang mau protes kalau orang Jawa pakai bahasa Jawa. Aku yang tinggal di Jambi tetap saja pakai bahasa dusun kalau berkomunikasi dengan orang dusun. Atau bahasa Minang jiwa bertemu orang Minang. Bahasa Palembang kalau bersama orang Palembang. Setidaknya bahasa Indonesia jika aku tidak menguasai bahasanya. Sebenarnya yang kuharapkan tidak banyak. Mohon jangan permalukan keluarga kita dengan kejelekan adab hanya karena masalah bahasa. Apa lantas jika orang Jawa memakai bahasa Jawa lalu terlihat katrok, ndeso! Bukankah yang ndeso itu yang unik? Aku masih ingat teman-temanku yang begitu suka jika diajari bahasa Jawa yang baik. Katanya pingin jadi orang Jawa. Begitu pun para turis asing, mereka ingin belajar banyak tentang budaya Jawa yang adi luhung.

Maaf, Mi. Aku curhat panjang tentang bahasa bukan karena Papi sebagai pelopor pelestarian budaya Jawa di perantauan khususnya Sarolangun dan Merangin, tapi karena aku sering diperlakukan tidak nyaman hanya karena adab. Etika mereka menunjuk dengan tangan kiri, teriak-teriak jika memanggil. Rasanya tidak ada dalam etika Jawa kelakuan tidak sopan seperti itu. Kalau di Sumatera biasa menunjuk dengan mulut dimonyongkan, aku bisa memahami karena kita masih punya banyak hutan. Alam sering kali mengajari kita cara bersikap. Seperti dalam kisah pembunuhan Habil dan Qobil, Qobil menguburkan saudaranya karena melihat contoh seekor burung menguburkan saudaranya dengan mengali-gali tanah. Kalau di Sumatera masih banyak kera yang suka memonyongkan mulutnya untuk menunjukkan sesuatu, mungkin ini jadi inspirasi kita disana. Meski setelah mengenal budaya yang lebih baik, akhirnya sudah banyak juga yang meninggalkan gaya ini. Karena apalah gunanya diciptakan tangan kanan yang indah jika tidak disyukuri untuk hal yang baik. Kecuali nikmat itu sudah hilang dari fisik kita. Ya kan, Mam?

Mam, sebenarnya ada hal yang begitu membuatku terluka selama di Jogja saat aku merasakan sakit yang serius selama tiga bulan. Karena kita keluarga shinse, aku tetap bertahan untuk tidak memasukkan racun ke tubuhku dengan mengkonsumsi obat-obatan kimia sintetis. Buat orang yang buta tentang pengobatan yang holistic dan back to nature, pastinya aku akan dihakimi dengan kata-kata yang pedas. Kalau sudah dihubungkan dengan agama, ini akan makin terasa menusuk. Begitulah dunia. Banyak orang yang baru belajar sedikit tapi merasa sudah mengetahui semuanya dan bersikap sombong dengan apa yang ia punya. Semoga Allah menjaga kita dari sifat syetan ini.

Berawal dari ketidak taatanku pada setiap instruksi penjagaan fisikku, akhirnya aku merasakan sakit yang seumur hidupku mungkin paling menyiksa. Bukan hanya karena badanku lemah dan sekujur tulangku rasanya mau lepas, kepalaku pusing, mual, suhunya aneh tiap pagi dan sore hari, tapi yang paling menyakitkan adalah banyak orang yang ”mungkin” risih melihatku yang hanya bisa berbaring saja. Karena memang terkadang kondisiku membaik sebentar-sebentar. Aku merasakan ekspresi yang menyakitkan, seolah ucapan dan tatapan-tatapan itu tidak bisa sabar dengan sakitku. Aku mengerti, mugkin begitu cara orang-orang ini mengekspresikan cinta dan perhatiannya. Tapi aku juga tidak nyaman dengan kondisi ini. Jika aku yang merasakan deritanya bisa sabar dan meguatkan hati untuk menjalaninya sebagai bagian dari penghapus dosa-dosa kecilku, mengapa orang lain yang tidak akan kurepotkan menjadi demikian tidak sabar. Tidak tahukan bagaimana rasanya? Aku bahkan, maafkan aku ya Allah, telah meminta untuk disegerakan kematiannya jika ini baik bagiku. Aku tahu tidak baik doa seperti ini. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan, bahkan aku begitu lelah dengan orang-orang aneh itu. Begitu bodoh dan rendahkah aku sehingga perlakuan yang tidak nyaman ini harus kuterima justru disaat aku merasakan sakit yang membuatku harus menulisakan surat wasiat? Tapi memang benar, Mam. Allah tidak menguji hamba di luar dari kemampuannya. Dan dikatakan sabar adalah saat puncak dari hal yang tidak nyaman itu terjadi sedangkan kita bisa menyikapinya dengan baik.

Ini belum seberapa Mami. Ada hal yang benar-benar menyakitkan bagiku. Dalam kondisi hidupku yang rasanya sudah tidak lama ini, aku masih juga dihakimi sebagai seorang musyrik. Masya’ Allah. Hanya karena yang bersangkutan tidak mengerti duduk perkaranya. Ini begitu berharga bagiku. Tidak layak mulut seorang muslim mengatakan hal yang ia sangakakan pada saudaranya sebelum ia tahu pasti tentang hal yang ia persangkakan itu. Aku hanya menangis setelah prosesi terkutuk itu enyah dari telingaku. Tidak tahukan ia, bagaimana aku mempertahankan aqidahku. Tidak mengertikah ia perjuangan untuk menemukan hidayah ini. Pasti tidak, karena aku tidak akan cerita padanya. Semoga Allah mengampuni.

Mungkin Allah punya cara sendiri untuk mengingatkanku agar aku tetap waspada dan tidak terlena setelah merasa menjadi seorang yang bersih aqidahnya jauh dari kemusyikan. Dengan cara seperti ini aku bisa selalu mendeteksi aqidahku. Terima kasih wahai orang yang telah menuduhku berbuat syirik. Percayalah aku tidak akan mendoakan agar jika apa yang engkau katakan itu tidak benar, maka semua akan kembali padamu. Meski aku tahu begitulah hukum yang akan terjadi!

Maaf, Mami aku terbawa perasaanku. Masih banyak hal-hal dan tangisanku yang engkau tidak pernah tahu. Biarlah, mungkin begini hidupku. Sejak kecil hingga dewasa sering mejadi korban kebengisan orang-orang disekelilingku. Mungkin karena begitu banyak dosaku, maka hanya dengan cara ini bisa menguranginya. Pun dulu, saat aku tidak bersamamu setelah sempat bertahun-tahun bersama. Perlakuan diskriminasi dan menyakitkan juga kuterima justru dari orang-orang yang engkau percaya. Tak kusangka aku sering dianggap kambing hitam dari kesusahan orang lain, kematian orang lain. Sedemikian kotorkah aku? Jika mungkin iya, semoga Allah mengampuniku dan mengabulkan permohonanku untuk kembali dalam husnul khatimah.

Bolehkan aku berbagi, Mam?

Mami, maafkan aku jika dengan lancang aku juga ingin menceritakan keluhan-keluhanku saat aku masih kecil. Hari ini kita hidup dalam cinta yang berkelimpahan. Selalu ada sayang antara satu dan lainnya. Selalu ada support bagi anak-anakmu. Tapi Mam, biarkan para calon ibu belajar dari tulisan ini. Bagaimana mereka harus memperlakukan anaknya. Tidak selalu yang buruk itu buruk. Barangkali kebaikan justru lahir dari hal yang buruk. Niat itu yang membuatku berani menulis surat ini. Bukan untuk memojokkanmu, bukan untuk menghakimimu. Tapi untuk mengambil hikmah dibalik tindakanmu dan apa yang hari ini aku lakukan. Mengali pelajaran yang baik yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu. Izinkan kali ini aku memanggilmu Ibu. Dan Papi sebagai Bapak.

Bu, Ibu masih ingat, to. Dulu aku sering kali jatuh sendiri saat berjalan. Ini biasa, sampai sekarang pun aku masih sering jatuh. Kalau ada air sedikit saja dilantai yang membuatnya licin lalu terinjak olehku, aku bisa dipastikan akan jatuh. Makanya aku harus hati-hati saat jalan. Kata bapak selamat dan tidak selamat itu pilihan. Seperti orang di jalan. Kalau dia bisa berkendara dengan baik, melengkapi standart mengendarai kendaraan dengan baik dan membawa kelengkapan administrasinya, ia bisa lebih selamat ketimbang yang ugal-ugalan dan tidak mengindahkan peraturan. Iya sich, benar. Tapi tidak selalu benar. Aku tidak bermaksud membahas hal itu. Hanya pesan agar hati-hati dari Bapak saat berjalan dan berkonsentrasi itu menjadi penting buatku yang pertahanan kakinya tidak seimbang ini.

Terima aku apa adanya, bu!

Aku ingin Ibu tahu, bahwa ada hal yang menghantui mentalku saat itu. Jika aku terjatuh, ibu seringkali mengomentarinya dengan hal yang memuatku merasa hina. Aku mungkin tidak akan menangis dan dapat menguatkan hatiku dihadapanmu, tapi tidak dibelakangmu. Aku hampir kehilangan kepercayaan diri. Rasanya aku hanyalah anak yang lahir sebagai beban dan tidak pernah diharapkan. Aku paham bu, ibu mana yang ingin punya anak cacat? Aku juga tidak ingin terlahir seperti ini. Siapa bu yang mau dilahirkan cacat sepertiku. Jika boleh memesan, aku pasti minta dilahirkan sempurna, utuh dalam pandangan manusia. Tapi ini mustahil kulakukan, maka yang aku bisa hanya berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan motivasi dan semangat dalam hidupku yang sering kali harus terbanting dan jatuh berceceran. Ibu tahu, aku sering dihina dan di ejek teman-teman di sekolah. Dengan cara mereka masing-masing. Mereka menganggap aku tidak seindah mereka. Kakiku pincang. Aku tidak bisa berlari. Tidak bisa berjalan cepat. Ada-ada saja gelaran mereka padaku. Tapi itu tidak pernah bertahan lama. Atas kuasa Allah, aku selalu lebih unggul dari mereka dalam hal yang lain. Kakiku memang tidak sama besarnya, tapi ini juga sudah luar biasa. Jika dibandingkan dengan saat aku lumpuh dalam kurun waktu 2,5 tahun sampai 5 tahun itu. Setidaknya sekarang aku tidak harus digendong kemana-mana seperti lagunya mbak Surip almarhum. Aku tidak lagi hanya bisa bermain pasir di depan rumah simbah sendirian dan mengelus-elus kakiku sambil berkata ”sikil-sikil, kok ora mari-mari to?” saat itu, aku tidak sedang meratapi nasibku yang kehilangan masa kecil dan tidak punya teman bermain, aku hanya mengajak kaki cilikku yang imut untuk berdialog. Karena aku masih begitu belia untuk merasa sedih dan menyesal. Bukankah ini hanya dirasakan oleh orang-orang dewasa. Saat mereka gagal, saat idealita yang mereka harapkan tidak sebanding dengan realitanya, atau saat mereka kehilangan sesuatu yang dicintai. Tapi aku, anak-anak kala itu, apa yang hilang dariku. Masaku bisa berjalan juga belum lama. Meski menurut banyak orang, aku bayi kecil yang sehat dan lincah. Sehingga tumbuh dengan baik dan cepat bisa berjalan. Masaku berlari juga belum seberapa, jadi apa yang hilang dariku. Bukankah masa kanak-kanak tetap menjadi masa yang indah, apapun rasanya. Aku yakin itu, jika semua orang mau jujur. Aku jadi ingat ucapan orang-orang tua yang suka membandingkan masa lalu mereka dengan hari ini yang katanya tidak seenak hari ini. Bukankah itu adalah kondisi yang tepat buat mereka. Jika mereka lahir hari ini, maka kondisi yang mereka hadapi pasti juga berbeda. Tiap masa ada tentaranya. Tiap jaman ada pahlawannya. Bukankah begitu?

Tapi aku memang hanya seorang manusia biasa dan sangat biasa sekali. Aku juga butuh orang lain untuk memahamiku. Aku juga butuh orang lain yang membuatku belajar hal yang belum aku tahu. Aku juga butuh management konflik agar aku bisa menyelesaikan hal-hal baru di masa depan. Aku butuh orang lain yang mengerti ekspresi sedih dan senangku. Mungkin itu gunanya teman bermain. Alhamdulillah, aku punya mas Budi. Orang kedua yang sangat kusayangi setelah mbak putri. Mungkin ini rahasia skenario Allah yang hanya memberi tiga tahun selisih dari umur kami. Aku jadi merasa punya kakak sebagai seorang putri sulung. Tapi ibu tahu, mas Budi sebagai om bungsuku yang manja akhirnya harus mengalah karena ada posisiku di rumah itu. Dia yang masih menetek pada simbah sampai umur 5 tahun, harus menyingkir dan terkalahkan olehku. Dia yang begitu manja, harus mengalah dan tidak bisa bermanja-manja lagi karena harus ngemong adiknya. Yang tidak bisa berjalan.

Entah karena terlahir sebagai anak yang cacat atau memang begitulah ciri anak cerdas J. Kuakui aku memang nakal. Ada-ada saja ulahku yang membuat mas Budi harus dimarahi oleh simbah. Kadang-kadang kalau aku lagi ingin iseng karena kadang aku juga diisengi, aku akan menangis sendiri dan melaporkan bahwa mas Budi sudah menakaliku. Aku baru puas kalau beliau dimarahi. Maaf, mas. Adikmu ini tidak pandai berterima kasih. Padahal cuma mas Budi yang paling setia mengendongku kemana-mana, menemaniku bermain saat tidak sekolah, mengajakku bermain ke sawah sambil digendong untuk menerbangkan layang-layang. Aku jadi bisa pergi kemana-mana karena beliau yang mengajakku berpetualang ketempat-tempat seperti itu. Aku jadi suka alam dan keluyuran. Tapi ini baik. Semoga Allah memudahkan urusannya. Hingga saat aku sudah bisa berjalanpun, beliau masih juga setia mengendongku. Hingga akhirnya aku malu juga selalu digendong. Saat SMA aku tidak lagi digendong, bu. Bukan karena berat. Lagian badanku awet ini, tidak ada pertumbuhan yang mengejutkan. Mungkin karena kakiku juga kecil dan aku juga jarang bergerak. Tapi ini ada manfaatnya. Seandainya aku tinggi dan besar seperti adik-adikku, mungkin kaki kananku tak lagi kuat menahan tubuhku.

Yang pasti, mas Budi begitu berarti buatku. Aku juga ingin minta maaf pada istrinya. Jujur aku memang sudah hampir sepuluhan tahun berpisah dengan mas Budi. Dari aku SMP sampai beliau sudah jadi sarjana. Tapi aku begitu mencintainya. Aku ingin suatu hari nanti memiliki suami seperti mas Budi. Sabar, perhatian, low profile, cerdas dan masih banyak lagi. Itu dulu bayanganku saat SMA. Sehingga aku tidak pernah tertarik pada lawan jenis yang tidak punya sifat sekaliber masku. Bukan karena tidak ada yang berusaha mendekatiku. Tapi kata teman-teman putriku, aku begitu cuek pada mereka. Bahkan aku begitu risih jika ada seseorang yang kuanggap sebagai teman baik, kemudian berubah jadi ”aneh”.

Suatu hari mas Budi bertanya padaku bagaimana jika beliau segera menikah. Aku lupa, lewat surat atau telephon ia menyampaikan itu. Sebagai wanita yang sudah dewasa baik menurut KUHPerdata maupun KUH Pidana apalagi undang-undang perkawinan, saat itu aku bersemangat sekali. Aku hanya berharap, masku yang jadi idola banyak gadis di kampungnya itu segera terjaga dan mendapatkan gadis yang baik. Betapa tidak, sebagai seorang aktivis dakwah di kampus, meski aku terkenal dengan akhwat yang rada phobia jika membahas pernikahan dan sering jadi bahan ledekan teman-teman, aku tetap paham bahwa cara Islam menjaga kesucian hati bagi seorang yang sudah aqil baligh salah satunya adalah dengan pernikahan.

Saat itu aku begitu sewot pada mas Budi. Siapa yang tidak khawatir jika orang yang paling kusayangi, muslim, hanif, baik, harus berhubungan dengan seorang wanita dengan cara pacaran. Masya Allah, meski aku tahu kualitas beliau dan gaya pacaran seperti apa yang akan beliau lakukan, tetap saja aku tidak ikhlas jika hati beliau sudah ternoda sebelum sah menjadi suami-isteri. Bukan semata-mata karena pacaran itu tidak ada dalam syariah Islam, tapi lebih dari itu aku begitu menghargai kesucian beliau. Berharap beliau mendapatkan wanita yang suci hatinya apalagi fisiknya tidak terbagi-bagi dengan makhluk hanya dengan alasan ”atas nama cinta” yang belum halal. Ya Allah, jaga hatiku. Duh jadi ingat senada. Nyanyi dulu ah...

Jagalah hati

Jangan kau nodai

Jagalah hati cahaya hidup ini

Jagalah hati jangan kau kotori

Jagalah hati lentera Ilahi

Bila hati kian bersih

Pikiran pun akan jernih

Semangat hidup nan gigih

Segalanya mudah diraih

Tapi bila hati kotor

NTAR DILANJUTIN,LUPA!!!!!!!!!!!!!!Lupa,..lupa lupa lupa

Lupa ingat syairnya. Ingat.....ingat ingat ingat Cuma ingat kuncinya J

Ngapunten, bu. Niatnya mau nyanyi eh malah kesupen..

Baiklah aku akan lanjutkan ceritanya

Kenapa aku ingin meminta maaf pada isteri mas Budi? Ya karena meski justru akulah yang begitu bersemangat mendorong dan memantau perkembangan perkenalan mas Budi dengan calonnya, tapi akhirnya aku justru tidak dapat hadir dipernikahan mereka. Orang yang spesial buatku. Hanya karena ujian skripsiku tertunda akibat keperagkap kurikulum (untuk hal yang ini panjang ceritanya sampai aku akhirnya lolos dan membuat teman-teman seangkatan dan kakak tingkatku gerah. Tadi aku sudah cerita sedikit di depan.he he he. Tapi lagi-lagi aku memang orang yang selalu beruntung. Karena aku berprinsip, seperti apa anda ingin diperlakukan oleh orang lain adalah sesuai dengan perlakuan dan pikiran yang anda tanamkan untuk diri anda sendiri. Lho kok kemana-mana). STOP!

Selain karena tidak hadir, sebenarnya ada hal yang lebih dari itu. Aku mohon maaf karena diawal aku harus menyiapkan hatiku untuk menerima tante yang akhirnya juga kupanggil mbak dengan usia yang jauh lebih muda dariku. Sebaya dengan Astria, bu. Bagaimana caranya aku harus menghadapi ABG yang baru lulus SMA. Sementara aku sendiri juga bukan anak yang dewasa. Aku juga anak Mami. Ukhhh malunya. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah terbiasa jadi fasilitator anak-anak SMA dan adikku sendiri juga sama kolokannya saat SMA (semoga sekarang jadi lebih dewasa J).

Cukup sampai di sini? Belum, ini belum tuntas. Aku merasa kehilangan seseorang yang begitu berarti saat aku pulang dan aku menemukan masku sudah menjadi suami orang. Ia tidak lagi bisa menemaniku jalan-jalan kemana-mana. Sedih rasanya. Aku nyaris murung selama baru di rumahnya. Aku hanya bisa menguatkan hati dan menangis untuk melepaskan beban (tapi tidak ada seorang pun yang tahu, aku yakin!).

Aku pun harus menerima kenyataan, bahwa masku sudah menjadi kepala keluarga. Ia sudah Allah amanahi seorang wanita yang harus beliau didik, sayangi dan cintai satu tingkat dibawah cintanya pada orangtua dan pasti juga dibawah Allah dan Rasulnya. Aku mungkin cemburu dan aku pasti cemburu. Tapi aku bahagia karena harapan dan doaku sudah terkabul. Mas Budi tidak akan lagi sendiri seperti dulu setelah ia kehilangan Bapak Ibunya dan berpisah dengan seluruh kakak-kakaknya yang tersebar diseantero nusantara. Cieee...! Kehilangan adiknya yang manja, ceriwis dan mengemaskan. Karena setelah dewasa aku sedikit lebih pendiam kalau sedang tidur J.

Aku menjadi tidak nyaman dengan kondisi ini. Aku berada di rumah pengantin yang baru saja merayakan cintanya. Oh,...ia merebut masku ! (J becanda, mbak! Ambil aja ntar ganti ama yang lain, ya!).

Mas Budi akhirnya mengungkapkan juga kegundahannya. Aku tahu ia bisa merasakan kesedihan dan kebahagiaanku yang bercampur-campur ini. ”Mas Bud sak iki wes nduwe bojo, wes ra is dolan-dolan neng ngendi-ngendi kaya ndekben”. Aku paham. Selain harus bekerja, waktu yang ia miliki akhir pekan pasti buat isterinya. Aku hanya diam. Aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi leluasa meminta diantar kemana-mana seperi dulu. Sesukaku. Waktu beliau di rumah juga tidak banyak. Mana tega aku mendzholimi isterinya yang masih begitu muda dan sepertinya sama manjanya denganku. Tapi itu hak beliau karena mereka sudah menikah.

Aku tidak punya muhrim selain Bapak, Pakde, dan Kongko lalu para pamanku itu. Jadi hanya bepergian dengan mereka saja aku bisa berpelukan di pinggangnya kalau naik motor. Aku menjadi tidak nyaman saat kebiasaanku ini kulakukan di depan isteri mas Budi, bu. Aku juga wanita yang sensitif perasaannya meski cukup lapang hatinya. Aku sedikit khawatir beliau cemburu. Bagaimana pun juga aku ini hanya ponakannya. Ukhhh..aku sudah benar-benar kehilangan masku. Perasaan ini sirna setelah waktu mengajariku untuk berinteraksi dengan tante beliaku. Ia akhirnya terasa lebih dewasa dibandingkan aku sebagai seorang mahasiswa pasca sarjana. Mungkin karena aku tidak bisa menyembunyikan gaya kekanak-kanakanku.

Yang pasti, Mam. Aku selalu merasa sendiri di tengah keramaian karena kadang aku merasa duniaku tak dimengerti oleh orang lain (autis dunk ^_^!). dan aku sellu siap untuk itu, dimana pun aku berada. Aku, hanya Allah yang kumiliki. Meski aku juga sering dan amat sering menghianati cinta-Nya. Seperti lagu belajar dari Ibrahim.

Sering kita merasa taqwa

Tanpa sadar terjebak rasa

Dengan sengaja mencuri-curi......iiii

Diam-diam ingkar hati..ho ho

Kepada Allah mengaku cinta

Walau pada kenyataannya

Pada harta pada dunia....aaaa

Tunduk seraya menghamba.

Belajar dari Ibrahim

Belajar taqwa kepada Allah.....

Belajar dari Ibrahim

Belajar untuk mencintai Allah

Malu pada bapak para anbiya’

Patuh dan taat kepada Allah semata

Tiada pernah mengumbar kata-kata

Jalankan perintah tiada banyak bicara.

Duh, bu. Lagunya mak jlep jlep! M-J-J. Dalem nyindirnya. Aku banget sich. Pantas ya, bu aku diuji macam-macam, soale cintanya belum terbukti!

Mamiku, Ibuku tersayang.

Masih banyak hal belum kutulis. Seperti kataku tadi, semoga suatu saat aku bisa merangkai tulisan yang utuh dan berkualitas. Mohon maaf untuk segala kedzaliman dan hal-hal yang tidak berkenan yang kulakukan. Kepada Bapak, Ibuku yang mulia. Tiada harapan yang lebih baik dariku selain bisa bersua dengan kalian dan adik-adik di taman-taman surga.

Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan selama 27 tahun ini plus saat hamil. Tiada kuasa nanda membalasnya. Allah lebih tahu balasan apa yang terbaik bagi Bapak dan Ibu.

Doakan mimpi-mimpi indahku menjadi nyata. Doakan aku menjadi wanita muslimah sejati. Yang selalu seimbang dunia kahiratnya, keluarga dan karirnya. Pribadi yang mulia dan memantulkan cahaya kemulyaan itu pada lingkunganku. Maaf, jika hingga usia ini aku belum juga ”mandiri”. Kata Papi, siapa yang menikah duluan, berarti ia ingin mandiri duluan.:) mohon doa agar putrimu menemukan pasangan yang mencintai dan berusaha mengikuti jejak Rasulullah. Amiin. Jika tidak di dunia semoga di surga.amiin ya Allah.

Mami, Papi, terima kasih sudah membaca suratku. Beberapa hari lagi Ramadhan tiba. Ikhlaskan seluruh salah dosaku. Agar aku memasuki bulan ini dengan kebersihan jiwa dan raga. Doakan aku husnul khatimah. Amiin ya rabbal ’alamin.

With love

Martha Dewi Samodrawati, SH.

Safirah Jannah

Finishing

17 Agustus 2009 01:13 MERDEKA!!!!!