tag:blogger.com,1999:blog-73257608556821343742024-02-07T10:36:14.078-08:00Istana MuallafAlhamdulillah,...
Cahaya, izinkan aku selalu bergerak di bawah pendarmu.Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-51082185161535506422011-10-19T17:59:00.000-07:002011-10-19T17:59:55.062-07:00Mengeja Kasih Sayang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Sudah berapa kali aku membuatmu menangis.Ya, pastinya menangis versimu. Sekarang pun masih sama.
Sama seperti setiap kali aku berani menentang keputusanmu, dengan
caraku. Kuhanya ingin engkau tahu, bukan sekedar ingin menguji
kekuatanmu atau mengetes perhatianmu, karena aku bukan Tuhan. Tapi aku
ingin engkau tahu, aku juga punya dunia yang ingin kuselamatkan.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Masih ingat bagaimana kisah-kisah kepahlawanan mengakhiri episodenya?
Nah, begitulah yang sesungguhnya ingin kulakukan. Tapi belum apa-apa,
engkau sudah habis tersayat-sayat dalam dunia yang kuciptakan. Tidakkah
kau tahu, aku benar-benar sangat ingin menikmati hari tua bersamamu?
Membasuh kakimu menjelang tidur lalu membukakan jendela kamar di saat
fajar akan datang.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Tidak banyak yang kupunya memang, tapi segala yang ada pada diriku
juga karena engkau yang telah menjadikannya ada. Hanya Tuhan saja yang
tahu kedalaman cintaku. Maka bila hari ini kau merasa aku “kejam”,
seharusnya aku lebih merasakannya. Tapi karena timbangan cinta itu, aku
akan tetap menjaga bibirku mengucapkan. Maka, cobalah rasakan. Agar aku
tidak perlu lagi mengucapnya.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Bagiku bahasa lisan tidak akan lebih berat dari suara qalbu. Itu
pulalah sebab mengapa aku diam. Aku hanya ingin engkau mengerti. Biar
kita berdua bicara dengan bahasa hati. Menikmati tangisan berdua,
menikmati senyum berdua. Tapi hingga hari ini engkau masih saja
mengutukku dengan doamu.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Mungkin dimatamu aku bidadari, seorang peri yang harus selalu
sempurna. Ideal seperti yang ada dalam imajinasi. Tapi nyatanya aku
hanya seorang gadis kecil yang sedang berayun-ayun di rindang dedaunan.
Warna-warniku semoga bisa membasuh luka di matamu, tapi justru kau
menganggapnya pesona lincah di udara. Tahukah bahwa sayapku mudah sekali
patah saat kau menyentuhnya dengan keras?</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Aku bisa merasakan luka di hatimu. Tapi pernahkah engkau juga ingin
melihat bagaimana lukaku? Mengapa kita tidak bicara berdua dan
mengungkapkan segala hal yang selama ini menyekat dinding hati kita?
Bukankah kita selalu bersama sepanjang rentang usia?</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Ayolah, ini waktunya untuk pulang. Pulang kepada nurani kita yang
tidak pernah berdusta. Saat wajah dan bibirmu mengatakan “benci”,
benarkah itu perasaan yang sesungguhnya? Aku tidak pernah percaya itu,
sampai engkau mengatakannya dengan segala energi yang ada di jiwa.
Apakah setelah itu aku akan percaya? Tidak juga, karena aku selalu tahu
bagaimana hatimu memeluk rasa itu.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Maafkan aku, tapi aku akan buatmu bangga!</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Yogyakarta, 20 Oktober 2011.</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Terima kasih, sudah kecewa padaku. Bukankah itu sikap jujur yang mengatakan “betapa kau sangat menyayangiku?”</span></div>
<div style="background-color: #f4cccc; color: black; font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span style="font-size: small;">Untuk seseorang yang kuidolakan bertahun-tahun.</span></div>
</div>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-84061255661791170222011-10-04T17:48:00.001-07:002011-10-04T17:48:03.715-07:00MENCARI ORANG JAMBI DI JOGJA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<h2 class="uiHeaderTitle">
MENCARI ORANG JAMBI DI JOGJA</h2>
</div>
<div class="clearfix">
<div class="mbs uiHeaderSubTitle lfloat fsm fwn fcg">
oleh <a href="http://www.facebook.com/mbakDewi">Martha Dewi Samodrawati</a> pada 05 Oktober 2011 jam 7:02</div>
</div>
Assalamu'alaikum wr wb.<br />
<br />
Kepada
sahabat yang mengenal orang Jambi di Jogja atau anda sendiri adalah
orang Jambi yang sedang berdomisili di Jogja, silakan menghubungi nomor
ini untuk silaturrahim. Martha Dewi Samodrawati SH (Safira Saksono)
083867295660. format SMS : Nama (spasi) Asal Kota (spasi) usia (spasi)
aktivitas di Jogja. selanjutnya silakan ketik komentar.<br />
<br />
Insya
Allah setelah pendataan ini kita akan mengadakan acara silaturrahim.
Jadi kepada semua sahabat yang mengenal orang Jambi, segera sampaikan
informasi berpahala ini.<br />
<br />
Terima kasih atas doa dan dukungannya (kayak kampanye aja, ya... ^_^).<br />
<br />
Silaturrahim itu,.....<br />
<br />
1. Mendapatkan ridho dari Allah SWT.<br />
<br />
2.
Membuat orang yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu "Amal yang paling utama adalah
membuat seseorang berbahagia."<br />
<br />
3. Menyenangkan malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.<br />
<br />
4. Disenangi oleh manusia.<br />
<br />
5. Membuat iblis dan setan marah.<br />
<br />
6. Memanjangkan usia.<br />
<br />
7. Menambah banyak dan berkah rejekinya.<br />
<br />
8.
Membuat senang orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu
keadaan kita yang masih hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Mereka merasa bahagia jika keluarga yang ditinggalkannya tetap
menjalin hubungan baik.<br />
<br />
9. Memupuk rasa cinta kasih
terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan,
mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.<br />
<br />
10.
Menambah pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal
ini, suka bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang
lain selalu mendoakannya.<br />
<br />
So, bantu saudaramu untuk bersilaturrahim ya ^_^.<br />
<br />
Maturnuwun sanghet. Terima kasih. jazakumullah ahsanal jaza', guys!<br />
<br />
BANTU SHARE ya... <br />
<span class="photo_left"><img alt="" class="photo_img img" src="http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/299900_2108039263908_1333366117_31959372_1651326343_a.jpg" /><span class="caption"></span></span><br />
<span class="photo_right"><br /></span></div>
Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-39460268517539877052011-01-27T23:42:00.000-08:002011-01-27T23:45:51.348-08:00Mempelajari KesetiaanBismillahirrahmanirrahiim. Dengan selalu mengharap bimbingan Allah, aku mulai kembali menulis. Semoga kisah di diary kisah ini menjadi kembali mengisi pelajaran yang dalam dan berharga bagi niatan perbaikan diriku yang tidak pernah selesai. Amiin.<br /><br /><br />Hari itu aku benar-benar dilenakan dengan pelarianku. Potongan-potongan sampah dan segala kreasi darinya. Awalnya tentu ini dengan niatan baik mencoba membuka jalan maisyah sebagai jawaban atas kebuntuan dan kebingunganku atas tunggakan uang kuliah, biaya hidup, kontrakan dan beberapa kewajiban. Di sisi lain aku tidak ingin ini menjadi agenda tambahan orangtua yang sudah kupecundangi berkali-kali karena kuliah pascaku yang belum mencapai kata “selesai”.<br /><br />Kembali menjadi diriku belasan tahun yang lalu yang selalu sibuk di kamar sendirian membuat berbagai macam kreasi yang sesungguhnya sering hanya menjadi teman membunuh waktu dan melupakan bahwa banyak hal yang harus ditangisi, aku mencoba tetap bertahan karena kali ini dengan niat yang mulia, bukan sekedar bermain dan membunuh waktu seperti masa itu.<br /><br /><br />Setiap kali mataku terpejam, selalu saja bayangan kreasi dan bentuk baru muncul di benak. Angganku kian jauh menjemput malam yang sudah menjadi penuh hingga pagi menjelang. Karena tinggal satu jam lagi, adzan Subuh akan segera berkumandang. Dan hari berarti telah berganti. Aku nyaris tidak tidur jika tidak kuperturutkan sedikit rasa kantuk yang ditawar-tawar oleh berbagai ide yang mengantung di kepalaku. Saat seperti ini mengingatkanku pada orang-orang yang “gila kerja”. Menghabiskan sebagian besar hari mereka tanpa istirahat yang cukup hanya untuk memenuhi misi dunia berupa materi. Tapi menurutku kata “hanya” masih perlu dikoreksi. Tidak semua penampakan sesuai aslinya. Karena keaslian niat hanya bisa dilihat oleh Yang Maha Melihat. Jika banyak orang yang harus banting tulang atau bekerja melebihi kemampuan dan kenormalan orang pada umumnya, mungkin mereka punya niat-niat mulia yang mereka simpan dalam tiap tarikan nafas di tiap aktivitas. Bisa karena menafkahi, bisa karena niat ingin memberi yang lebih untuk mencari balasan akhirat, meski juga bisa hanya untuk sekedar memenuhi kelaziman dan kesempurnaan hidup di dunia dengan segala atributnya. Apapun alasannya, tidak ada seorang punya yang pantas memberikan vonis dari tiap perbuatan baik selain Penguasa.<br /><br /><br />Pukul 04.30, sudah lima belas menit berlalu dari adzan Subuh, akhirnya aku terbangun sebagai hamba yang tidak mendengar langsung seruan kemenangan. Kucoba mereka-reka hari yang harus dihadapi dengan tanpa konsep dan kesiapan yang cukup. Bukan hanya karena teori bahwa perencanaan yang baik adalah separuh dari kesuksesan, tapi karena managemen jiwaku yang akhir-akhir ini juga tidak lebih baik sehingga tidak mampu kupaksa untuk menyusun hari dengan pikiran jernih dan qalbu yang salim.<br /><br /><br />Aku tidak sempat mengingat, kapan akhirnya aku mau kembali datang rapat Laskar Qur’an. Tidak jelas pukul berapa aku menemukan kesadaran setelah tragedi Subuh kesiangan dan malam yang kepagian itu. Tapi yang jelas aku hadir dengan wajah berseri dan semangat. “Iringi perbuatan jelek dengan kebaikan. Jika tidak menghapus, minimal mengurangi, hehe.” Harapan yang nanggung!<br /><br /><br />Rapat hari itu berakhir dengan banyak sharing tentang pelaksanaan acara majelis tasmi’ dan khataman Qur’an santri Rumah Tahfidz se-DIY yang akan dihadiri ustad Yusuf dan pelaksanaan agenda pekanan Aduhai Qur’an. Baik di lokasi biasa maupun di pengungsian. Aku salah satu anggota tim Aduhai Qur’an di pengungsian yang bertugas hari Ahad bersama Kang Sam, Mbk Hety dan Elin, yang selalu ceria dan semangat.<br /><br /><br />Selesai Maghrib beberapa orang telah meninggalkan kantor Wisata Hati duluan karena rapat dinyatakan selesai. Seingatku itu hari Kamis. Waktu yang sangat singkat untuk mengelar even yang hanya diberi waktu persiapan kurang dari dua hari. Dengan berpikir santai dan positif, dan lantaran aku tidak memegang amanah yang sangat krusial, kuikuti saja jalannya rapat dengan lebih rileks. Pesan terakhir yang kutangkap bahwa segala hal akan disampaikan via pesan singkat jika tidak sangat penting Jumat sorenya harus kembali berkumpul. Demikian pula pesan terakhir yang kutitipkan untuk menjadi catatan para duta Laskar Qur’an (relawan Aduhai Qur’an-PPPA Daarul Qur’an) yang akan menghadiri rapat bersama partner even, Takmir masjid lokasi acara yang katanya akan bertemu malam itu juga, agar memastikan jumlah SDM yang ada dan segala hal terkait tugas laskar.<br /><br />----<br /><br />Pesan singkat hadir di hand phoneku yang memberitakan akan kembali digelar pertemuan Jumat sore karena ternyata segala hal terkait pelaksanaan kegiatan, kecuali perkap, konsumsi dan keamanan menjadi tugas teman-teman laskar. Sesungguhnya ini hal biasa. Tapi menjadi dilema luar biasa bagiku yang sore itu juga harus menghadiri agenda pekanan pribadi yang “tidak terwakilkan”. Hingga sebuah pesan meminta konfirmasi kehadiranku. Entah mengapa aku menjadi orang yang tidak menjaga komitmen berjama’ah cukup baik saat itu. Aku hanya berikir bahwa even ini belum siap dan ada kekhawatiran yang sedikit membayangi. Meski aku tetap saja bersikap normal dan biasa sekali saat rapat.<br /><br />Sudah kuputuskan, entah dengan hati nurani atau hawa nafsu, untuk meminta izin kepada murrobiyah untuk tidak hadir halaqoh sore itu. Aku meminta izin, bukan pemberitahuan. Maka kusampaikan juga pertimbangan izinku, meski kusadarai tidak ada kebohongan dan semua berisi fakta, tapi kekhawatiranku bisa menjadi pertimbangan beliau untuk mengizinkanku memilih datang rapat panitia majelis tasmi’ dan khataman. Benar saja, meski aku katakan kalau umi (panggilanku pada sang guru) tidak memberi izin, aku tidak akan datang dan memilih hadir di halaqoh pekanan. Ternyata beliau mengizinkan. Entah karena sangat paham dengan aktivitas yang satu ini yang sering kusampaikan segala harapan dan masalahnya di mutaba’ah (evaluasi) amalan sepekan, atau karena aku memang terlihat “sedikit” memaksa? Semoga aku tidak terkena ucapan dari seorang ustadz yang rekamannya sempat kudengarkan beberapa hari berselang. “ Orang yang tidak komitmen pada janji-janji yang telah disepakati dan lebih memilih melakukan aktivitas kemaksiyatan.” Na’udzubillah! Selamatkan dan tegur aku, Rabb. Meski aku selalu saja menyimpangi niat! Semoga selalu berhasil meluruskannya kembali. “Allah, jaga aku ya.”<br /><br />---<br /><br />Rapat sore itu menjadi penanda kesiapan kami untuk mengelar even besok malamnya. Selesai menunaikan shalat Ashar, kami briefing sebentar yang akhirnya hanya berisi doa bersama sebelum berangkat ke lokasi acara yang ditempuh kurang dari tiga puluh menit dari kantor. Di sana lebih baik berlama-lama agar semua panitia yang kurang dari 20 orang ini lebih memahami medan saat job desk disampaikan.<br /><br /><br />Menurut rencana majelis tasmi’ dan khataman Qur’an yang akan dihadiri ustad Yusuf Mansur sebagai pembaca do’a khotmil akan menghadirkan seribu jama’ah yang terdiri dari seluruh santri, pengurus dan hafidz/zah Rumah Tahfidz se-DIY, juga warga sekitar lokasi yang masjidnya di jadikan tempat khataman. Acaranya mirip seperti even pesantren liburan yang dulu pernah digelar. Hanya kali ini untuk dua hari, Sabtu dan Ahad. Pesantren week end! Acara ini akan digelar setiap bulan bergilir di rumah-rumah tahfidz untuk menjaga dan membangun apresiasi hafalan santri dan tradisi mengkhatamkan Al Qur’an, meski dilakukan dengan cara …tit, aku lupa namanya (apa bahasa Arabnya????) Setiap orang mendapatkan bagian juznya masing-masing yang harus ia selesaikan malam itu. Jadi jika ada 25 Rumah Tahfidz di Jogja yang hadir, maka malam itu ada 25 Al Qur’an yang di khatamkan. Subhanallah, aku baru mengenal hal seperti ini. Meski di wajibatul yaumiyah kader tarbiyah juga melazimkan membaca minimal 1 juz Al Qur’an per-hari, tapi belum pernah aku ikut majelis khataman. Mungkin karena tidak hidup di lingkungan pesantren saja makanya aku minim pengetahuan tradisi pesantren. Well, semua jadi pegalaman yang menarik. Terutama saat malam hari selepas khataman dan waktunya istirahat.<br /><br /><br />Namanya anak-anak, apalagi mereka pada umumnya memang banyak yang baru menyesuaikan hidup di rumah baru yang disebut Rumah Tahfidz. Miriplah dengan pesantren, tapi bisa dikelola oleh siapapun yang punya niat baik. Cukup dengan niat baik? Kukatakan iya. Hanya dengan memiliki ruangan di rumah yang tidak digunakan saja, kita bisa memiliki rumah tahfidz, rumah tempat anak-anak usia SD-SMA (bahkan sedang digagas untuk mahasiswa) untuk belajar dan menghafal Al Qur’an juga belajar ilmu syar’i. Tiap rumah tahfidz dikelola sesuai dengan improvisasi pengelolanya. Hanya DAQU METODE (Metode Daarul Qur’an) nya saja yang seragam. Selain itu silakan berkreasi. Di dalam DAQU METODE tercantum hal-hal yang terkait dengan aktivitas harian santri, seperti bangun tidur, shalat malam, shalat dhuha dan sunah-sunah yang lain. Shalat tepat waktu dengan qabliyah dan ba’diyahnya, shaum sunnah, penanaman sedekah dan pelaksanaan sunah-sunah Rasulullah lain sesuai tingkat dan kemampuan santri. Juga dilatih Riyadhoh. Aku menyebutnya Riyadhoh jiwa. Kalau orang Jawa membahasakan tirakat. Tapi ini tirakat yang ada dasar hukumnya. Ya seperti di Daqu Metode itu dan doa-doa serta hafalan.<br /><br /><br />Tidak semua orang harus punya lokasi untuk punya Rumah Tahfidz, kita tetap bisa punya rumah tahfidz dengan berperan sebagai donator penyandang dana untuk biaya hidup anak-anak, dan kebutuhan administrasi, hafidz dan sebagainya. Terobosan ini laku keras di Yogyakarta. Terbukti 25 Rumah Tahfidz berstatus resmi sudah berada di banyak kecamatan. Belum lagi rumah tahfidz-rumah tahfidz yang belum diresmikan dan tidak terdaftar di kantor PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al Qur’an). Semoga ustadz Yusuf dan orang-orang yang bersamanya mengagas dan melaksanakan hajat ini mendapat balasan kemulyaan dunia akhirat dari Allah swt.<br /><br /><br />Kembali ke jam istirahat anak-anak yang menarik dan “awalnya” sedikit mengemaskanku. Saat itu pukul 23.30 sesuai rencana majelis tasmi’ dan khataman selesai. Anak-anak dipersilakan tidur. Namanya juga anak-anak, ada saja tingkah mereka yang suka menarik perhatian. Diantara santri yang hadir bahkan ada yang tidak didampinggi oleh hafidz/zahnya atau pengelola rumah tahfidz bersangkutan. Sementara SDM laskar sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan kakak pemandu untuk setiap rumah tahfidz. Dengan personil yang “seadanya”, tidak semua santri bisa didampinggi. Saat menjelang jam istirahat, aku mulai gelisah karena peserta putri akhirnya harus tidur di lantai 1 masjid dan santri putra di lantai 2 dan 3. Sebagai seorang “bunda”, ada perasaan tidak tega melihat mereka harus tidur di tempat seperti itu. Sementara ada beberapa santri putra yang hingga malam masih saja ingin bermain dengan melemparkan sampah-sampah mereka ke lantai satu tempat peserta putri beristirahat. Pun yang putri, masih saja yang mengobrol hingga larut malam seperti itu. Anak-anak emang nggak ada capeknya. Akhirnya kusisiri barisan santri yang sebagian sudah mulai tertidur dan mengajak mereka untuk istirahat. Ingin senyum sendiri saat melihat tingkah santri putra yang dengan kode tangan dari bawah kukatakan “ayo, dik. Tidur!”. Mereka malah menirukan gayaku, haha. Bocah-bocah!<br /><br /><br />“Ardi, mau naik lagi kan?” Saat kutemukan Ardi salah satu panitia yang sedang mengambil air mineral di pekarangan masjid.<br /><br />“Kenapa, mbak?”<br /><br />“Itu di atas nggak ada kakaknya, ya?”<br /><br />“Ada, tapi banyak yang ditinggal. Kenapa memangnya, mbak?”<br /><br />“Nanti tolong naik, ya. Santri putra disuruh tidur. Dari tadi ngelemparin sampah tu ke bawah.” Ucapku sedikit pelan khawatir menganggu yang mulai tertidur.<br /><br />“Nah, itulah, mbak. Tadi aku tilawahnya telat karena harus mengkondisikan mereka. Tadi aku ancam, siapa yang melempar sampah disuruh tilawah yang keras pakai mix di bawah. Jadi mereka diam. Sekarang sudah nggak lagi, kan?”<br /><br />“Nggak lagi gimana? Masih! Udah, segera naik aja. Kasihan yang putri. Makasih ya.”<br /><br />Karena sudah tidak memungkinkan untuk dipindahkan, akhirnya solusi mas Wiwid ada baiknya kupakai. Matikan lampu bawah agar mereka bisa tidur. Tapi ternyata sampah-sampah masih beterbangan dari atas. Hingga mas Agus (MC) meminta kakak-kakak di lantai 2 untuk mematikan lampu. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Semoga jadi lebih baik. Mereka harus istirahat malam ini karena besok pukul tiga sudah harus bangun lagi untuk qiyamul lail.<br /><br />“Kalian yang putri, segera istirahat gi. Besok harus bangunin adik-adik lho.” Pintaku pada laskar putri.<br /><br />“Mbak?”<br /><br />“Nanti nyusul. Bentar lagi.”<br /><br /><br />Panitia putri disediakan sebuah rumah di depan masjid untuk istirahat sekaligus pusat logistik.<br /><br />Setelah mengambil mantel kain hitam di rumah itu aku kembali melihat kondisi anak-anak hingga akhirnya kuputuskan untuk istirahat. Sejujurnya sedikit berat meninggalkan mereka. Tapi sudah beberapa malam ini aku juga tidak tidur dengan teratur dan jarang makan. Mungkin tanda-tanda penuaan, hehe. Besok selepas Subuh harus berangkat ke pengungsian.<br /><br />----<br /><br />Pukul 02.30 alarmku berbunyi. Berat sekali rasanya untuk bangun. Masih terasa ngatuk menyerang dengan sempurna. Ingin rasanya bisa membunuh kantuk dengan tidur beberapa menit lagi. Setelah memaksa bangun tidak juga berhasil melek dengan wajar, akhirnya kutinggalkan pesan ke laskar putri lain yang lebih fit untuk membangunkanku beberapa menit lagi. Dan benar saja, hampir lima menit lebih aku akhirnya bisa tidur dengan nyenyak. Saat bangun, setengah melompat, aku segera memakai kembali mantel tebal yang sebelumnya menjadi bantal, lalu mengecek bak mandi rumah itu kalau saja sudah berisi air. Karena dari semalam tidak mengalir, maka kubuka saja kerannya. Tapi paginya ternyata sama, hanya ada beberapa cc air di dalamnya. Aku segera menyebrang jalan menuju masjid. Awalnya ingin segera menemukan toilet. Tapi saat kulihat antrian santri dan pendamping yang banyak, hilang rasa tegaku. Sudahlah, yang penting mereka segera bisa berwudhu’ karena sebentar lagi harus shalat malam. Awalnya aku hampir saja tidak menunaikan shalat malam jika kondisinya tidak juga kondusif. Tapi Allah lebih tahu, aku sangat butuh malam ini. Semua Allah yang mengatur! Apa yang akan terjadi di pagi hari nanti.<br /><br /><br />Benar, saja. Setelah berhasil mengkondisikan shaff santri putri yang di kosongkan dua shaff di depan, untuk diisi iman dan para hafidz plus panitia putra. Aku bisa berwudhu’. Meski hajatku menghampiri kamar mandi belum juga terpenuhi. Masih pada mengantri rupanya!<br /><br /><br />Malam itu jadi malam yang berkesan dan terindah dalam sejarah shalat lailku. Aku begitu menikmati suasana khusyu’ dan bacaan Qur’an yang tartil dari ustadz Hartanto, Lc selaku imam. Entah berapa ayat yang beliau baca, seingatku dari pukul tiga terakhir aku melihat jam sampai jelang Subuh, kami hanya shalat empat rakaat. Yang kemudian ditutup tiga rakaat witir. Subhanallah, shalat malam itu memberi efek bukan saja pada jiwaku tapi juga pada fisikku. Malam itu Allah memampukanku berdiri tegak dengan dua kakiku yang tidak sempurna. Dan bisa kurasakan aliran darah dan getaran merambat di kaki kananku yang seharusnya belum selesai diteraphi ini. Batinkan berseru, “ya Allah, jika saja setiap malam aku bisa merasakan hal seperti ini, kakiku bakal sembuh!”. Meski aku sangat bisa menerima kenyataan bahwa aku akhirnya harus stroke di usia dini lalu lumpuh dan kembali bisa berjalan meski belum sempurna saat usiaku mulai masuk angka lima, tapi terkadang aku berfikir, jika saja aku bisa sembuh total, insya Allah makin panjang langkahku untuk dakwah. Makin banyak hal yang bisa kulakukan sendiri. Nyetir sendiri, bawa sepeda motor sendiri, tanpa harus datang telat di banyak acara hanya karena aku harus menunggu orang-orang yang mau mengantar atau pergi berbarengan denganku yang tidak semuanya biasa tepat waktu! Meski selalu kubisikkan dalam hati, bahwa aku tidak dengan sengaja sering hadir telat karena kasus seperti ini. Aku juga tidak ingin menjadi orang munafik yang sering datang telat. Karena dengan demikian ia telah mengingkari janjinya! Kecuali ada konfirmasi atau ada hal yang benar-benar force majeur, bukan karena kelalaian! Indah pasti ya. Aku bisa pergi sesukaku. Tidak harus diantar kalau mau kemana-mana. Memuaskan hobi berpetualang sendirian. Meski dulu aku tetap saja melakukannya, tapi pasti lebih menarik kalau aku memiliki kaki yang sehat. Tidak mudah kelelahan kalau harus jalan kaki! Sampai hari ini aku belum pernah ikut ekspedisi dan pendakian. Bagaimana mungkin, karena setiap jalan kaki sedikit jauh, setelahnya aku harus bedrest! Semoga Allah mengabulkan keinginan yang semoga juga kebutuhanku ini. Amiin!<br /><br />---<br /><br />Shalat malam disusul dengan Subuh yang diimani ustadz Yusuf. Entah dengan pengeras suara yang tidak “beres” atau memang tidak memakai pengeras suara. Subuh itu kulalui dengan rasa kantuk berat dan gerakan yang tidak tertib. Kurasa jama’ah lain juga merasakan hal yang sama. Tidak tahu kapan harus bangun dari sujud pertama dan kedua. Untuk gerakan lain masih bisa melihat shaff depan, tapi saat bangun dari sujud, aku nyaris kecolongan tertib mengikuti gerakan imam. Tidak ada satu bacaan pun yang mampu kudengar kecuali sayup-sayup ada suara yang sangat kukenal. Bagaimana dengan jama’ah santri di lantai yang lain ya? Hal ini terlewatkan untuk disampaikan saat rapat evaluasi beberapa hari setelah acara. Semoga ini tidak terjadi lagi.<br /><br /><br />Benar-benar mimpi buruk! Saat ustadz Yusuf memimpin bacaan Waqi’ah, hanya beberapa ayat saja yang sayup kudengar dari santri dan bibirku sendiri, selebihnya aku sudah tertelungkup di atas tikar sujud! Ngantuk beraaaat!. Hingga tepat pukul lima pagi, saat aku mengangkat badanku, ternyata Elin kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Tidak berdaya menampar kantuk.<br /><br /><br />“Dik, sudah jam lima ayo kita berangkat!” bisikku di telingga Elin yang hanya dijawab dengan heem pendek. Bahaya juga nich, kalau dia belum On. Padahal perjalanan kami cukup jauh. Kurapatkan pelukanku di punggungnya untuk meyakinkan apakah ada reaksi. Ternyata ia sudah sadar. Alhamdulillah!<br /><br /><br />Saat ustadz Yusuf mengisi tausiyah pagi dan setelah mendelegasikan tugas front office kemudian koordinasi dengan panitia lokal yang mengurus konsumsi, aku segera berpamitan dengan salah seorang panitia putri dan ibu panitia itu.<br /><br />“Pulang?” Tanya ustadz Tanto yang kutemui di pinggir jalan bersama panitia lokal yang mengurusi parkir.<br /><br />“Mau ke Cangkringan, ustadz.”<br /><br />“O, ya. Hati-hati.”<br /><br />“Assalamu’alaikum, ustadz.”<br /><br />“Wa’alaikum salam.”<br /><br /><br />Ustadz pasti sudah mahfum kalau disebut kata Cangkringan. Semoga saja begitu. Karena kecamatan itu adalah tempat pengungsi merapi di ungsikan ulang sebelum shelter-shelter yang dibuat Pemda yang juga di buat di lokasi itu siap huni. Intinya ini “pengungsian”. Saat itu, aku tidak berfikir apa-apa selain memenuhi janji pelaksanaan Aduhai Qur’an di pengungsian. Meski disepakati bahwa kami tim yang berangkat ke pengungsian bisa meninggalkan even pagi-pagi, tapi mas Wiwid selaku ketua saat itu, sempat mengatakan “kita lihat bagaimana nanti”. Kupikir, kalau hanya berkurang tiga orang saja, tidak akan menjadi masalah (iya g sich? Hehe).<br /><br /><br />Sebenarnya event hari Ahad pagi itu bersamaan dengan pelaksanaan Aduhai Qur’an di beberapa cabang yang semua panitia atau Laskar Qur’annya ya mereka yang menjadi panitia di event week end ini. Mau tidak mau pukul tujuh pagi sebagian dari mereka harus sudah meninggalkan lokasi menuju ke tempat pelaksanaan Aduhai Qur’an. Kajian tahfidz pekanan yang diawali shalat dhuha.<br /><br /><br />Keluar dari hiruk-pikuk orang dan menemukan udara pagi membuat aku dan Elin menikmati euphoria untuk beberapa saat sebelum ban depan motor kami hampir menabrak portal pembatas yang sengaja di pasang untuk memblokir jalan karena pelaksanaan even itu.<br /><br /><br />“Belum on, mbak”. Kata Elin.<br /><br />“Sama. Maaf ya, mbak juga nggak lihat. Yang panitia siapa yang nabrak portal siapa.” Kami mencoba menertawakan hidangan pagi kami selepas bangun dari “ketiduran” pagi ini.<br /><br />---<br /><br />Di jalan kusempatkan untuk pamit “pemberitahuan” kepada ketua panitia dan mengabari Kang Sam yang juga satu tim ke Cakran, daerah yang dihuni pengungsi asal Ngepringan. Membuat janji bertemu di asrama pukul 06.30 wib via sms.<br /><br />---<br /><br />Elin mengatarkanku pulang untuk mandi dan bersiap-siap berangkat lagi bersama mbak Hety yang kemarin sempat keracunan makanan sampai muntah-muntah. Makanya beliau tidak bisa hadir di even week end. Jika saja mbak Hety masih sakit, maka aku hanya berdua Elin yang putri dan bertiga dengan Kang Sam ke lokasi. Tapi Alhamdulillah, saat aku pulang mbak Hety sudah sehat dan meruput (pagi-pagi sekali) beliau sudah keluar untuk mengambil motornya di suatu tempat. Infonya kuketahui via sms.<br /><br /><br />Menghampiri Elin dan berpamitan dengan bundanya, kami bertiga berangkat terlebih dahulu karena dari pesan singkatnya Kang Sam owner warung “Sate Lontong Cinta” ini akan menyusul. Beliau belum tega meninggalkan lokasi karena acaranya tausiyah ustadz Yusuf yang direncanaka pukul 07.00-08.00 belum dimulai.<br /><br /><br />Sepanjang jalan aku masih saja diserang rasa kantuk hebat. Jika saja bukan membonceng di motor, pasti aku sudah terlelap, hehe. Ingiiiiiiiin, sekali rasanya tidur meski hanya lima menit (o ya, bukan lima jam?:()<br /><br /><br />“Mbak, aku tidur ya.” Pintaku pada mbak Hety sambil berusaha merebahkan kepalaku di punggungnya. Lalu mbak Hety menarik tanganku sehingga bisa berpegangan lebih kencang di pinggulnya. “Biasanya kan mbak Hety geli banget kalau aku mau pegangan. Makanya aku nggak pernah pegangan ke mbak Hety kalau digoncengin. Oh, mungkin karena jacketnya tebal.” Batinku.<br /><br /><br />Sebisa-bisanya kutahan kantuk yang benar-benar susah diajak kompromi. Tapi, Ups. Seperti biasa, aku adalah orang dewasa yang berimajinasi tinggi seperti saat bermain bersama anak-anak. Mungkin karena begitulah tuntutan seorang “pendidik” (amin) yang harus banyak bergaul dengan anak. Kita harus pandai berimajinasi dan membawa anak ke dunia imajinasi. Hehe itu teorinya. Karena dunia anak adalah dunia bermain, ekspresif, suka menyanyi, banyak bergerak. Haha. Tapi kali ini aku sedikit mengarang hayalan, hehe. “Ngantuk banget sich.” Sepertinya akan tidak lucu kalau nanti di koran-koran dan televisi ada kabar begini ‘seorang relawan ditemukan tewas terjatuh dari motor karena mengantuk setelah kelelahan dengan aktivitas-aktivitas sebelumnya’. Hedeh! Kacau kalau begini! Kabar yang tidak menjual “karena ngantuk!”. Kucoba merapatkan pegangan dan berusaha tetap berfikir agar tidak benar-benar tidur. Jika saja mbak Hety tidak menyentuhku dan mengatakan sesuatu yang kukira membangunkanku, mungkin aku sudah tidur beneran. Rupanya mbak Hety melihat Kang Sam sudah berada tepat di belakang kami. Alhamdulillah, aku akhirnya terbangun karena sedikit kaget dibangunkan. Lewatlah sudah tragedy kecelakaan akibat ngantuk!<br /><br /><br />Sampai dilokasi aku dan mbak Hety langsung ke dapur umum yang berjarak sekitar 15-20 meter dari lokasi tidur pengungsi ngepringan, silaturahim. “Tahu aja mbak Hety kalau aku ngantuk berat. Kalau diajak jalan kaki, bisa-bisa jalan sambil tidur, kalau tinggal di mushalla, bisa tertidur, hihi.” Makanya kami tidak langsung memarkir motor di mushalla.<br /><br />Seperti biasa setelah beramah-tamah dengan para ibu yang sedang masak, kami mengajak mereka untuk Aduhai Qur’an lagi. “Di tunggu di mushalla ya, bu.”<br /><br /><br />Sesampainya di mushalla, ngantukku datang lagi. “Haduh, dari tadi kok nggak bosen-bosen menggoda sich! Kuakui engkau memang pantang menyerah, wahai ngantuk!”.<br /><br /><br />“Mbak, pingin tidur.” Ucapku berbisik di telinga mbak Hety yang hanya dibalas dengan senyum. Lalu menyuruhku membuka acara yang kulaksanakan dengan sedikit bengong. Bismillah…<br /><br /><br />Setelah tilawah bersama dua halaman surat Yasin yang jadi target hafalan jama’ah, aku membagi para ibu, simbah dan remaja putri, (eh remajanya banyak yang nggak datang dink) menjadi beberapa kelompok untuk BBQ (Bina Baca Qur’an) atau apa dech istilahnya. Intinya latihan ngaji, melancarkan dan tahsin untuk yang sudah bisa baca. Kali ini ngantukku sudah bertekuk lutut dan kolaps! Haha, aku menang! (Pasang wajah pembalasan).<br /><br /><br />Ups, tunggu. Sebelum dilanjutkan ceritanya. Dari tadi segala makanan dan minuman yang kusentuh diminati semut, yak?! Air putih di dalam gelas aja semut doyan. Apa memang begitu, orang manis selalu meninggalkan bekas yang manis di benda-benda yang dipegang? Kok semutnya pada ngerumuni? (Narsis mode on). Ra sah digathek no (nggak usah dipikirin) ^_^. (Bagian ini saat aku mengetik, bukan bagian dari cerita, hehe).<br /><br /><br />Pukul sembilan hampir saja lewat saat kutatap jam dinding di dinding (kalau di tangan namanya jam tangan, kalau di dompet namanya ja ngan mengambil isinya, he). Seperti biasa (dinyanyiin, yak). Kali ini ada todongisasi lagi. “Ayo mbak Fira tausiyah”. Kata mbak Hety.<br /><br /><br />“Hah, Kang aja.” Kilahku sambil menunjuk Kang Sam di sampingku (ada jaraknya lho, kira-kira seratus meter, hehe).<br /><br />“Mbak Fira aja.”<br /><br /><br />Ya, sudahlah mereka memang kompak kalau urusan todong-menodong yang seperti ini. “Awas, suatu saat giliran kalian, haha”. Ya dunk, adil. Semua harus ngerasain di todong mendadak. Ck ck ck.<br /><br /><br />Hanya Allah yang tahu bagaimana aku tidak merencanakan apapun yang akan kusampaikan. Hanya satu kebiasaan yang tidak pernah hilang dari diriku. Kemana-mana harus membawa Qur’an terjemahan milikku sendiri yang banyak “coretan” indahnya. Setelah selesai tilawah, karena aku tidak banyak paham bahasa Arab kecuali beberapa kata, aku harus membaca terjemahannya. Nah, moment seperti itu yang membuatku jadi menemukan ayat-ayat yang menarik untukku. Meski setiap ayat menarik, aku suka menandai ayat yang berisi satu cerita atau beberapa ayat yang berisi sebuah kisah atau hikmah. Cara ini lumayan buat tadabbur. Aku jadi bisa merasa kalau Al Qur’an itu pedoman, bukan hanya bacaan! Daaaan, lebih lumayan lagi, kalau harus tausiyah mendadak, asal aku membawa Qur’an pribadi, bisa siap kapan saja. Cie…!Subhanallah! Jadi nggak ada istilah tidak siap untuk seorang da’i (begitu kata para ustadz/zah ku dulu, dulu dan dulunya). Lagian ni ya buat yang sering ditodong, kenang saja kisah yang barusan dialami, dialami orang atau saat perjalanan, pasti dapat ide, buat dongeng, eh tausiyah dink. Insya Allah. Lebih dari semua itu, jangan lupa minta hidayah Allah, biar Allah yang mempersiapkan redaksinya. Kita tinggal bersuara saja. Oke!<br /><br />---<br /><br />Aku tidak tahu harus mengatakan apa merasakan pengalaman tausiyah hari itu. Badanku merinding sediri setiap kali aku menyampaikan sesuatu yang “ada muatannya”. Para ibu yang ada dihadapanku beberapa meneteskan air mata yang cepat-cepat mereka hapus. Aku paham semua gerak-gerik audiens karena keep contact dengan mereka. Dan aku sendiri merasakan ruhiyah yang “beda” hari itu. It’s miracle! Kuakui, sudah sangat lama rasanya aku tidak bisa bicara dengan “ber-ruh”, ada ruhnya (selama ini ruhnya jalan-jalan kemana, mbak?). Semua berawal dari ketidakdisiplinanku shalat malam. Shalat yang dulu kuyakini sebagai transfer energy dan kekuatan langsung dari Allah bagi hamba-Nya. Memberatkan ucapan dan menyempurnakan “cahaya”. Dulu, kalau malamnya aku tidak bangun shalat malam, aku selalu mengatakan bahwa aku tidak punya “harga diri” untuk hari itu. Karena harga diri seorang muslim ia peroleh dari shalat malamnya, tahajudnya. Pantas Rasulullah, saat berkemul langsung disiruh Allah bangun, meski sedikit, untuk shalat malam. Untuk memberi peringatan. Karena bagaimana mungkin seorang penyeru tidak melibatkan Allah dalam ucapannya. Seberapa besar kekuatan lisan kita untuk menyentuh hati seorang hamba tanpa melibatkan Pencipta hati itu? Nihil! Yang ada hanya retorika dan show kepandaian yang semua orang bisa dapatkan dari membaca buku, internet dan dari mendegar kajian! Dan ini yang sedang kualami. Aku kehilangan cahaya dan kehilangan kemulyaan seorang muslim. “Ya Allah, pertemukan aku dengan imam keluarga yang ahli tahajud. Menjadi singa di siang hari dan rahib di malam hari. Jadikan hamba ahli tahajud beserta seluruh keturunan yang mulia. Pemberat bumi dengan laa ilaha ilallah. Amiin”. Ternyata tidak mudah ya, mau balik kepuncak iman itu. Sebelum aku menulis kisah ini, tadi malam aku sempat melakukan aktivitas baik yang dulu jadi kekuatan. Bangun pagi, lalu mandi dan shalat. Ternyata baru empat rakaat saja sudah mulai menguap! Kalau saja bisa shalat bareng. Apalagi bisa mendengarkan bacaan Qur’an yang tartil yang keluar bukan hanya dari lidah, tapi dari qalbu. Oh...Subhanallah! Tapi semua pada tidur lelap dan sedang banyak yang tidak shalat. Olala. Kok Curhat. Lumayanlah, sudah ada niat baik, meski kandas juga. Hehe.<br /><br />Baik, kita lanjutkan. Yang sabar ya bacanya. Karena sesuatu yang ingin kuceritakan masih harus berlembar-lembar lagi dari halaman ini. Hihi.<br /><br /><br />Intinya Aduhai Qur’an hari itu happy ending. Bahkan di ending setelah penutupan juga ada yang cerita bagaimana hidupnya. Dia seorang anak gadis yang sedang mencari jati diri yang akhirnya menemukan kehidupan pengungsian.<br /><br />“Dulu, mbak. Aku kalau mau aja tinggal minta. Ya, pokoknya yang kumau bisa mendapatkan. Kadang uang Rp 500.000 habis sebentar saja di took baju. Sekarang bajuku yang mahal-mahal itu, barang-barangku, tidak ada yang selamat. Pakai pakaian apa adanya. Pas di Maguwo kemarin, aku sama mbakku milihin baju bekas sambil nangis. Pakaian seperti ini dipakai, kataku. Tapi kata mbakku, nek ra gelem nganggo iki, kowe arep salin opo?”. Dari dialog kami aku menyimpulkan bahwa ia akhirnya mau tidak mau harus menerima apa yang Allah berikan hari ini. Berarti tausiyah tadi yang kupetik dari Al Baqarah 214 mengena baginya, juga semoga bagi ibu-ibu yang lain. Karena aku melihat ada efek AHA! yang sering kami sebut dalam tradisi training kalau audiens memahami apa yang disampaikan.<br /><br /><br />“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata : ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” Q.s. 2:214.<br /><br /><br />Allah akan berikan semuanya yang kita inginkan seperti dalam surat Al Fath 1-5 dengan syarat di ayat keenamnya “tidak berprasangka buruk pada Allah.” Sungguh segala yang kusampaikan sesungguhnya Allah tujukan pada diriku sendiri hanya jalannya harus dipantulkan pada orang lain yang mendengarkanku. Agar dengan turun naiknya nada bicaraku, ekspresiku, aku bisa merasakan sendiri, beginilah tausiyah yang paling efektif untuk hati yang mulai mengeras seperti milikku. Allah mengajariku, bahwa apa yang kualami akhir-akhir ini hanya bukti kalau Allah ingin aku menjadi dewasa mengukur resiko hidup. Namanya hidup ya harus ada susahnya, depresinya, dihianatinya, dikecewakan, kekurangan dan segala hal pahit yang cukup untuk sharingkan dengan Allah saja. “Bagaimana mujahidah, sudah siap melanjutkan hidup? Atau masih tetap ingin segera mati saja?. Innallaha ma’ana!” “Allah, love U. Makasih ya, Allah. Izinkan aku husnul khatimah. Amiin.”<br /><br />---<br /><br />Kang Sam memilih untuk menanti Dzuhur di masjid sementara kami pulang. Karena beliau masih ada agenda pertemuan dengan bapak-bapak pengungsi. Lumayan, aku jadi lebih bebas berekspresi di jalan, seperti biasa. Aku yang ekspresif akan sangat kikuk kalau harus ada makhluk laki-laki disekitarku yang bukan mahrom. Bahkan dulu aku pernah berharap jika saja di dunia ini ada tempat yang tidak ada laki-lakinya, pasti seru. Tidak perlu jaga sikap, tidak perlu “perang” dengan teman pria seorganisasi seperti dulu waktu masih kuliah (emang sekarang sudah nggak kuliah, po?!). Hehe. Tapi sunatullah tetap saja sunatullah. “Bukan begitu?”. Tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia dan tidak seimbang (jadi ingat Al Mulk).<br /><br /><br />Setelah merasa hari ini ending dari agenda sepekan yang menyita hati dan pikiran, aku sangat berharap bisa istirahat dengan satu kata “tidur”. Siangnya aku benar-benar ingin tidur dan tertidur cukup lama sampai adzan Dzuhur tidak lagi membangunkanku. Sebelum tragedy berdarah itu terjadi. Dan Polisi.... (bersambung).<br /><br /> <br /><br />---<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-16715408976993426202010-09-29T22:30:00.000-07:002010-09-29T22:54:45.531-07:00Izinkan Aku KembaliAlhamdulillah, kalimat yang akhirnya mengiringgi ma’tsurat pagiku yang penuh perenungan. Bukan aku merenunggi maknanya, karena setidaknya aku sudah mengerti maknanya bahkan sejak aku memeluk agama ini, hingga wirid pagi petang itu menjadi “senjata” pembuka dan penutup hari, tapi hari ini aku kembali bangun dari tidur panjangku yang lamanya berhari-hari, berpekan-pekan, bahkan ribuan jam yang kukorbankan!</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Entah bagaimana cara Allah menelusupkan hidayah itu ke qalbuku, hanya ketika mataku telah benar-benar terbuka, jiwa ini berbisik letupan syukur. Aku harus kembali! Kembali menjadi seorang Safira yang dulu menjaga adab-adab hidupnya hanya karena berharap tidak kian menyakiti tubuh ummat ini atas berbagai penyimpangan yang kulakukan. Kembali menjadi seorang wanita yang menjaga ‘izzah yang hampir terlempar di tepi aspal-aspal malam. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Pengingkaranku terhadap kondisi telah mematahkan pertahanan yang kubangun dengan air mata dan cucuran keringat! Tidak ada yang kuharapkan selain, agar Allah menuntunku dan memudahkan jalanku untuk “kembali”. Kembali menjalani hari tanpa sekedar kepenatan malam, tapi mempersiapkan malam-malam indahku dengan jiwa dan fisik yang suci! Tidak sekedar bangun karena merasa dihutangi nikmat fisik, ‘aqli dan jiwa, tapi bangun untuk menata cara menyambut mentari pagi yang akan tetap bersinar hingga Maghrib menghampiri.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Semoga hari ini dan selanjutnya akan jauh lebih baik dari menit-menit yang telah berlalu! Semoga jiwa ini senantiasa dituntun untuk menggapai kemulyaan yang tidak bosan-bosannya ditawarkan! Menepati janji yang tidak pernah diingkari. Hingga akhirnya memandang “senyum” terindah yang tidak terlintas dalam pikiran dan imaji hamba. Senyuman milik Sang Pencipta.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Thank’s so much, Rahiim! ^_^</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right">My Diary, 06:11 8 April 2010</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right">Ok, yuuk berkarya! Bikin SOP, bikin SOP, haik! ^_^</p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-10892912873779083652009-12-12T16:21:00.000-08:002009-12-12T16:35:23.555-08:00INDULGENSIA BUNDA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKQQbvPs-ahfumZG9ubehD5bUZKOyDdVvCvcIpSsDUozmQOz7dh584JLmiTUPwxDxgLyKNnKaYOo4xhXZS1WKVmNfuoOYQfN5J3kxL-kPV-V8NqHyOqXnPUubTqNjQ-QnBc38gRGWit6U/s1600-h/Cover+%28depan%29.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 208px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKQQbvPs-ahfumZG9ubehD5bUZKOyDdVvCvcIpSsDUozmQOz7dh584JLmiTUPwxDxgLyKNnKaYOo4xhXZS1WKVmNfuoOYQfN5J3kxL-kPV-V8NqHyOqXnPUubTqNjQ-QnBc38gRGWit6U/s320/Cover+%28depan%29.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5414512326643355266" border="0" /></a><br />Sahabat, Fira sudah menerbitkan buku lho dengan teman-teman di Gerombolan Kreatif. Buku ini diberi judul Indulgensia Bunda yang diambil dari salah satu judul tulisan yang ada. Ada berbagai tulisan di dalam buku ini. Ada cerpen, surat, proposal, esay dan sebagainya yang semuanya kreatif dan inspiratif.<br /><br />Buku ini tidak dijual bebas di pasaran, maka untuk sahabat yang berminat memesan sebagai persiapan kado di HARI IBU, segera jadilah pemiliknya yang pertama dengan menghubungi penulis : SAFIRA SAKSONO di 085266493946 atau via account Face Book:MARTHA DEWI SAMODRAWATI.<br />Email:fira412@gmail.com<br /><br />Hanya seharga Rp 27.500 (tidak termasuk ongkos kirim di luar Jogja-tempat tinggal Fira).<br />Silakan transfer ke Rekening Mandiri Cabang Bangko an. TRISNO SAKSONO<br />Nomor rekening 1100004355134<br /><br />Hubungi dulu ya kalau mau pesan, buat konfirmasi alamat pengiriman.<br />Semoga bermanfaat! ^_^<br />Maturnuwun...Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-2734509000320275462009-08-31T01:45:00.000-07:002009-08-31T01:48:42.894-07:00Tak ada yang lebih mengerti!!!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjez7Zo7ICMGbsaYtFxosr2ZGOEdUmJ_9E7_9nrKtUt4RAZiNbjoLEcQuTpngfMe34_80U73BTt0-sYnepykBhPItc97OC9IVqJ0Ihyphenhyphena7UrrEg9pDdZym6gUP0vb8d9zW9nJ4sYzV7gS8A/s1600-h/n1730586262_6252.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 200px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjez7Zo7ICMGbsaYtFxosr2ZGOEdUmJ_9E7_9nrKtUt4RAZiNbjoLEcQuTpngfMe34_80U73BTt0-sYnepykBhPItc97OC9IVqJ0Ihyphenhyphena7UrrEg9pDdZym6gUP0vb8d9zW9nJ4sYzV7gS8A/s320/n1730586262_6252.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5376047015482396834" border="0" /></a><br /><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span><span style="" lang="SV"> Telephon berdering di hand phone jadulku. Bapak memintaku pulang untuk sebuah acara. Ah, Bapak. Pasti engkau kangen pada putrimu inikan? Lagian acaranya tidak penting-penting amat bagiku. Setelah ujian, aku memang belum sempat pulang. Masih banyak urusan dikampus yang tidak mudah kutinggalkan. Maklum aktivis!he he he.<o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Pak Kades datang siang itu dengan membawa berita yang membuatku bingung untuk bersikap. Senang atau harus sedih? Entahlah yang pasti aku kadang bosan dengan hal-hal seperti ini. Pikiran burukku mengatakan, ”seakan hanya jadi obyek”. Tragis. Kasihan sekali mereka. Mereka? Aku juga kale!. Tidak, karena aku berbeda. Aku sudah merasa berdaya dan puas dengan yang kumiliki dan kurasakan. Apa kupikir mereka tidak? Mereka mungkin juga jauh lebih kuat dan tegar dengan alur hidupnya. ”Mau bagaimana lagi, mbak!”. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Mbak, besok ada kegiatan Rehabilitasi sosial keliling untuk penyandang cacat, tadi pak Kades datang mengantarkan undangannya”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>”Acaranya apa, pak?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Ada pelatihan beberapa skill sepertinya”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Dimana, pak?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Di Sarolangun, besok diampiri mobil dinas sosial jam tujuh. Sepertinya mobil yang dulu pernah jemput mbak Dewi pas SD itu. Siap-siap aja di depan rumah.” Aku diam saja. Mungkin Bapak tahu kalau aku bosan dengan hal-hal seperti ini. Bapak juga tahu seperti apa putrinya. Tanpa program pemberdayaan pun aku sudah berdaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Mungkin mbak malah bisa membantu tim dinas sosial”. Ucap Bapak akhirnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Ouo, njih, Pak lihat situasinya dulu”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Bapak juga sudah tahu kalau aku bahkan sudah merintis lembaga training bersama teman-teman. Materi motivasi selama ini selalu ditugaskan padaku. Entah apa maksud teman-teman. Tapi aku percaya mereka memahami aku seperti aku memahami mereka. Karena aku ”provokator” </span><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Bermacam-macam niat tiba-tiba mampir diotakku. Aku bisa merasakan psikologis penyandang cacat. Mereka tidak akan mampu bangkit hanya dengan motivasi yang lahir dari dalam dirinya. Apalagi jika lingkungannya menekan pertumbuhan semangat itu. Sementara mereka belum memiliki nilai yang mampu membuat mereka merasa tidak sia-sia. Mungkin suatu hari nanti bisa bekerjasama dengan dinas sosial untuk pembinaan ini. Amiin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">......<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Tak ada yang bisa mengerakkan hatiku selain dari membantu memenuhi kewajiban pak Kades untuk mendata dan menyertakan warganya dalam program sosial itu. Apa yang istimewa? Aku juga pernah mengikuti aktivitas serupa. Bedanya saat itu aku masih kecil. Seingatku baru kelas tiga SD. Masih imut-imut dan lucu-lucunya </span><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Masak sich? Iya, karena tidak ada orang lain yang serapi dan selucu diriku di tempat itu. Kita diperiksa satu persatu oleh tim medisnya. Ditanya-tanya lalu diputuskan akan diberi alat bantu seperti apa, atau perlakuan yang menurut mereka ”tepat”. Mungkin karena aku masih terlalu dini untuk memahami program ini saat itu, aku hanya melihat bapak-bapak, ibu-ibu ada juga anak-anak seusiaku yang memiliki keunikan sendiri-sendiri dan manis menurutku. Karena mereka special. Ada yang tidak punya tangan, kaki, ada yang badannya besar tapi tingkahnya seperti anak-anak, ada bayi yang tidak tumbuh sempurna dan kepalanya besar. Aku jadi berfikir, kok yang sakit begini juga ada disini? Bukannya harusnya di bawa ke rumah sakit? Oh, mungkin memang para kepala desanya hanya asal angkut saja, urusan pilih-pilih itu urusannya para medis itu. Nanti mau diperlakukan gimana, dirujuk kemana, yang penting dapat pertolongan pertama dulu. Maksudnya dibawa ke kegiatan sosial ini. Seingatku, mereka umumnya orang-orang yang menengah ke bawah. Layanan seperti ini mungkin juga membantu. Seberapa membantukah?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Dari yang lengkap ingatannya sampai yang hilang ingatannya ada disini. Antrian yang panjang, kasihan mereka. Aku tidak pernah merasa bagian dari keterpurukan nasib mereka. Perasaan nyaman itu mungkin yang membuatku beda. Aku hanya bermain saja dihalaman sekolah yang dijadikan tempat pelayanan itu. Masih dengan seragam sekolahku yang rapi. Lucunya. Ya karena saat itu, aku dijemput Bapak ke sekolah karena mau diajak hadir di kegiatan ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Karena perjalanan dari rumah cukup jauh, sampai siang hari begini aku masih pakai seragam sekolah. Sementara SD yang dipakai untuk acara ini sudah ditinggalkan makhluknya eh muridnya. Anak sekolahan nieh. Bangga juga rasanya. Aku merasa lebih beruntung dari mereka. Meski sama-sama penyandang cacat, masih bisa merasakan jadi anak sekolahan, tidak sekolah di SLB tapi bersama anak-anak yang katanya normal. Padahal teman-temanku juga banyak yang ”aneh”. Masak sich, anak normal kok suka aneh? Kalau diajarin gak mudeng-mudeng, nakal tidak produktif. Meski aku juga nakal, tapi kan selalu produktif. Tepatnya sering, bukan selalu! He he. Jadi apa bedanya anak SLB dengan anak-anak yang sekolah di sekolahan normal/biasa? Saat bapak-bapak tim medis itu menanyakan adabtasiku di sekolah biasa dan menanyakan kemungkinanku masuk SLB ke Bapak, aku jadi bingung sendiri. Bukankah seharusnya anak sepertiku tidak boleh didiskriminasikan? Aku juga berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Aku juga berhak menentukan mau sekolah dimana. Buatku sudah tidak penting masalah adabtasi harus dibesar-besarkan. Justru perlakuan yang khusus akan membuat anak sepertiku tidak bermetal baik. ”Dianggap beda”. Seperti anak-anak aneh yang harus dimasukkan ke penjara yang jauh dari peradaban luar. Bukankah suatu saat nanti kami juga harus berinteraksi dengan berbagai bentuk manusia? Mengapa tidak dibiarkan saja kami menjalani proses persaingan hidup bersama. Bukan perlakuan istimewa itu yang seharusnya diberikan, tapi perhatian yang benar dalam pebinaan mental kami para penyandang cacat!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Dasar anak kecil, tapi aku diam saja saat bapak ibu para medis itu tanya ini itu. Biar Bapak yang jawab. Lagian aku tetap saja juara di sekolah. Imposibble kalau Bapak mau menyekolahkan aku di SLB. Hanya cacat sedikit ini, lagian tidak menghambatku untuk bisa berfikir normal. Huuuhhh, memuakkan! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Lagi-lagi memang aku masih begitu kecil saat itu, setelah diperiksa, aku kembali bermain dan diam-diam memperhatikan orang-orang unik disekitarku. Aku tahu, mereka juga pasti tidak suka kalau kuamati terus. Mereka bisa saja jadi minder karena kondisi fisiknya. Aku paham itu. Sebisanya aku bersikap normal atau kadang melemparkan senyum imutku. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Ya Allah, Engkau menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, itu pasti!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Dhin dhin dhin...suara klakson mobil dinas sosial sudah memanggilku untuk keluar rumah. ”Mbak, jemputan sudah datang”. Ibu mengingatkanku. Kali ini aku harus pergi sendiri karena aku sudah jadi mahasiswa. Lebih tepatnya sudah sarjana. Meski tidak ada yang akan menyangkanya. Apa peduliku. Tubuhku yang awet imutnya ini selalu saja menipu banyak orang. Mereka pasti berfikir kalau aku masih anak SMA atau kalau yang keterlaluan mungkin dikira masih SMP atau malah SD </span><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Tidak apa-apa, itu namanya awet muda!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Dulu saat SMP aku juga pernah ikut kegiatan seperti ini. Aku dapat kenang-kenangan sepasang tongkat penyangga dari dinas sosial. Ya hanya jadi kenang-kenangan karena sampai hari ini aku enggan memakai tongkat itu yang hanya membuatku tidak leluasa berjalan. Bahkan masih berada dibungkusan plastik dan kupajang saja disudut kamarku untuk dipandangi sebelum dan setelah tidur. Tapi bukan benda yang dikeramatkan lho! Lucunya, karena aku tidak punya perasaan apapun dengan selalu melihat barang menarik itu. Harusnya kan, aku menangis kalau melihat togkat itu. Bukankah itu lambang ketidakberdayaan? Ketergantungan? Tidak demikian karena aku merasa sudah mampu menerima kenyataan ini 100%. Ya, aku seorang penyandang cacat, lalu kenapa?! Kata orang-orang dari dinas sosial dulu, kata ”penyandang” dipilih karena kami hanya menyandang gelar itu saja. Toch, tidak menutup kemungkinan orang-orang yang hari ini sehat<span style=""> </span>lengkap fisiknya bisa mengalami hal yang serupa dengan kami. Buatku ini pasti terasa sangat menantang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Suatu hari teman SMP ku yang kebetulan rumahnya juga tidak jauh dari rumah dan biasa seangkot bersama, kecelakaan. Kakinya patah. Anaknya manis eh, cantik ding. Sepertinya dia begitu tertekan. Sebagai gadis cantik yang biasanya lincah dan disukai banyak anak-anak putra, sejak kejadian itu ia seperti orang yang tidak percaya diri. Bukan seperti lagi, tapi aku yakin, pasti! Dia tidak lagi berani berbicara dengan manatap lawan bicaranya. Mungkin dia merasa begitu hina. Tiap naik turun angkot, dia begitu kesulitan. Maklum, penyandang cacat baru. He he. Lho kok diketawain, biarin biar dia tahu rasanya. Bukan itu maksudku, aku hanya melatih dia untuk menerima kenyataan dan percaya bahwa ia bisa sembuh lagi. Tiap berangkat, aku selalu berusaha menemani dan mengantarkannya sampai ke dalam kelas lalu mengunjinginya saat akan pulang. Bukan karena kasihan, tapi aku bisa merasakan beratnya menyesuaikan diri dengan profile yang baru. Padahal aku sendiri juga tidak kuat-kuat amat seandainya harus menolonya saat jatuh. Tapi setidaknya aku bisa pakai jurus sakti ”teriakan minta tolong”. Aku berharap, <span style=""> </span>dengan adanya teman yang memperhatikannya, hatinya jadi lebih kuat dan ini sangat baik bagi perkembangan kesehatan kakinya. Dalam pemahamanku, stimulus positif itu begitu berkesan dalam banyak penyembuhan penyakit. Gak percaya? Buktikan sendiri! Pikiran positif dan lingkungan positif yang kita rasakan akan mempercepat penyembuhan penyakit meski tanpa obat-oabatan kimia sintetis. Karena dengan rangsangan positif ini, otak akan bekerja lebih ekstra untuk mengomandoi organ-organ tubuh untuk melakukan aktivitas penyembuhan. Coba saja kalau sedang pusing, pegang bagian yang pusing dan bacakan beberapa surat pendek dari Al Qur’an sebagai stimulus positifnya dan katakan dengan yakin bahwa pusing itu akan mulai hilang perlahan-lahan. Dijamin, tambah pusing eh enggak. Insya Allah sembuh. Tapi harus tahu dulu penyebab pusingnya, kalau karena lapar ya makan obatnya. Sambil baca-baca mantra, eh maksudnya ayat-ayat tadi, pijit beberapa titik kontak syaraf yang ada di tangan dan kaki. Wah gak rampung ntar kisahnya kalau ditambah ilmu yang ini. Kalau mau belajar hubungi nomor sekian-sekian </span><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Back to fokus!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Untuk aku yang sudah cacat dari kecil, biasa saja dengan hidup begini. Jadi bahan tertawaan orang, teman-teman, anak-anak kecil. Di pandang dengan tatapan yang mengasihani, atau malah dianggap tidak layak dengan posisi tertentu hanya karena cacat fisik, itu mah biasaaa!. Tapi bagaimana dengan mereka yang cacatnya baru? Mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, apa yang sebelumnya mampu dilakukan sendiri menjadi begitu terbatas. Akhirnya harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal. Ketergantungan ini dan kondisi fisik yang berubah, membuat banyak orang tidak percaya lagi pada dirinya. Bahkan tidak jarang yang akhirnya lupa dengan potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya. Ia lebih asyik dengan aktivitas barunya. Meratapi nasib dan merasa menjadi manusia tidak berguna! Wuih,..tragis! Apalagi jika ia merupakan tulang punggung keluarga atau, harapan tempat bersandar banyak orang, ia merasa menjadi benar-benar tidak berguna. Jika tidak kuat, tidak sedikit yang akhirnya memilih bunuh diri. Na’udzubillahi mindzalik! Ya Allah, seberat itukah hidup?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">...........<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">”Martha Dewi Samodrawati!”. Panggilan itu akhirnya sampai juga diurutan namaku. Sedari pagi aku hanya mencoba berkenalan dengan manusia-manusia unik ini. Berusaha untuk membuat mereka bahagia. Dasarnya aku memang suka bersama anak-anak, semua anak kecil yang unik ini akhirnya bisa kujinakkan! Aku satu-satunya mahasiswi di sini. Paling manis lagi (narsis!). Rasanya aku salah alamat dan nambah-nambahin pekerjaan kru dinas sosial. Harusnya aku yang membantu mereka untuk urusan seperti ini. Kemampuan bersikap simpatikku tidak akan mengecewakan. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa aku juga sering membuka praktik ”pelacur” tidak resmi. Ups, jangan salah sangka dulu, maksudku pelayanan curhat gitu lho! Jadi, seharusnyalah jika aku bisa membuat orang-orang ini nyaman dengan hadirku. Bukankah aku memang ”wanita penghibur”. Tuh, kan....dilarang berfikir negatif lho! Ini kawasan ”berikat” dan terikat (pakai apa?). Terikat pada norma-norma hati yang dibuat oleh pembaca sendiri </span><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Ok, deal?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Hobi kenalan rupanya ada manfaatnya juga. Aku memang sama dengan penyandang cacat lainnya, tapi bedanya aku sudah masuk bagian dari sedikit komunitas yang tercerahkan. Ya, tercerahkan adalah istilah yang paling tepat. Aku merasa telah menemukan hakikat penciptaanku dan nyaman dengan apa yang kumiliki dan rasakan. Kuberharap virus motivasi positif ini akan menular lewat sapaan, senyuman dan diskusi ringanku dengan mereka. Menjadi penyakit yang melenakan jiwa. Hingga mereka tidak peduli pada orang-orang negatif <span style=""> </span>yang ada disekitarnya yang selalu menularkan aura negatifnya. Ya, orang-orang negatif memang suka bawa sial! Auranya bisa mematikan sel-sel positif yang bergejolak dalam diri mereka yang butuh disalurkan segera sebelum ia digantikan dengan sel baru atau mati mengenaskan! Yap, aku akan menularkan virus itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">......<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Siapa yang tidak senang jika dirinya merasakan sinyal-sinyal penerimaan dari target operasinya? Pun aku, meski mungkin hanya hari ini bersama mereka, aku bahagia sekali. Semoga mereka bisa bermimpi lebih tinggi dari apa yang telah kudapatkan. Karena aku juga masih punya banyak stock mimpi yang akan kuserahkan pada Penciptaku. Agar Dia mengembalikan mimpiku dengan warna-warna yang mengagumkan. Aku percaya itu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Anak-anak ini, bapak-ibu, mas dan mbak yang ada diantaraku ini. Mereka harus tahu bahwa kondisi fisik bukanlah halangan yang berarti bagi masa depan mereka. Apalagi masa depan akhir hidup mereka. Di Palestina, seorang pria pincang dan selalu bersama kursi rodanya tetap menjadi penggelora semangat perjuangan orang-orang disekelilingnya untuk mencapai cita-cita tertinggi, asma amanina,...syahid sebagai syuhada atau hidup mulia! Siapa yang tidak mengenal pria pincang itu? Bahkan Israel bangsa yang konon very very cerdas, begitu takut dengan keberadaannya. Apalah yang bisa dilakukan oleh seorang yang cacat dan harus diantarkan oleh kursi rodanya? Apa ia bisa ikut perang, bisa melatih brigade militer atau apalah....Ternyata ada hal<span style=""> </span>istimewa yang ia miliki yang mungkin tidak dimiliki oleh selainnya, karena Allah menciptakan manusia dengan kunikannya masing-masing. Kekuatan ruhiyahnya jauh lebih berbahaya dibandingkan seluruh senjata pemusnah masal mana pun buatan Israel. Kedekatannya pada Pemilik nyawa, jauh lebih dekat dari tembok ratapan Yahudi. Dialah Syekh Ahmad Yassin. Pria sederhana yang tewas dibom dan berserakan bersama kursi rodanya oleh kebiadaban Israel! Orang-orang ini, disini, pasti juga punya keistimewaan, aku percaya itu. Hanya mampukah mereka mengenali dirinya dan melejitkan potensi istimewa itu menjadi sesuatu yang dikenang oleh sejarah. Setidaknya sebagai cerita positif bagi anak cucunya kelak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Martha kuliah di Unja?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Iya, pak. Di Fakultas Hukum”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Martha, dari dinas sosial kita punya beberapa program yang bisa Martha manfaatkan. Kita menyediakan beberapa pelatihan skill di Bandung dan Jakarta. Seperti yang Martha lihat, anak-anak tadi juga akan ditangani sesuai kebutuhannya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">” Tadi Martha bilang sudah lulus kuliah, ya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Iya, pak. Baru dua pekan yang lalu saya ujian. Karena di suruh pulang sama orangtua untuk datang di acara ini, makanya saya pulang”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Kalau Martha bersedia, kita bisa mengirim Martha untuk ikut pelatihan yang cocok dan Martha suka”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Mohon maaf bapak sebelumnya. Saya sebenarnya senang sekali jika bisa mengikuti pelatihan-pelatihan itu. Saya jadi punya skill tambahan. Tapi mohon maaf, pak. Orangtua meminta saya untuk melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan UGM tahun ini. Insya Allah akhir bulan ini saya sudah harus berangkat ke Jogja karena harus ikut test penerimaan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Wah, bagus kalau begitu. Bapak bangga! Semangatmu untuk kuliah tinggi. Bapak doakan semoga apa yang Martha cita-citakan terwujud.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Amiin! Terima kasih, pak. Jika ada hal yang bisa kita kerjasamakan, saya bersedia dihubungi, pak. Saya bersama teman-teman di Jambi juga punya lembaga training, namanya ChaMpion Leadership Centre.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Hehemm. Yaa. ”Ini<span style=""> </span>kartu nama Bapak. Kalau pulang ke Jambi, silakan mampir ke rumah”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Terima kasih sekali, pak. Saya tidak akan melupakan pengalaman ini”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">......<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Hampir sore ketika aku akhirnya sampai di rumah. Mobil yang mengantarkan kami harus pula mengantarkan satu-persatu penyandang cacat yang datang di program ini. Lumayan, aku jadi bisa merasakan masuk-masuk ke beberapa desa di Sarolangun. Kondisinya beragam. Ada yang jalannya sudah diaspal, ada yang masih jalan tanah dan sangat becek setelah dilalui truk barang yang biasa mengangkut karet dan sawit. Yang pasti buatku setiap perjalanan adalah hal yang menarik. Banyak pelajaran yang tak akan pernah kuterima di bangku kuliah apalagi dengan jurusan yang kupilih. Bagaimana memahami orang-orang dengan keterbelakangan mental yang kadang ngamuk, menguatkan para penyandang cacat hanya untuk mau hadir saja di acara seperti ini, masih banyak lagi. Rupanya rasa minder yang dalam membuat kebanyakan mereka hanya berdiam diri di rumah dan terisolasi dari warga sekitar. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Begitu yang kutahu dari para kru dinas sosial ini. Sabarnya mereka ya. </span><span style="" lang="SV">Menjemput satu persatu, membujuk, lalu mengantarnya lagi pulang. Semoga diberi balasan yang baik. Ternyata masih ada di negeri ini orang-orang yang bisa bersikap santun kepada para penyandang cacat. Maklum, dulu sewaktu kecil aku sering merasakan sikap yang tidak simpatik kecuali hanya kasihan! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Aku harus lebih baik dari teman-teman sesama penyandang cacat itu. Meski tidak sempurna, aku masih memiliki fisik yang bisa dibawa kemana-mana. Aku masih memiliki banyak potensi yang tersimpan. Aku juga bukan anak idiot. Setidaknya tidak layak bagiku untuk meratapi kondisi dengan kekayaan ciptaan Allah atas fisikku. Hatiku. Dengan merasa tidak berguna dan menjadi beban, secara sadar atau pun tidak, aku sedang memaki Penciptaku dan menampar muka-Nya dengan keluhan-keluhanku. Mengapa aku harus diciptakan cacat? Mengapa aku tidak seberutung anak-anak lain yang memiliki dua kaki sempurna. Jika mereka ingin latihan naik motor atau nyetir mobil, mereka tinggal latihan saja. Toch, dua kakinya kuat untuk itu. Sedangkan aku, kemana-mana harus diantar. Malah dulu saat masih lumpuh, harus digendong kemana-mana. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Rahman Rahiim, aku tahu semua yang Engkau beri bagi hamba-Mu adalah adil. Aku tidak pernah tahu jika saja aku bukan penyandang cacat, entah seperti apa liarnya diriku. Atau sudah jadi apa diriku. Dan bimbingan yang selalu hadir dalam hidupku ini, selalu saja membuatku merasa kuat meski sering jatuh dan jatuh lagi dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan menyenangkan. Yach,...aku harus menerima ini. Harus!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Dulu saat aku masih kecil, aku sering ingat lagu sekolah minggu yang masih kuingat hingga hari ini. Begini kurang lebih syairnya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ada orang buta<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Duduk minta-minta<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tiap-tiap hari dipinggir jalan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pada suatu hari <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tuhan memberkati<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Karena Tuhan cinta celik matanya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Celik matanya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Celik matanya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Karna Tuhan cinta dia disembuhkan!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Aku lalu mengqiyaskan dua celik mata orang buta itu dengan kedua kakiku. Saat itu, aku percaya, bahwa satu kakiku yang sempurna juga Tuhan simpan disurga seperti halnya mata orang buta itu. Hanya tinggal menunggu waktu kapankah aku akan bertemu dengan dua kaki sempurnaku di surga. Indahnya, subhanallah...Ini pula yang rupanya membuatku merasakan kefanaan dunia dan tidak terlalu berharap banyak darinya. Karena toch, yang kuharapkan adalah bertemu dengan hal-hal yang kucintai di surga. Maka ketika aku merasakan lelah yang sangat payah karena harus berjalan kaki, saat itu aku kembali mengingat lagu ini. Menghibur diri karena mengharapkan pertemuan yang abadi. Anak kecil! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="SV">Rahiim, harusnya hari ini aku masih seperti dulu. Oh, sungguh dunia begitu melenakan!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><i><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><i><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>11:41 29 Agustus 2009<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><i><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Aku lebih tertarik menulis ini daripada BAB IV Tesisku,...OH </span></i><i><span lang="SV" style="font-family:Wingdings;"><span style="">L</span></span></i><i><span style="" lang="SV">.maafkan!<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><i><span style="" lang="SV">Lalu adzan Dzuhur mempertemukan kembali ku pada-Nya. So nice^_^.<o:p></o:p></span></i></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-24380977581218809392009-08-21T03:11:00.000-07:002009-08-21T03:19:22.205-07:00Ucapan jelang Ramadhan<span lang="sv-SE">Tak henti-hentinya HP itu berdering</span><span lang="sv-SE">. Dari lepas tegah malam tadi. Semua bermotif sama ”tulisan indah selamat Ramadhan dan permohonan maaf”. Kurasa ini akan terjadi sepanjang hari ini. Tua muda, kecil besar, harusnya aku membalas. Lebih tepatnya aku yang mengirimnya duluan. Tapi, maaf. Aku tidak akan melakukan ini. Meski kadang cinta harus diuangkapkan, tapi biarlah kutitipkan kata hatiku ”sama-sama Pakde, Mas, Mbak, Dik,…..”. Aku sudah memaafkan segala kesalahan orang lain padaku meski tiada yang meminta. Semoga demikian pula kalian. Maaf, aku sedang tidak punya pulsa yang cukup untuk membalas. Daripada satu dibalas lainnya tidak, lebih baik kubalas saja lewat hembusan angin yang menemaniku </span><span style="font-family:Wingdings;"><span lang="sv-SE"></span></span><span lang="sv-SE">. </span><p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE">Aku mencintai kalian semua karena Allah. Selamat Ramadhan 1430 H. Semoga ujung Al Baqarah 183 menjadi milik kita. </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE">Doakan aku komitmen dengan targetan sepanjang bulan ini.</p> <p style="margin-bottom: 0in;">”<span style="color:#003300;"> <span style="font-family:Palatino Linotype, serif;"><span style="font-size: 19pt;font-size:180%;" ><span lang="sv-SE"><i><b>Masa Ramadhan ini tidak akan lebih panjang </b></i></span></span></span></span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="sv-SE"><span style="color:#003300;"><span style="font-family:Palatino Linotype, serif;"><span style="font-size: 19pt;font-size:180%;" ><i><b>dari bulan-bulan perjuangan, </b></i></span></span></span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="sv-SE"><span style="color:#003300;"><span style="font-family:Palatino Linotype, serif;"><span style="font-size: 19pt;font-size:180%;" ><i><b>maka raih kesempatan perbekalan ini </b></i></span></span></span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span style="color:#003300;"><span style="font-family:Palatino Linotype, serif;"><span style="font-size: 19pt;font-size:180%;" ><span lang="sv-SE"><i><b>dengan sempurna!”</b></i></span></span></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="sv-SE">Begitu tulisan yang tertera diakhir mimpi Ramadhanku yang kuhias indah dalam sebua</span><span lang="sv-SE">h slide powerpoint. Romantis sekali!</span></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="right" lang="sv-SE">10:33 21 Agustus 2009</p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="sv-SE"><br /></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-74017222766674258432009-08-21T03:05:00.000-07:002009-08-31T01:34:19.896-07:00Kado Milad untuk Mami<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 15pt; font-family: "Gill Sans MT"; color: purple;" lang="SV"><br /></span><span style="font-family: "Gill Sans MT"; color: purple;" lang="SV"><o:p></o:p></span><span style="" lang="SV">Menjelang 4 Desember 2009 yang tak tertebak akan bertemu dengannya atau tidak. Hari ini 10 Agustus 2009.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Maafkan aku, Mam. Jika aku harus menulis ini. Jika ini membuatmu merasa sesak. Tapi bacalah, agar engkau tahu. Agar engkau mengerti apa yang kurasakan 27 tahun ini. Aku menulisnya bukan hanya karena deadline cetak pertama buku kami. Bukan pula karena mengejar tanggal 22 Desember sebagai peringatan hari Ibu. Juga bukan karena aku baru sadar jika usiaku sudah hampir 27 tahun diawal Desember nanti.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sekali lagi maafkan aku Mami, karena mungkin aku harus menuliskan aibmu. Aib yang seharusnya kututupi. ”Mendhem Jero, mikul dhuwur”, begitu pepatah Jawa. Tapi Mam, aku hanya ingin orang lain belajar dari masa lalu dan masa kecilku yang baru kucuplikan sedikit di tulisan ini, agar pula engkau mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada putrimu. Aku berharap suatu hari nanti, aku mampu menyelesaikan kisah hidupku. Agar anak cucuku tahu seperti apa Ibunya, neneknya. Baiknya, buruknya. Hatinya yang berbunga-bunga, fisiknya yang hancur, luka-lukanya, prestasinya, bahagianya, cintanya dan seberapa banyak orang mengakuinya sebagai seorang manusia yang berguna. Hingga kelak saat aku meninggal masih ada orang yang merasakan aku hidup lewat tulisanku. Mendoakanku, berempati padaku dan mengambil hal yang bermanfaat dari hidupku. Biarkan aku hidup untuk selamanya! Mami, doakan aku bisa mengaplikasikan mimpiku. Menulis biografiku dan kisah-kisah nyata dari orang-orang berkesan dalam hidupku. Amiin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Teguran mengesankan itu<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, saat pertama yang membuatku begitu berkesan memilikimu dan merasakan kepedulianmu padaku, adalah ketika<span style=""> </span>hari itu kau menegur tindakanku dengan begitu mempesona. Itu yang kurasa. Mungkin ini hanya efek dari sikapku yang selalu komitmen pada hal-hal yang kusukai. Aku suka diperlakukan dengan terhormat. Bahkan jika memang harus dimarahi pun, aku ingin dimuliakan sebagai seorang manusia. Kata orang Jawa ”di wongke”. Darinya pula aku belajar untuk memperlakukan orang lain seperti halnya aku ingin diperlakukan. Meski, maaf. Kadang aku juga sering tidak manusiawi. Mungkin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ketika itu Mam, engkau sering memergokiku mengambil uang jajan berlebihan di kotak uang. Karena engkau tidak pernah marah, maka jika boleh, aku ingin protes. Sebenarnya dalam satu sisi engkau juga turut bersalah telah membiarkanku mengambil dan menggunakan uang jajan harian dengan semauku. Bagaimana tidak, saat itu wadah uang kembalian toko selalu saja berisi banyak ribuan dan pecahan ratusan rupiah. Sehingga aku bisa mengambil sesuai dengan keinginanku, atau mungkin kebutuhanku? Untuk ukuran anak yang hidup di kota-kota, uang jajanku sehari bisa saja wajar. Tapi untuk ukuranku yang hanya tinggal di ibukota kabupaten, rasanya cukup mewah. Karena tidak ada batasan berapa banyak uang yang harus kuambil tiap pagi, seingatku uang jajanku makin meningkat jumlahnya setiap pekan. Berawal dari hobi mentraktir teman-teman, meski tidak banyak tapi ajeg ini, aku jadi punya kebutuhan lebih terhadap uang saku. Mami pasti tahu, sebenarnya bukan karena aku ingin diterima dan dicintai teman-temanku dengan bersikap seperti ini, karena toch mereka menyukaiku sebagai anak yang punya prestasi akademik baik dan sikap yang tidak mengecewakan. Demikian pula guru-guruku, penjaga sekolah sampai para pedagang di sekolah. Jarang ada orang yang tidak mengenalku di sekolah. Mungkin engkau akan bilang ”ya iyalah, lha wong yang fisiknya seperti mbak itu langka, pasti mudah dikenali”. Apapun analisamu, menurutku, aku anak yang cukup mengesankan. Aku jujur lho, Mam. Juga tidak sedang akting agar engkau bangga memiliki putri yang unik sepertiku</span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV"> Lagian engkau tidak pernah mengajariku ujub dan menyombongkan diri, setidaknya itu yang kutangkap. Sebagai mahasiswi fakultas hukum, pantang buatku memberi informasi fiktif, Mami </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, engkau yang mengandung, melahirkan dan menyusuiku. Meski kita sempat berpisah cukup lama. Papi yang menemaniku pertumbuhan keusilan dan kejiwaanku. Kurasa kalian jauh lebih tahu anakmu ini. Aku begitu mudah terpanggil dan selalu saja ingin membuat orang-orang tertolong dengan hadirku. Makanya aku jadi sering mentraktir teman-teman. He he he. Bukan alasan lho, Mam. Satu hal pula yang ingin kukatakan, Mam. Dulu aku tidak pernah tahu jika dibalik trik uang jajan tanpa jatah dan bebas mengambil sendiri ini, <span style=""> </span>ada hal yang ingin kalian tanamkan padaku. Ini pun hanya penafsiran<span style=""> </span>yang kubuat setelah hari ini aku menyadari bahwa untuk memperoleh sesuatu, kita harus pula mengorbankan sesuatu yang lain. Aku berhasil menjadi pribadi yang bertanggungjawab dengan apa yang kulakukan, Mam. Jujur setidaknya karena aku belajar dari kepercayaan yang kalian tanamkan. Kalau butuh uang lebih, toch aku tidak perlu mencuri atau pun takut untuk meminta. Karena uangnya tinggal ambil sendiri. Kepercayaan yang luar biasa yang kudapatkan dalam tiap situasi, membuatku berfikir sendiri jika ingin melakukan suatu tindakan. Pun saat aku harus mengomandoi demonstrasi disekolah pada akhir 1997. Kalian begitu percaya padaku meski aku jarang pulang dan berada dalam bahaya. Aku bisa merasakan support luar biasa itu. Aku seperti seorang wanita dewasa yang harus bertanggungjawab dengan segala hal yang mungkin terjadi. Bukan hanya pada diriku, tapi juga terhadap teman-teman se sekolah. Padahal aku baru kelas satu SMA. Masih muda saat itu, belum 16 tahun. Oh, tapi Mam, aku kehilangan hal yang lain. Aku tak pandai memanage keuangan. Mungkin menurut orang lain aku boros. Tapi apa boleh buat, kita sekeluarga selalu berkeyakinan bahwa rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tinggal berdoa saja dan diiringi dengan membuka jalan rezeki, maka rezeki itu akan datang saat kita membutuhkannya. Lagian pengeluaranku juga tidak melulu untuk hal yang sia-sia. Saat kuliah di S1 misalnya, aku yakin uang yang Mami dan Papi beri tidak akan sia-sia. Aku seorang aktivis yang pantang mengeluarkan uang untuk sekedar hura-hura. Jika pun membeli barang-barang, rasanya memang aku membutuhkannya. Meski kadang aku juga suka royal. Heemmm, terutama pada makanan dan hal-hal yang kusukai. Tak apalah sekali-kali. Tapi maaf, Mami. Tetap saja aku belum cerdas mengatur keuangan mungkin sampai umurku hampir 27 tahun ini. Doakan aku, Mam. Aku pasti bisa profesional dan proporsional!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kemudahan rezeki yang menurut Papi datang lewat berbagai saluran itu terbukti. Hingga aku akan menyelesaikan S2 ku pun, kita tidak pernah persiapan dana kuliah. Uang bayaran yang jutaan tiap beberapa bulan datang saja sesuai dengan waktu dibutuhkan. Meski mungkin kalian harus berpusing-pusing ria untuk itu. Maafkan aku jika belum mampu membalasnya. Kurasa aku tak akan pernah mampu, Mam. Karena semuanya tak dapat dihargai lagi hanya dengan tumpukan uang. Semoga aku bisa membalasnya dengan hal lain. Doakan aku menjadi anak yang berbakti, Mami, Papi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Oh iya, Mam. Tadi aku ingin menceritakan hal yang berkesan dari caramu menasehatiku saat hobi mentraktir itu <span style=""> </span>sulit dihentikan. Engkau memanggilku, lalu kita duduk di rumah tengah, hanya berdua saja. Pelan-pelan engkau katakan padaku, ”Mbak, teman-temanmu itu juga punya orangtua. Mereka juga dipikirkan oleh orangtuanya. Mereka juga punya uang saku. Juga diberi uang jajan. Bla bla bla. Tahukah engakau Mami, aku merasa tersanjung saat itu. Kukira engkau akan membiarkan anak ”liar” ini tanpa teguran, nasehat. Kukira aku akan dibiarkan bebas sesuka hatiku. Aku bahagia saat itu. Akhirnya kita sepakat pada nominal uang saku harianku. Hanya sejumlah itu yang boleh kuambil setiap hari. Tapi maaf, Mam. Kuyakin engkau sudah mengevaluasi kebebasan yang sudah terjadi. Maka jika aku tetap masih suka mentraktir teman-temanku, kali ini jauh lebih rasional dan proporsional. Tahukan, Mam apa alasannya? Itu pun akhirnya hanya jadi hal yang momentual. Karena aku memang baik, Mami. Jadi sulit menghilangkan sifat baikku. Huuuhhh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Dia sahabatku<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami jangan marah, ya. Sebagai anak yang transparan, Mami dan Papi pasti tahu semua aktivitas dan segudang agendaku, intra dan ekstra kurikuler. Belum lagi hobi kreatifku yang sering membuat kamar menjadi berantakan karena berisi banyak bahan-bahan dan barang-barang kerajinan, meski setelahnya aku segera merapikan. Hobi ini pula yang membuatku kadang suka menyendiri (meski secara normal, semua orang menyukai kehadiranku, kecuali saat aku bawel dan keras). Meski kadang suka sendirian, aku tetap menjadi anak yang berjiwa sosial, Mam. Bukan karena bisa bersosialisasi dengan berbagai genk dan kelompok pergaulanku, tapi aku juga selalu ingin merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang kurang beruntung sepertiku, yang bukan anak manja dan kolokan sepertiku (biar manja dan kolokan tapi aku ngangeni banyak orang kan, Mam. Dan pasti menggemaskan </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. iyaaa, kan gak bisa gede-gede, jadi imuuuut terus). Untuk aksi ini aku ingin berterima kasih kepada kalian berdua yang sudah memberi anggaran lebih buatku. Ongkos sosial. Sehingga aku bisa sedikit merasakan dan menjadi bagian dari teman-temanku yang kekurangan. Juga terima kasih, karena sudah bersedia menerima sahabatku yang hidupnya penuh tragedi untuk disekolahkan dan menjadi bagian dari keluarga kita, meski niat baik ini tak berhasil kuwujudkan. Tahu Mami, bagaimana ceritanya?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Begini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sore itu ditemani langit mendung, aku membulatkan tekad untuk datang ke rumah sahabatku. Itu pun setelah konsultasi dengan kalian berdua. Aku sudah gemas dan jenuh atas perlakuan kakak iparnya yang tidak manusiawi dan tidak senonoh. Meski aku masih SMP, dan gak bisa gedhe, aku merasa ini masalah serius. Tiap curhat ia selalu menangis. Tapi ia tidak punya daya untuk melepaskan diri dari keluarganya itu, karena ibunya sendiri jauh dan hanya menjadi pembantu rumah tangga yang tidak seberapa honornya. Belum lagi adik-adiknya juga butuh dihidupi. Ia sudah tidak ber-ayah. Adik-adiknya pun semua dititipkan pada orang lain untuk disekolahkan. Pun dirinya, harus rela ikut kakaknya yang bersuami jahil (maaf kalau ini salah, aku hanya mendengar dari ceritanya). Akhirnya kuberanikan diri juga untuk melihat seperti apa kakak iparnya sore itu, sekalian ingin kusampaikan niatku untuk membawanya ke rumah kita. Dengan bahasa seadanya gaya anak SMP, aku sampaikan keinginan memintanya menemaniku di rumah. Alasanku, karena aku butuh teman, itu saja! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku begitu sedih, karena belum pandai berargumentasi dan meyakinkan kakak iparnya. Aku pun belum pandai membuat strategi yang lain, hingga akhirnya permintaanku ditolak! Meski gaya bicaranya baik, tetap saja aku tidak puas karena keinginanku tidak terwujud. Mam. Benar-benar tidak puas! Oo, mungkin ini efek dari sikap kalian yang selalu memfasilitasiku, sehingga aku selalu berfikir aku harus dapatkan semua yang kumau </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Maaf, Mami....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Malam itu akhirnya aku pulang dibawah gerimis menuju rumah sahabatku yang lain. Mami tahu kan, siapa dia. Tempat Mami sering menjemputku sepulang dari les sore. Aku masih ingat, saat itu disebuah pertigaan, kami berpisah dan berpelukan. Hanya ada kami bertiga saat itu. Tiga anak kecil dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tiga penyayi cilik yang mengidentikkan diri sebagai AB Three, idola kami. Kami berpisah hampir tanpa suara. Hanya air mata yang mewakili hati kami. Apa yang bisa kami lakukan untuk merubah takdir yang rasanya begitu suram saat itu, terutama untuk kedua temanku. Akhirnya, satu persatu kata-kata bijak itu lahir dari lidah kami masing-masing. Kami saling menguatkan dan menasehati. Ukhh, anak sekecil mereka harus merasakan kehidupan yang pahit. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Jika Allah mengizinkan kita akan terus bersama, mengejar mimpi kita bersama.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Dewi, engkau beruntung, tidak merasakan kehidupan seperti kami, doakan kami tegar dan semoga engkau kelak akan meraih mimpi-mimpimu. Doakan aku masih bisa tetap sekolah, ya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Maafkan aku, tidak bisa menolongmu”. kataku terbata-bata di sela sesengukkanku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”Terima kasih untuk kalian berdua, yang selalu ada dalam suka dukaku”. Lanjutnya. Dialog itu nyaris hanya terjadi antara aku dan sahabatku yang tanpa ayah itu. Sementara sahabatku yang satunya, nyaris tanpa kata kecuali saat pamitan. Titik gerimis yang menguyur rasanya ikut berduka, ia mencoba memahami hati kami. Romantis sekali, ya....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Saat terakhir kami bersama adalah menjelang perpisahan kelas tiga. Kami masih latihan vokal bersama. Mencoba menyanyikan lagu-lagu AB Three bersama. Masih sedikit kuingat, saat itu ada sebuah syair yang berbunyi<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pertemuan kita seakan ...... (aku lupa </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Menghapus sgala salah prasangka<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kisah cinta kita <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">bagai melodi yang terukir indah terbebas dari sgala kesalahan...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dan segala cobaan....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Hari ini aku bahagia (na na na)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">Mencoba tuk berdoa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">Semoga cita-cita kita (na na na)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">wah dah lupa nich!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Lagu ini tertuju bagi kisah persahabatan yang hilang diderai gerimis kota Bangko. Aku ingin mengingat syairnya kembali, tapi apa ya judulnya. Semoga kalau AB Three membaca tulisan ini, ia berkenan mengirimiku albumnya </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Karena kendala teknis, lagu perpisahan ini pun tak mampu megakhiri kisah cinta kami. Semua hanya bisa tampil solo dengan lagu cadangan masing-masing. Mami masih ingat, kan? Begitu sibuknya aku mencari kostum untuk pementasan. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Untungnya aku hanya tampil pada moment perpisahan dan lomba-lomba. </span><span style="" lang="SV">Coba kalau sering, pasti Mami akan ngomel-ngomel terus. He he he. Waktu itu aku nyanyi lagunya Nike Ardhila. Ya, memang jenis musik begini yang kami suka, Mam. Dulu aku alergi berat sama DangDut. Karena saat itu kesannya kurang baik buatku. Pun hingga hari ini, aku tetap suka musik, terutama musik klasik dan instrumentalia</span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Biarkan aku memilih lagi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Iya, Mam. Ngomong-ngomong soal musik, aku jadi ingat kebiasaan kita kalau malam mingguan. Di halaman rumah kita akan ramai sekali dengan bunyi-bunyian. Ada yang main keyboard, gitar, kencringan, harmonika atau kadang malah Papi ngeluarin gamelan. Ada Slendro atau Pelog. Untung gong nya tidak dikeluarkan. Tapi heran ya, Mam. Tidak satu pun alat musik yang aku kuasasi meski Papi sudah berusaha menyediakannya. Aku lebih suka bernyayi dari pada main musik. Padahal pak Pendeta Simanjuntak sudah diminta khusus sama Papi untuk melatihku main keyboard dan organ. Tetap saja sama, aku hanya bisa bernyanyi Denpasar Moon karena menghapalkan notasi angkanya. Mami mau tahu apa alasannya, kenapa aku tidak berminat main musik? Banyak Mam, diantaranya aku tidak sabar, saat latihan gitar jariku jadi pedih, bengkak-bangkak. Saat latihan organ, Papi bilang nanti kalau sudah mahir bisa jadi pemain organ di gereja. Padahal saat itu aku sudah merasa menjadi seorang muslim. Maaf, Mam yang pasti ego keislamanku jadi ikut berbicara. Sebenarnya aku juga belum tahu banyak tentang Islam. <span style=""> </span>Makanya tiap Natal dan Tahun Baru aku tetap saja membaca liturgi dan dapat hadiah di gereja, hanya saja aku tidak pernah punya ruh untuk menjadi seorang Nashrani. Itu yang mungkin membuat kita berbeda. Jika Mami muslimah yang akhirnya begitu khusyuk menjadi Nashrani. Sedangkan aku sebaliknya. Aku merasa menikmati petualangan ruhiyah yang fantastis selama aku menjadi seorang muslimah, meski Ayah Ibuku Nashrani. Makanya, kalau ada apa-apa yang dihubungkan dengan gereja, aku pasti akan mundur teratur. Seperti motivasi belajar keyboard misalnya. Padahal sebenarnya tidak harus sesaklek itu. Lagian aku bisa belajar lagu-lagu selain yang ada di Kidung Jemaat. Tapi mau gimana lagi, pak Pendeta selalu saja mengajari notasi Kidung Jemaat. Mami dan Papi juga tahu, aku anak yang santun. Aku tidak akan mendebat dan membantah kedua orangtuaku yang mulia. Atau menolak saat proses belajar sedang berlangsung. Makanya aku lebih baik bermalas-malasan saja. Mohon maaf, Mami, Papi tidak semua hal yang kalian minta dapat aku turuti. Dalam hal muamalah, apa pun akan aku berikan semampuku jika itu membuat kalian bahagia, tapi dalam hal Aqidah, Ibadah, dan Akhlaq Islam, biarkan aku memilih hidupku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jujur, Mam. Aku begitu merasakan hal yang fantastis dari kehidupan kita. Terlepas dari beban-beban perasaan yang pasti kita rasakan meski itu takkan terucap. Kupikir jika ada penghargaan keluarga bertajuk kerukunan antar umat beragama, seharusnya kita menjadi nominatornya. Bagaimana tidak, Mam. Papi yang seorang Pinitua gereja pengurus resort Lintang Bukit Barisan GKPI, yang mengkoordinasikan gereja-gereja di Jambi, dan Mami seorang bendahara gereja, punya seorang putri aktivis dakwah kampus. Aku pun bukan aktivis biasa, Mam. Dulu hidupku dari hari kehari hanya berputar pada aktivitas dakwah kampus yang kadang juga perlu banyak pembenahan management agar efektif. Berbusa-busa kata dan ide yang termuntahkan dalam tiap rapat. Hingga kami saling menjuluki satu sama lain sebagai angkatan enam enam (66). Hanya karena berangkat pagi jam enam dan pulang sudah jam enam lagi. Mungkin di Jawa pukul enam itu sudah siang, karena subuhnya pukul 04.00 dini hari. Tapi Jambi, ya lumayanlah. Embun pun masih belum tersibak. Semoga ini menjadi evaluasi bagi mereka yang masih peduli pada pencitraan yang baik bagi kampus untuk lebih efektif dan efisien dalam koordinasinya. Agar waktu yang begitu banyak tidak sia-sia hanya di forum-forum rapat dan rapat (syuro’). Sehingga julukan ahlul syuro wal jama’ah terpaksa mereka sandang. </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku juga ingin minta maaf, Mam. Jika seringkali saat kalian datang jauh-jauh dari Bangko ke Jambi hanya bertemu denganku sesaat atau hanya malam hari saat aku sudah merasa lelah. Saat itu, aku tak dapat meninggalkan agenda-agendaku, Mami. Jikalah ada peran pengganti. Tapi aku yakin kalian paham. Karena kalian juga akyivis sepertiku. Bahkan pulang ke rumahpun terkadang sudah tengah malam karena aktivitas yang dipisahkan berkilo-kilo jarak. Aku juga masih ingat betapa saat SMA aku sempat merasa kurang diperhatikan. Jika saja saat itu aku bukan ketua OSIS, bukan aktivis LSM, bukan juara sekolah, dan tak ada yang peduli dengan segala perilakuku, mungkin aku sudah jadi anak yang tidak ”bener”. Bagaimana tidak, Mam. Setiap opersi narkoba yang kulakukan bersama sta-staf di OSIS dan para guru, ada beraneka jenis obat-obatan yang bisa kukenali dan jadikan mainan. Alhamdulillah, posisi juga yang menyelamatkanku. Hingga kuputuskan untuk mengenal dekat dengan narkoba agar aku bisa membentengi diriku. Maka hampir tiap bulan ada-ada saja kegiatan yang kuadakan disekolah terkait dengan ”perkenalan” dengan narkoba. Kadang ada bapak-bapak dari kepolisian yang datang, kadang dari kejaksaan, dari kehakiman pokoknya semua yang bau-bau hukum harus menyicipi sambutan kami disekolah. Dengan catatan mereka harus mengenalkan kami dengan ilmu-ilmu hukum.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, Papi, dengan perbedaan agama ini, kadang aku berfikir begitu kuatnya Papi dan Mami menahan malu karena memiliki anak sepertiku diantara keluarga-keluarga gereja yang lain. Tapi Mam, percayalah. Kalian tidak akan pernah rugi memiliku. Aku tahu, aku istimewa. Tidak ada seorang pun yang sama denganku. Aku begitu beruntung dan merasa berharga dengan kehidupan yang kujalani. Tapi Mami dan Papi juga tidak perlu khawatir kalau aku akan menjadi pribadi yang sombong. <span style=""> </span>Aku ini hanya seorang hamba. Seperti nama yang Papi berikan padaku, aku hanya seorang Martha, Pelayan. Dan doakan aku tetap setia memakai makna dari nama itu untuk melayani ummat hingga akhir usiaku ini. Terima kasih Papi, untuk nama yang engkau berikan, penuh inspirasi. Meski hari ini banyak yang memanggilku Safira. Sebenarnya ini berawal dari hobiku berpetualangku, aku ingin menamai diriku dengan kebiasaan shafar, sebagai seorang musafir. Tapi akhirnya kepeleset jadi Safira yang sebenarnya lebih tepat bermakna ”Duta”. Maka nama yang kupakai saat pertama kalinya aku bersyahadat pada 1 Desember 2001 itu adalah Safirah Jannah (Duta Syurga). Padahal aku inginnya <b>Shafiratul Jannah</b> (Orang-orang yang dalam perjalanan ke surga). Maaf, Mam. Aku tidak pernah cerita tentang syahadatku. Karena buatku ini hanya upaya legal formal. Syahadat (kesaksian) ku yang sesungguhnya ada di sini, didalam lubuk hatiku yang tergetar saat kata-kata mulia itu pertama kali kuucapkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">MERAH !!!<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, mungkin cerita ini hanya menjadi penggal-penggal yang tak utuh yang Mami, Papi juga teman-teman di Jambi tahu. Tapi biarlah, setidaknya suatu saat nanti saat harus merangkainya kembali, surat ini bisa membantuku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami masih ingat saat melepaskan kepergianku ke Jogja bersama Tria? Ya, waktu itu kita berdoa bersama seperti biasa sebelum kita berangkat ke suatu tempat atau hendak beraktifitas. Aku berdoa dengan caraku, dan engkau berdoa dengan caramu. Bait-bait do’a ikatan hati kulemparkan ke penjuru ruang. Berharap malaikat hadir dan mengamininya. Aku tidak kuat menahan linangan air mata dan sesak di dada saat itu. Mudah terenyuh dan menangis memang diantara ciriku, tapi kali ini beda. Aku akan pergi ke negeri seberang dan menemui orang-orang asing dalam hidupku. Meski Jogja tidak terlalu jauh, tapi aku juga harus berjuang mewujudkan mimpi kalian. Lulus di kenotariatan UGM. Bukan tidak ingin kuliah di UGM, Mam. Engkau juga tahu saat SMA aku sangat berharap bisa diterima di kampus itu. Bahkan aku sudah menutup hatiku untuk UNJA, satu-satunya kampus negeri di propinsi Jambi saat itu. Meski aku bisa melenggang masuk tanpa tes. Mungkin diantara pergolakan batinku adalah, aku akan bersaing dengan orang-orang yang berada pada jurusan yang sama sekali tidak kuminati. Tapi kecamuk ini sesungguhnya kurasa telah selesai setelah aku menangis semalaman dan meminta agar Allah menguatkan hatiku. Allah tunjukan bahwa ini pasti yang terbaik bagiku. Permohonan itu telah kupanjatkan beberapa bulan sebelumnya kalian menyatakan dengan resmi rencana menyekolahkanku di kenotariatan. Habis sudah hatiku saat itu. Padahal, aku hanya berharap menjadi seorang dosen atau anggota legislatif. Di kelas hukum administrasi negara awal kuliah, seorang dosen pernah bertanya padaku alasan memilih jurusan ini. Dengan penuh emosi mungkin dan kemantapan hati kukatakan ”saya sudah muak dengan birokrat negeri ini yang tidak beres membuat undang-undang. Biar saya yang akan menggantikan mereka, pak!” Banyak peraturan timpang-tindih. Mana upaya sinkronisasinya? Undang-undang Perseroan Terbatas saja tidak kompak dengan BUMN. Belum lagi birokrasi, standart pelayanan minimal untuk rakyat jarang ada yang jelas. Urusan dengan pejabat sering jadi urusan yang memakan banyak waktu dan menghabiskan uang. Capek!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, aku hanya seorang mahasiswi biasa yang pernah merasakan menyalanya fakultasku di awal-awal tahun kuliah. Menikmati suasana panas, ceceran darah, perkelahian <span style=""> </span>dan permusuhan yang seakan tak pernah ada akhirnya. Aku lelah. Bahkan selama menjadi mahasiswi fakultas hukum saat itu, aku jarang terlihat di kampusku kecuali pada jam-jam kuliah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, rasanya lebih adem untuk mangkal. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Ada suasana yang berbeda antara mahasiswa hukum dan calon guru. Mungkin ini lumrah dan sunatullah. Aku yang setiap saat menerima hal-hal berbau sekuler, atau juga filsafat, atau pemikiran-pemikiran bebas dari para ilmuan yang kudapat bukan hanya lewat buku, tapi juga lingkungan akademik, membuatku haus akan sesuatu yang menyeimbangkan pertumbuhan pemikiranku. Aku lelah, Mam. Begitu lelah. Jiwa pemberontakkanku menguat saat aku mulai memasuki semester tiga. Aku benar-benar tidak betah dengan pemandangan disekitarku. Mahasiswa yang mabuk dipinggir ruangan. Puntung rokok yang berserakan, pergaulan bebas, begitu murahnya laki-laki dan perempuan berangkulan, atau kadang aku yang sering iseng harus memergoki kakak-kakak tingkatku memakai barang haram di belakang kelas. Belum lagi sebuah insiden pembunuhan yang terjadi di koridor kelas, dan segala perkelahian yang hanya layak dilakukan oleh orang-orang yang otaknya tidak diisi kecuali dengan hal-hal tidak berguna.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">Terkadang aku berfikir, situasi ini mungkin akan mematikan hatiku dan membentukku menjadi makhluk aneh yang hanya pandai berdebat dan mengucapkan segudang teori-teori hasil reduksi pemikir barat yang tak kumengerti ujung pemikirannya selain dari kehidupan yang hedonis dan sekuler. </span><span style="" lang="SV">Bukan aku tidak bangga dengan gelarku sebagai mahasiswa fakultas hukum saat itu. Sebagai mahasiswa yang paling ditakuti di kampus Unja! Saat OSPEK, dengan teriakan tertahan, aku sudah mencium lantainya dan membunuh segala keegoan dan keterpaksaan untuk berada di jurusan ini. Aku berharap bisa membahagiakan kalian berdua dan guru-guruku yang meminta agar aku masuk ke fakultas hukum. Dua hari diawal masuk kampus ini begitu tragis. Tiada istilah lain yang dipilih oleh teman-teman dari dalam maupun luar fakultas selain kata ”pembantaian” dalam OSPEK. Mungkin ini berlebihan. Tapi mungkin pula ini adalah persiapan mental kami untuk masuk ke dunia rimba yang hanya mementingkan kekuatan otot ini. Lalu aku menjadi peserta terbaik di acara yang ”gila” itu. Seremoni yang seumur hidup tak akan pernah masuk dalam daftar pembinaan terhadap kepribadian. Alhamdulillah, ditengah kegersangan situasi ini, aku masih bisa berobat dengan wajah-wajah teduh disekitar kampusku. Bukan hanya suara monyet dan gemerisik dahan, tapi juga dari pribadi-pribadi yang menjadi saluran ketegaranku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Setapak demi setapak namun pasti, kegersangan itu mulai menipis. Fakultas yang dulunya hanyalah tempat ”angker” tempat Jin buang anak kata orang-orang, mulai dihiasi dengan rona yang segar. Meski jujur, aku sempat menjadi orang ter-aneh diantara teman-teman se-fakultasku. Usai syahadat di tahun<span style=""> </span>pertama, aku memutuskan untuk tidak mengobral auratku pada orang-orang yang tidak berhak melihatnya dan akan tersiksa karena kelakuanku. Aku menemukn komunitas baru. Komunitas yang membuatku berani memiliki mimpi untuk memperbaiki sistem dan menjadi problem solver masalah-masalah di fakultas ini. Indah, bukan? Ya, karena kita memang harus bermimpi, dan biarkan Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu. Lalu mengembalikan mimpi itu dengan berbagai warna yang menakjubkan. Saat itu, mimpimu telah terjawab!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pakaian taqwa yang kukenakan nyaris menjadi tontonan yang unik setiap kali aku melintasi jalan-jalan di sepanjang fakultas. ”Aku jadi bahan perhatian”! Ups, keren </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Ada hal yang selalu menguatkanku dan membuatku tetap percaya diri dengan pakaian ini dan cara mereka memandang. ”Aku pasti terlihat unik, lagian mereka belum tahu apa gunanya pakaian aneh ini”. Biarlah mereka belajar. Dari buku, ceramah, internet atau apapunlah. Bukankah di era ini tidak lazim kalau ada orang yang mengatakan saya tidak tahu ini dan itu sementara ia tidak pernah mempelajarinya dan berusaha cari tahu. Segala fasilitas telah tersedia. Tinggal satu fasilitas lagi yang harus disediakan sendiri, ”bunuh kesombongan dan keegoanmu lalu mulailah untuk memakai mata hati yang masih bersih”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku hanya mampu berdo’a agar Allah mengirimkan orang-orang baik yang bisa mewarnai kebobrokan ini. Pelan tapi pasti, aku yakin doaku didengar. Hingga hanya air mata saja yang masih kumiliki untuk mengekspresikan jeritan syukur hatiku. Hari ini, aku yakin adik-adik tingkatku memiliki ujiannya sendiri. Semoga mereka tidak sekasar aku </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Tidak seanarkis aku! Lihat saja dari bahasa tulisku. Jika layak diberi warna kuyakin sama dengan warna khas fakultasku. MERAH!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Jogja telah membunuhku!<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Manusia hanya bisa berencana dan hanya Tuhan yang menentukan! Aku sepakat dengan kalimat itu. Tapi ada hal yang harus dilanjutkan. Aku selalu diajarkan untuk mempengaruhi pikiranku tentang hal yang kuinginkan. Itulah sebabnya aku sangat percaya dan peka dengan alur dan kekuatan pikiranku. Jika aku merasa mampu, aku pasti mampu melakukannya. Ternyata memang demikian adanya ”Allah di atas persangkaan hamba-Nya”. Indahnya</span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bermodal tekad dan niat bulat untuk belajar mencintai hal yang tidak kusukai karena cintaku pada kalian, kuberanikan diri untuk mengikuti test masuk Magister Kenotariatan UGM. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus lulus dan aku yakin pasti lulus, insya Allah. Tiga bulan sudah aku mempersiapkan hatiku untuk meninggalkan Jambi dan semua orang yang membuatku menjadi merasa berarti. Beraneka reaksi mereka sesungguhnya sama dengan apa yang kurasa. Berat untuk berpisah. Saat itu pula aku dan tim kecilku sedang membidani kelahiran sebuah wadah potensi kami. Sebuah lembaga training. Kami punya banyak mimpi, Mam. Mimpi itu baru belajar berjalan dalam step-step yang tak tertebak. Tapi kami tahu apa yang kami inginkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tiga bulan ternyata pula bagian dari skenarioku untuk menanti dan merasakan derita yang panjang. Pendaftaran ujian skripsiku harus tertunda karena masalah kurikulum yang kurang terprediksi sebelumnya. Maklum, sosialisasinya tidak masif. Tapi apa boleh buat, aku hanya punya waktu tiga bulan lagi untuk berkesempatan test di UGM atau harus rela menanti sampai tahun depan! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ridho Allah di atas ridho orangtua adalah bagian dari senjata utamaku selain keyakinan yang telah kutanam dalam-dalam, aku pasti lulus insya Allah. Mungkin ini cara-Nya untuk membuatku mampu melepaskan Jambi perlahan-lahan. Dengan sedikit berjuang akhirnya aku menjadi satu-satunya mahasiswa di angkatanku yang dapat lolos ujian akhir. Sebabnya sederhana. Sifat iseng dan coba-cobaku ada hasilnya. Dulu, saat kurikulum baru ditawarkan, aku mencoba mengambil beberapa mata kuliah yang kurasa menarik. Akhirnya aku tidak harus mengulang banyak mata kuliah yang tersisa seperti teman-teman dan kakak tingkatku yang terjebak kurikulum. Hanya beberapa langkah dan bantuan yang luar biasa dari para dosenku yang rasanya seperti orangtuaku sendiri, akhirnya aku dinyatakan dapat mengikuti ujian. Dan hal yang sampai hari ini begitu membekas dari peristiwa itu. Akhlaq yang baik dan kesabaran sering memberi banyak peluang saat yang lain tidak mendapatkannya. Mengikuti prosedur, menghindari konflik, lalu semangat melanjutkan kuliah ternyata membuat jalan ujianku mulus! Aku nyaris tidak banyak persiapan untuk itu. Hanya sehari sebelumnya aku sempat minta izin untuk tidak hadir rapat instruktur sebuah acara karena esoknya akan ujian. Jadilah aku mahasiswi yang punya rekor akademis cukup lama. Sebelas semester! Dengan IPK pas-pasan hanya 3,5. itu pun ada nilai Cnya 3. Jujur aku malu. Malu pada planning-planningku dulu saat baru masuk kampus. Sedih, karena saat wisuda Mami dan Papi tidak dipanggil untuk menerima penghargaan atas prestasiku. Tidak seperti dulu saat aku masih sekolah. Maafkan aku....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, masih ingat ucapanku saat baru tinggal di Jogja? ”tiap dengar suara pesawat, aku ingin pulang!”. Katamu waktu itu ”bukannya pesawat lewat hampir tiap lima menit, mbak?” ”Iya”. Kataku. Lalu kalian berdua menghibur sulung yang kolokan ini dengan berbagai motivasi dan harapan. Sejenak aku bisa tenang. Tapi selanjutnya aku tetap hanyut dalam kehidupan putri dalam cermin atau putri di balik jendela seperti toto chan. Atau apalah lainnya. Aku jadi pemalas, Mam. Mungkin juga sampai sekarang. Setelah subuh dan tilawah, aku begitu malas beraktifitas. Hanya di tempat tidur, baca, lalu dibaca oleh buku karena aku sudah tidur! Hidup yang membosankan! Untungnya masa penantian menuju kuliah tidak terlalu lama. Bisa amnesia aku kalau tidak produktif begini. Kalau pun aku berada di depan komputer, aku hanya memutar musik-musik instrumentalia, lalu mengenang kenangan-kenangan selama di Jambi dan menangis. Oh, lucunya. Aku shock budaya, shock situasi. Bagaimana tidak, sebenarnya bukan kalian saja yang selalu melayaniku tapi juga teman-temanku. Kalau dulu aku tidak pernah mengangkat tas yang berat sendiri, di sini aku harus melakukannya. Mengangkat air seember. Pegal semua badanku! Aku bukannya tidak pernah bekerja. Bahkan nyaris semua pekerjaan aku bisa. Mulai dari membuat perabotan rumah sederhana, memperbaiki saluran listrik meski harus manjat-manjat, saluran air, mengecat, pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan meski bukan kewajibannya. Seperti memasak, menjahit, menyulam, mencuci, apa lagi ya... yang pasti semua hal yang bisa dilakukan fisikku, kurasa tak ada yang tidak dapat kulakukan. Karena hal yang belum dapat kulakukan saat ini adalah lari! Bedanya, aku selalu melakukannya dengan senang hati dan selalu ada orang yang siap membantuku. Karena badanku kecil dan tidak terlatih mengangkat yang berat, jadi wajar kalau aku kurang nyaman dengan hal yang satu ini. Tapi di sini aku harus melakukan semuanya sendiri! Kadang aku juga berfikir, apa mereka tidak bisa lihat kalau kakiku cacat. Untuk berjalan saja aku harus memegangnya dengan tangan kanan. Kalau harus mengangkat barang yang berat dengan satu tangan kiri, logikanya pasti melelahkan. Atau karena aku orang asing jadi masih pada segan. Lagian aku memang sulit mengatakan kata ”tolong” pada orang asing. Begitu, Mam. Akhirnya aku capek sendiri. Mana ada teman-temanku di Jambi yang tega melihatku mengangkat tas? Aku baru merasakannya di sini. Oh, belajar itu perlu pengorbanan dan sedikit kelelahan....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Lelah itu hal kecil, Mam. Karena hanya urusan fisik. Tapi hal yang besar bagiku adalah saat aku lelah tanpa aktivitas. Semua potensiku mati. Akhirnya aku berusaha untuk mencari aktivitas dengan melamar sebagai freelance announcher di sebuah radio. Perjalannanya mulus, aku diterima. Lalu training dengan banyak pengalaman baru yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Jadi karyawan. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Pufffff,... jangan pernah bercita-cita meski senyaman apapun posisi anda. </span><span style="" lang="SV">Tetap saja kita hanya bawahan yang harus diatur dengan berbagai hal. Mungkin karena terbiasa hidup bebas, aku harus menahan hati sekuat-kuatnya untuk bisa bersikap profesional. Aku baru tahu, kenapa aku dipilihkan program kenotariatan dan kalian ingin aku menjadi Notaris. Ini emang pilihan yang tepat, Mam. Setidaknya kelak aku akan memiliki kantor sendiri dan bisa bekerja dalam usahaku sendiri. Tidak menjadi bawahan siapapun, hanya terikat pada aturan tapi tidak pada tekanan dan tuntutan managemen di atasnya layaknya atasan dan bawahan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku bersyukur, Alhamdulillah hampir dua tahun aku bergabung dalam perusahaan penyiaran ini dengan berbagai pengalaman baru. Dan pastinya diriku yang pembosan ini harus kembali berpetualang untuk meraskan hal baru berikutya. Yap! Petualangan belum berakhir!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mam, aktivitas ini belum cukup buatku. Meski sudah ditambah beberapa organisasi mahasiswa pasca baik di fakultas atau lintas fakultas, rasanya aku tetap saja tidak bisa merasakan hawa Jambi di sini. Segalanya serba baru, aneh! Aku akhirnya mendaftar pula di sebuah pesantren mahasiswi yang kuliahnya hanya pagi setelah Subuh dan malam setelah Isya. Aku lagi-lagi harus beradabtasi. Adik-adik ini begitu tidak sopan dimataku. Mungkin karena memang wajahku yang sering membuat orang tertipu meski aku tidak pernah berniat demikian, aku diperlakukan sama dengan anak-anak kecil yang baru kemarin masuk kampus! Atau mungkin karena wajah manja dan kekanak-kanakanku juga yang sulit dihilangkan, sehingga kesan masih muda dan cilik selalu saja melekat padaku. Di satu sisi aku senang karena awet muda, tapi disisi lain kepribadianku menjadi rapuh! Bahkan hal yang paling menyakitkan bagiku adalah ketika orang-orang yang berpengaruh di sini memperlakkanku seperti layaknya anak SD. Aku yang biasa hidup dalam tanggungjawab dan kepercayaan bersama kalian dan orang-orang di Jambi, harus rela diperlakukan sebagai pribadi yang harus diarahkan dari A sampai Z! Apa tidak tahu, aku ini mahasiwa pascasarjana! Cobalah untuk bermain sedikit cantik. Tidak selamanya dengan meremehkan orang lain kita akan terlihat dewasa. Aku juga sempat sakit hati karena harus dipanggil ”dik” oleh orang-orang yang secara usia sebaya dengan adik-adikku. Ya Allah, begitu imutkah aku?! Rasanya aku salah masuk asrama. Itu selalu yang tertanam dihatiku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Satu tahun sudah berlalu, tapi rasanya aku makin muak saja dengan Jogja yang lebih banyak dihuni orang-orang yang tidak bertata krama. Kata sapaan ”kamu” mungkin biasa untuk sebagian orang, tapi ini tidak pernah diajarkan dirumahku! Apalagi jika yang mengucapkan seseorang yang jauh lebih muda! Kalau diterjemahkan dalam bahasa Jawa akan menjadi ”kowe” selain nama lain dari ”anak kera” juga tidak ada sopan-sopannya jika dipakai untuk memanggil orang tua. Berat sekali rasanya memanggil ”mbak” sampeyan atau jenengan. Padahal begitu banyak orang Jawa yang kutemui. Lebih risihnya lagi, sesama orang Jawa pun harus pakai bahasa Indonesia saat komunikasi non formal. Dulu Tria pernah mentertawakan ini. ”Aneh ya, mbak. Orang Jawa, tinggal di Jawa kok pakai bahasa Indonesia. Udah gitu logatnya tetap saja totok dan mendhok Jawanya” Ya, memang jadi lucu. Dan satu lagi ngumuni! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Lama-lama biasa juga aku, Mam dengan semua ini. Sampai ketika Lilik bertanya “mbak, kok ngomong sama Lilik pakai bahasa Indonesia, kita kan orang Jawa.” Malu rasanya, anak lima tahun yang lahir di tanah seberang yang harus hidup dengan berbagai bahasa itu saja bisa bicara dalam bahasa Jawa, kok yang di Jawa sepertinya malu pakai bahasanya sendiri. Sebenarnya siapa sich yang memalukan ya, Mam. Bukan apa-apa, jika dengan gaya bahasa demikian ia jadi lebih beretika ”it’s ok buatku. Tapi masalahnya, bahasa Indonesia itu begitu umum. Tidak ada spesifikasi tata kramanya. Kalau mau dicampur mungkin lebih baik. Lagian siapa yang mau protes kalau orang Jawa pakai bahasa Jawa. Aku yang tinggal di Jambi tetap saja pakai bahasa dusun kalau berkomunikasi dengan orang dusun. Atau bahasa Minang jiwa bertemu orang Minang. Bahasa Palembang kalau bersama orang Palembang. Setidaknya bahasa Indonesia jika aku tidak menguasai bahasanya. Sebenarnya yang kuharapkan tidak banyak. Mohon jangan permalukan keluarga kita dengan kejelekan adab hanya karena masalah bahasa. Apa lantas jika orang Jawa memakai bahasa Jawa lalu terlihat katrok, ndeso! Bukankah yang ndeso itu yang unik? Aku masih ingat teman-temanku yang begitu suka jika diajari bahasa Jawa yang baik. Katanya pingin jadi orang Jawa. Begitu pun para turis asing, mereka ingin belajar banyak tentang budaya Jawa yang adi luhung. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Maaf, Mi. Aku curhat panjang tentang bahasa bukan karena Papi sebagai pelopor pelestarian budaya Jawa di perantauan khususnya Sarolangun dan Merangin, tapi karena aku sering diperlakukan tidak nyaman hanya karena adab. Etika mereka menunjuk dengan tangan kiri, teriak-teriak jika memanggil. Rasanya tidak ada dalam etika Jawa kelakuan tidak sopan seperti itu. Kalau di Sumatera biasa menunjuk dengan mulut dimonyongkan, aku bisa memahami karena kita masih punya banyak hutan. Alam sering kali mengajari kita cara bersikap. Seperti dalam kisah pembunuhan Habil dan Qobil, Qobil menguburkan saudaranya karena melihat contoh seekor burung menguburkan saudaranya dengan mengali-gali tanah. Kalau di Sumatera masih banyak kera yang suka memonyongkan mulutnya untuk menunjukkan sesuatu, mungkin ini jadi inspirasi kita disana. Meski setelah mengenal budaya yang lebih baik, akhirnya sudah banyak juga yang meninggalkan gaya ini. Karena apalah gunanya diciptakan tangan kanan yang indah jika tidak disyukuri untuk hal yang baik. Kecuali nikmat itu sudah hilang dari fisik kita. Ya kan, Mam?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mam, sebenarnya ada hal yang begitu membuatku terluka selama di Jogja saat aku merasakan sakit yang serius selama tiga bulan. Karena kita keluarga shinse, aku tetap bertahan untuk tidak memasukkan racun ke tubuhku dengan mengkonsumsi obat-obatan kimia sintetis. Buat orang yang buta tentang pengobatan yang holistic dan back to nature, pastinya aku akan dihakimi dengan kata-kata yang pedas. Kalau sudah dihubungkan dengan agama, ini akan makin terasa menusuk. Begitulah dunia. Banyak orang yang baru belajar sedikit tapi merasa sudah mengetahui semuanya dan bersikap sombong dengan apa yang ia punya. Semoga Allah menjaga kita dari sifat syetan ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berawal dari ketidak taatanku pada setiap instruksi penjagaan fisikku, akhirnya aku merasakan sakit yang seumur hidupku mungkin paling menyiksa. Bukan hanya karena badanku lemah dan sekujur tulangku rasanya mau lepas, kepalaku pusing, mual, suhunya aneh tiap pagi dan sore hari, tapi yang paling menyakitkan adalah banyak orang yang ”mungkin” risih melihatku yang hanya bisa berbaring saja. Karena memang terkadang kondisiku membaik sebentar-sebentar. Aku merasakan ekspresi yang menyakitkan, seolah ucapan dan tatapan-tatapan itu tidak bisa sabar dengan sakitku. Aku mengerti, mugkin begitu cara orang-orang ini mengekspresikan cinta dan perhatiannya. Tapi aku juga tidak nyaman dengan kondisi ini. Jika aku yang merasakan deritanya bisa sabar dan meguatkan hati untuk menjalaninya sebagai bagian dari penghapus dosa-dosa kecilku, mengapa orang lain yang tidak akan kurepotkan menjadi demikian tidak sabar. Tidak tahukan bagaimana rasanya? Aku bahkan, maafkan aku ya Allah, telah meminta untuk disegerakan kematiannya jika ini baik bagiku. Aku tahu tidak baik doa seperti ini. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan, bahkan aku begitu lelah dengan orang-orang aneh itu. Begitu bodoh dan rendahkah aku sehingga perlakuan yang tidak nyaman ini harus kuterima justru disaat aku merasakan sakit yang membuatku harus menulisakan surat wasiat? Tapi memang benar, Mam. Allah tidak menguji hamba di luar dari kemampuannya. Dan dikatakan sabar adalah saat puncak dari hal yang tidak nyaman itu terjadi sedangkan kita bisa menyikapinya dengan baik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ini belum seberapa Mami. Ada hal yang benar-benar menyakitkan bagiku. Dalam kondisi hidupku yang rasanya sudah tidak lama ini, aku masih juga dihakimi sebagai seorang musyrik. Masya’ Allah. Hanya karena yang bersangkutan tidak mengerti duduk perkaranya. Ini begitu berharga bagiku. Tidak layak mulut seorang muslim mengatakan hal yang ia sangakakan pada saudaranya sebelum ia tahu pasti tentang hal yang ia persangkakan itu. Aku hanya menangis setelah prosesi terkutuk itu enyah dari telingaku. Tidak tahukan ia, bagaimana aku mempertahankan aqidahku. Tidak mengertikah ia perjuangan untuk menemukan hidayah ini. Pasti tidak, karena aku tidak akan cerita padanya. Semoga Allah mengampuni. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mungkin Allah punya cara sendiri untuk mengingatkanku agar aku tetap waspada dan tidak terlena setelah merasa menjadi seorang yang bersih aqidahnya jauh dari kemusyikan. Dengan cara seperti ini aku bisa selalu mendeteksi aqidahku. Terima kasih wahai orang yang telah menuduhku berbuat syirik. Percayalah aku tidak akan mendoakan agar jika apa yang engkau katakan itu tidak benar, maka semua akan kembali padamu. Meski aku tahu begitulah hukum yang akan terjadi! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Maaf, Mami aku terbawa perasaanku. Masih banyak hal-hal dan tangisanku yang engkau tidak pernah tahu. Biarlah, mungkin begini hidupku. Sejak kecil hingga dewasa sering mejadi korban kebengisan orang-orang disekelilingku. Mungkin karena begitu banyak dosaku, maka hanya dengan cara ini bisa menguranginya. Pun dulu, saat aku tidak bersamamu setelah sempat bertahun-tahun bersama. Perlakuan diskriminasi dan menyakitkan juga kuterima justru dari orang-orang yang engkau percaya. Tak kusangka aku sering dianggap kambing hitam dari kesusahan orang lain, kematian orang lain. Sedemikian kotorkah aku? Jika mungkin iya, semoga Allah mengampuniku dan mengabulkan permohonanku untuk kembali dalam husnul khatimah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Bolehkan aku berbagi, Mam?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mami, maafkan aku jika dengan lancang aku juga ingin menceritakan keluhan-keluhanku saat aku masih kecil. Hari ini kita hidup dalam cinta yang berkelimpahan. Selalu ada sayang antara satu dan lainnya. Selalu ada support bagi anak-anakmu. Tapi Mam, biarkan para calon ibu belajar dari tulisan ini. Bagaimana mereka harus memperlakukan anaknya. Tidak selalu yang buruk itu buruk. Barangkali kebaikan justru lahir dari hal yang buruk. Niat itu yang membuatku berani menulis surat ini. Bukan untuk memojokkanmu, bukan untuk menghakimimu. Tapi untuk mengambil hikmah dibalik tindakanmu dan apa yang hari ini aku lakukan. Mengali pelajaran yang baik yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu. Izinkan kali ini aku memanggilmu Ibu. Dan Papi sebagai Bapak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bu, Ibu masih ingat, to. Dulu aku sering kali jatuh sendiri saat berjalan. Ini biasa, sampai sekarang pun aku masih sering jatuh. Kalau ada air sedikit saja dilantai yang membuatnya licin lalu terinjak olehku, aku bisa dipastikan akan jatuh. Makanya aku harus hati-hati saat jalan. Kata bapak selamat dan tidak selamat itu pilihan. Seperti orang di jalan. Kalau dia bisa berkendara dengan baik, melengkapi standart mengendarai kendaraan dengan baik dan membawa kelengkapan administrasinya, ia bisa lebih selamat ketimbang yang ugal-ugalan dan tidak mengindahkan peraturan. Iya sich, benar. Tapi tidak selalu benar. Aku tidak bermaksud membahas hal itu. Hanya pesan agar hati-hati dari Bapak saat berjalan dan berkonsentrasi itu menjadi penting buatku yang<span style=""> </span>pertahanan kakinya tidak seimbang ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV">Terima aku apa adanya, bu!<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku ingin Ibu tahu, bahwa ada hal yang menghantui mentalku saat itu. Jika aku terjatuh, ibu seringkali mengomentarinya dengan hal yang memuatku merasa hina. Aku mungkin tidak akan menangis dan dapat menguatkan hatiku dihadapanmu, tapi tidak dibelakangmu. Aku hampir kehilangan kepercayaan diri. Rasanya aku hanyalah anak yang lahir sebagai beban dan tidak pernah diharapkan. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Aku paham bu, ibu mana yang ingin punya anak cacat? Aku juga tidak ingin terlahir seperti ini. Siapa bu yang mau dilahirkan cacat sepertiku. </span><span style="" lang="SV">Jika boleh memesan, aku pasti minta dilahirkan sempurna, utuh dalam pandangan manusia. Tapi ini mustahil kulakukan, maka yang aku bisa hanya berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan motivasi dan semangat dalam hidupku yang sering kali harus terbanting dan jatuh berceceran. Ibu tahu, aku sering dihina dan di ejek teman-teman di sekolah. Dengan cara mereka masing-masing. Mereka menganggap aku tidak seindah mereka. Kakiku pincang. Aku tidak bisa berlari. Tidak bisa berjalan cepat. Ada-ada saja gelaran mereka padaku. Tapi itu tidak pernah bertahan lama. Atas kuasa Allah, aku selalu lebih unggul dari mereka dalam hal yang lain. Kakiku memang tidak sama besarnya, tapi ini juga sudah luar biasa. Jika dibandingkan dengan saat aku lumpuh dalam kurun waktu 2,5 tahun sampai 5 tahun itu. Setidaknya sekarang aku tidak harus digendong kemana-mana seperti lagunya mbak Surip almarhum. Aku tidak lagi hanya bisa bermain pasir di depan rumah simbah sendirian dan mengelus-elus kakiku sambil berkata ”sikil-sikil, kok ora mari-mari to?” saat itu, aku tidak sedang meratapi nasibku yang kehilangan masa kecil dan tidak punya teman bermain, aku hanya mengajak kaki cilikku yang imut untuk berdialog. Karena aku masih begitu belia untuk merasa sedih dan menyesal. Bukankah ini hanya dirasakan oleh orang-orang dewasa. Saat mereka gagal, saat idealita yang mereka harapkan tidak sebanding dengan realitanya, atau saat mereka kehilangan sesuatu yang dicintai. Tapi aku, anak-anak kala itu, apa yang hilang dariku. Masaku bisa berjalan juga belum lama. Meski menurut banyak orang, aku bayi kecil yang sehat dan lincah. Sehingga tumbuh dengan baik dan cepat bisa berjalan. Masaku berlari juga belum seberapa, jadi apa yang hilang dariku. Bukankah masa kanak-kanak tetap menjadi masa yang indah, apapun rasanya. Aku yakin itu, jika semua orang mau jujur. Aku jadi ingat ucapan orang-orang tua yang suka membandingkan masa lalu mereka dengan hari ini yang katanya tidak seenak hari ini. Bukankah itu adalah kondisi yang tepat buat mereka. Jika mereka lahir hari ini, maka kondisi yang mereka hadapi pasti juga berbeda. Tiap masa ada tentaranya. Tiap jaman ada pahlawannya. Bukankah begitu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tapi aku memang hanya seorang manusia biasa dan sangat biasa sekali. Aku juga butuh orang lain untuk memahamiku. Aku juga butuh orang lain yang membuatku belajar hal yang belum aku tahu. Aku juga butuh management konflik agar aku bisa menyelesaikan hal-hal baru di masa depan. Aku butuh orang lain yang mengerti ekspresi sedih dan senangku. Mungkin itu gunanya teman bermain. Alhamdulillah, aku punya mas Budi. Orang kedua yang sangat kusayangi setelah mbak putri. Mungkin ini rahasia skenario Allah yang hanya memberi tiga tahun selisih dari umur kami. Aku jadi merasa punya kakak sebagai seorang putri sulung. Tapi ibu tahu, mas Budi sebagai om bungsuku yang manja akhirnya harus mengalah karena ada posisiku di rumah itu. Dia yang masih menetek pada simbah sampai umur 5 tahun, harus menyingkir dan terkalahkan olehku. Dia yang begitu manja, harus mengalah dan tidak bisa bermanja-manja lagi karena harus ngemong adiknya. <span style=""> </span>Yang tidak bisa berjalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Entah karena terlahir sebagai anak yang cacat atau memang begitulah ciri anak cerdas </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">. Kuakui aku memang nakal. Ada-ada saja ulahku yang membuat mas Budi harus dimarahi oleh simbah. Kadang-kadang kalau aku lagi ingin iseng karena kadang aku juga diisengi, aku akan menangis sendiri dan melaporkan bahwa mas Budi sudah menakaliku. Aku baru puas kalau beliau dimarahi. Maaf, mas. Adikmu ini tidak pandai berterima kasih. Padahal cuma mas Budi yang paling setia mengendongku kemana-mana, menemaniku bermain saat tidak sekolah, mengajakku bermain ke sawah sambil digendong untuk menerbangkan layang-layang. Aku jadi bisa pergi kemana-mana karena beliau yang mengajakku berpetualang ketempat-tempat seperti itu. Aku jadi suka alam dan keluyuran. Tapi ini baik. Semoga Allah memudahkan urusannya. Hingga saat aku sudah bisa berjalanpun, beliau masih juga setia mengendongku. Hingga akhirnya aku malu juga selalu digendong. Saat SMA aku tidak lagi digendong, bu. Bukan karena berat. Lagian badanku awet ini, tidak ada pertumbuhan yang mengejutkan. Mungkin karena kakiku juga kecil dan aku juga jarang bergerak. Tapi ini ada manfaatnya. Seandainya aku tinggi dan besar seperti adik-adikku, mungkin kaki kananku tak lagi kuat menahan tubuhku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Yang pasti, mas Budi begitu berarti buatku. Aku juga ingin minta maaf pada istrinya. Jujur aku memang sudah hampir sepuluhan tahun berpisah dengan mas Budi. Dari aku SMP sampai beliau sudah jadi sarjana. Tapi aku begitu mencintainya. Aku ingin suatu hari nanti memiliki suami seperti mas Budi. Sabar, perhatian, low profile, cerdas dan masih banyak lagi. Itu dulu bayanganku saat SMA. Sehingga aku tidak pernah tertarik pada lawan jenis yang tidak punya sifat sekaliber masku. Bukan karena tidak ada yang berusaha mendekatiku. Tapi kata teman-teman putriku, aku begitu cuek pada mereka. Bahkan aku begitu risih jika ada seseorang yang kuanggap sebagai teman baik, kemudian berubah jadi ”aneh”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Suatu hari mas Budi bertanya padaku bagaimana jika beliau segera menikah. Aku lupa, lewat surat atau telephon ia menyampaikan itu. Sebagai wanita yang sudah dewasa baik menurut KUHPerdata maupun KUH Pidana apalagi undang-undang perkawinan, saat itu aku bersemangat sekali. Aku hanya berharap, masku yang jadi idola banyak gadis di kampungnya itu segera terjaga dan mendapatkan gadis yang baik. Betapa tidak, sebagai seorang aktivis dakwah di kampus, meski aku terkenal dengan akhwat yang rada phobia jika membahas pernikahan dan sering jadi bahan ledekan teman-teman, aku tetap paham bahwa cara Islam menjaga kesucian hati bagi seorang yang sudah aqil baligh salah satunya adalah dengan pernikahan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Saat itu aku begitu sewot pada mas Budi. Siapa yang tidak khawatir jika orang yang paling kusayangi, muslim, hanif, baik, harus berhubungan dengan seorang wanita dengan cara pacaran. Masya Allah, meski aku tahu kualitas beliau dan gaya pacaran seperti apa yang akan beliau lakukan, tetap saja aku tidak ikhlas jika hati beliau sudah ternoda sebelum sah menjadi suami-isteri. Bukan semata-mata karena pacaran itu tidak ada dalam syariah Islam, tapi lebih dari itu aku begitu menghargai kesucian beliau. Berharap beliau mendapatkan wanita yang suci hatinya apalagi fisiknya tidak terbagi-bagi dengan makhluk hanya dengan alasan ”atas nama cinta” yang belum halal. Ya Allah, jaga hatiku. Duh jadi ingat senada. Nyanyi dulu ah...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jagalah hati<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jangan kau nodai<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jagalah hati cahaya hidup ini<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jagalah hati jangan kau kotori<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jagalah hati lentera Ilahi<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bila hati kian bersih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pikiran pun akan jernih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Semangat hidup nan gigih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Segalanya mudah diraih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tapi bila hati kotor <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">NTAR DILANJUTIN,LUPA!!!!!!!!!!!!!!Lupa,..lupa lupa lupa <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Lupa ingat syairnya. Ingat.....ingat ingat ingat Cuma ingat kuncinya </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ngapunten, bu. Niatnya mau nyanyi eh malah kesupen..<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Baiklah aku akan lanjutkan ceritanya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kenapa aku ingin meminta maaf pada isteri mas Budi? Ya karena meski justru akulah yang begitu bersemangat mendorong dan memantau perkembangan perkenalan mas Budi dengan calonnya, tapi akhirnya aku justru tidak dapat hadir dipernikahan mereka. Orang yang spesial buatku. Hanya karena ujian skripsiku tertunda akibat keperagkap kurikulum (untuk hal yang ini panjang ceritanya sampai aku akhirnya lolos dan membuat teman-teman seangkatan dan kakak tingkatku gerah. Tadi aku sudah cerita sedikit di depan.he he he. Tapi<span style=""> </span>lagi-lagi aku memang orang yang selalu beruntung. Karena aku berprinsip, seperti apa anda ingin diperlakukan oleh orang lain adalah sesuai dengan perlakuan dan pikiran yang anda tanamkan untuk diri anda sendiri. Lho kok kemana-mana). STOP!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Selain karena tidak hadir, sebenarnya ada hal yang lebih dari itu. Aku mohon maaf karena diawal aku harus menyiapkan hatiku untuk menerima tante yang akhirnya juga kupanggil mbak dengan usia yang jauh lebih muda dariku. Sebaya dengan Astria, bu. Bagaimana caranya aku harus menghadapi ABG yang baru lulus SMA. Sementara aku sendiri juga bukan anak yang dewasa. Aku juga anak Mami. Ukhhh malunya. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah terbiasa jadi fasilitator anak-anak SMA dan adikku sendiri juga sama kolokannya saat SMA (semoga sekarang jadi lebih dewasa </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Cukup sampai di sini? Belum, ini belum tuntas. Aku merasa kehilangan seseorang yang begitu berarti saat aku pulang dan aku menemukan masku sudah menjadi suami orang. Ia tidak lagi bisa menemaniku jalan-jalan kemana-mana. Sedih rasanya. Aku nyaris murung selama baru di rumahnya. Aku hanya bisa menguatkan hati dan menangis untuk melepaskan beban (tapi tidak ada seorang pun yang tahu, aku yakin!). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku pun harus menerima kenyataan, bahwa masku sudah menjadi kepala keluarga. Ia sudah Allah amanahi seorang wanita yang harus beliau didik, sayangi dan cintai satu tingkat dibawah cintanya pada orangtua dan pasti juga dibawah Allah dan Rasulnya. Aku mungkin cemburu dan aku pasti cemburu. Tapi aku bahagia karena harapan dan doaku sudah terkabul. Mas Budi tidak akan lagi sendiri seperti dulu setelah ia kehilangan Bapak Ibunya dan berpisah dengan seluruh kakak-kakaknya yang tersebar diseantero nusantara. Cieee...! Kehilangan adiknya yang manja, ceriwis dan mengemaskan. Karena setelah dewasa aku sedikit lebih pendiam kalau sedang tidur </span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku menjadi tidak nyaman dengan kondisi ini. Aku berada di rumah pengantin yang baru saja merayakan cintanya. Oh,...ia merebut masku ! (</span><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">J</span></span><span style="" lang="SV"> becanda, mbak! Ambil aja ntar ganti ama yang lain, ya!).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mas Budi akhirnya mengungkapkan juga kegundahannya. Aku tahu ia bisa merasakan kesedihan dan kebahagiaanku yang bercampur-campur ini. ”Mas Bud sak iki wes nduwe bojo, wes ra is dolan-dolan neng ngendi-ngendi kaya ndekben”. Aku paham. Selain harus bekerja, waktu yang ia miliki akhir pekan pasti buat isterinya. Aku hanya diam. Aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi leluasa meminta diantar kemana-mana seperi dulu. Sesukaku. Waktu beliau di rumah juga tidak banyak. Mana tega aku mendzholimi isterinya yang masih begitu muda dan sepertinya sama manjanya denganku. Tapi itu hak beliau karena mereka sudah menikah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aku tidak punya muhrim selain Bapak, Pakde, dan Kongko lalu para pamanku itu. Jadi hanya bepergian dengan mereka saja aku bisa berpelukan di pinggangnya kalau naik motor. Aku menjadi tidak nyaman saat kebiasaanku ini kulakukan di depan isteri mas Budi, bu. Aku juga wanita yang sensitif perasaannya meski cukup lapang hatinya. Aku sedikit khawatir beliau cemburu. Bagaimana pun juga aku ini hanya ponakannya. Ukhhh..aku sudah benar-benar kehilangan masku. Perasaan ini sirna setelah waktu mengajariku untuk berinteraksi dengan tante beliaku. Ia akhirnya terasa lebih dewasa dibandingkan aku sebagai seorang mahasiswa pasca sarjana. Mungkin karena aku tidak bisa menyembunyikan gaya kekanak-kanakanku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Yang pasti, Mam. Aku selalu merasa sendiri di tengah keramaian karena kadang aku merasa duniaku tak dimengerti oleh orang lain (autis dunk ^_^!). dan aku sellu siap untuk itu, dimana pun aku berada. Aku, hanya Allah yang kumiliki. Meski aku juga sering dan amat sering menghianati cinta-Nya. Seperti lagu belajar dari Ibrahim.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sering kita merasa taqwa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tanpa sadar terjebak rasa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dengan sengaja mencuri-curi......iiii<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Diam-diam ingkar hati..ho ho<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kepada Allah mengaku cinta<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Walau pada kenyataannya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pada harta pada dunia....aaaa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tunduk seraya menghamba.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Belajar dari Ibrahim<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Belajar taqwa kepada Allah.....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Belajar dari Ibrahim<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Belajar untuk mencintai Allah<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Malu pada bapak para anbiya’<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">Patuh dan taat kepada Allah semata<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tiada pernah mengumbar kata-kata<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jalankan perintah tiada banyak bicara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Duh, bu. Lagunya mak jlep jlep! M-J-J. Dalem nyindirnya. Aku banget sich. Pantas ya, bu aku diuji macam-macam, soale cintanya belum terbukti!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mamiku, Ibuku tersayang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Masih banyak hal belum kutulis. Seperti kataku tadi, semoga suatu saat aku bisa merangkai tulisan yang utuh dan berkualitas. Mohon maaf untuk segala kedzaliman dan hal-hal yang tidak berkenan yang kulakukan. Kepada Bapak, Ibuku yang mulia. Tiada harapan yang lebih baik dariku selain bisa bersua dengan kalian dan adik-adik di taman-taman surga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan selama 27 tahun ini plus saat hamil. Tiada kuasa nanda membalasnya. Allah lebih tahu balasan apa yang terbaik bagi Bapak dan Ibu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Doakan mimpi-mimpi indahku menjadi nyata. Doakan aku menjadi wanita muslimah sejati. Yang selalu seimbang dunia kahiratnya, keluarga dan karirnya. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Pribadi yang mulia dan memantulkan cahaya kemulyaan itu pada lingkunganku. </span><span style="" lang="SV">Maaf, jika hingga usia ini aku belum juga ”mandiri”. Kata Papi, siapa yang menikah duluan, berarti ia ingin mandiri duluan.:) mohon doa agar putrimu menemukan pasangan yang mencintai dan berusaha mengikuti jejak Rasulullah. </span><span style="" lang="ES-TRAD">Amiin. Jika tidak di dunia semoga di surga.amiin ya Allah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES-TRAD">Mami, Papi, terima kasih sudah membaca suratku. </span><span style="" lang="SV">Beberapa hari lagi Ramadhan tiba. Ikhlaskan seluruh salah dosaku. Agar aku memasuki bulan ini dengan kebersihan jiwa dan raga. Doakan aku husnul khatimah. Amiin ya rabbal ’alamin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><span style=""> </span>With love<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span></span><b><u>Martha Dewi Samodrawati, SH.<o:p></o:p></u></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="font-size: 11pt;"><span style=""> </span></span></i></b><b><span style="font-size: 11pt;">Safirah Jannah<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><b><i><span style="font-size: 11pt;"><span style=""> </span>Finishing<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><b><i><span style="font-size: 11pt;">17 Agustus 2009 01:13 <span style=""> </span>MERDEKA!!!!!<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><b><span style="font-size: 11pt;"><o:p> </o:p></span></b></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-30980714941281623282009-08-21T02:54:00.000-07:002009-08-21T02:57:55.175-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiudiRXtCQiTuspMkzW0r7L0O1n_Ggs7W-pMZxREnFeEwRQXZGO0JgkmrvkaHCyR5dGOx5HYWdp2LQKAkAbwJaWsQT4hODNTs_KagXywRQTOo3RgcxHxG56F9q6z1k0LnSua5NBFJQDp8/s1600-h/DSC-3117.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 160px; height: 120px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiudiRXtCQiTuspMkzW0r7L0O1n_Ggs7W-pMZxREnFeEwRQXZGO0JgkmrvkaHCyR5dGOx5HYWdp2LQKAkAbwJaWsQT4hODNTs_KagXywRQTOo3RgcxHxG56F9q6z1k0LnSua5NBFJQDp8/s320/DSC-3117.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5372353708565382962" border="0" /></a><br /><p style="margin-bottom: 0in;">Ajari aku mendeteksi cinta…..</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Apakah itu jatuh cinta,…</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Saat hati begitu gulana dan ingin mengekspresikannya</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Apakah itu cinta</p> <p style="margin-bottom: 0in;">Ketika keinginan bertemu denganNya memutar langkah dari kelaziman perintah</p> <p style="margin-bottom: 0in;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;">Mampukah </p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-60211423004960061882009-06-23T19:06:00.000-07:002009-06-23T19:15:11.169-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ7sr4szdfowCdNlU33sM25cuMp7Q5qjb8o4qzTK7Kac5u59TF9CjyZqM7gEp104mAD-v7IIcO3BesEGUco-QXiqgy82ZL0XYao9ez31V2LEWWHxK_j-Ok7CujRCQDut8rgIMcLsaMLnQ/s1600-h/2308.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 152px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ7sr4szdfowCdNlU33sM25cuMp7Q5qjb8o4qzTK7Kac5u59TF9CjyZqM7gEp104mAD-v7IIcO3BesEGUco-QXiqgy82ZL0XYao9ez31V2LEWWHxK_j-Ok7CujRCQDut8rgIMcLsaMLnQ/s320/2308.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5350711807657256258" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";font-size:14;" >Mahalnya nilai pertolongan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><i style="">Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, <o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><i style="">niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.<o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><i style=""><span style=""> </span>Q.S.Muhammad : 7<o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><i style=""><o:p> </o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Suatu hari sebuah nomor yang tidak saya kenal mengirimi sebuah pesan singkat. Setelah salam ia bertanya apakah saya fulanah yang berasal dari Jambi. Pesan itu baru terbaca pada hampir pukul sebelas malam. Saya tidak tahu siapa beliau dan tidak dapat memastikan beliau seorang pria atau wanita. Saya hanya khawatir jika beliau sangat membutuhkan jawaban saya saat itu. Akhirnya saya tetap membalasnya “Mohon maaf, saya baru saja membuka hp, benar saya Fira. Tapi mohon maaf, jika berkenan dan ada yang dapat saya bantu, mohon menghubungi kembali besok pagi setelah jam enam. Saya ada kelas. Terima kasih atas pengertiannya.” </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Pukul enam pun berlalu. Dan tidak ada sebuah pesan pun yang masuk. Saya berusaha positif thinking, mungkin saja beliau masih sibuk. Saya tidak ingin berfikir kalau ini adalah diantara pesan iseng yang sering saya dapatkan. Ternyata benar, beberapa saat kemudian nomor itu kembali mengirimi pesan. “mohon maaf sebelumnya jika menganggu, tapi saya memang ingin meminta tolong.” Ternyata beliau membutuhkan buku yang hanya ada di perpustakaan salah satu fakultas di UGM, Perguruan Tinggi tempat saya kuliah dan sebuah kampus yang juga beliau sebutkan. Setelah memberi jawaban, iya.insya Allah saya bisa membantu, saya pun bertanya dengan siapa saya sedang ber SMS an. Ternyata beliau adalah orang yang dulu banyak membantu saya berkonsultasi tentang legislatif kampus ketika saya masih kuliah di S1. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Saya langsung berfikir bagaimana cara memperoleh buku itu dengan bantuan orang-orang disekitar saya. Akhirnya saya meminta pertolongan pada adik se-asrama yang kebetulan kuliah di fakultas yang bersangkutan. Beliau menyanggupi. Alhamdulillah. Tapi memang sulit rupanya meminta pertolongan pada orang yang berjiwa pedagang. Mungkin ini negatif thinking saya saja. Tapi setelah saya coba untuk muhasabah, mengapa begitu sulitnya harapan mendapatkan pertolongan itu akan terealisasi, saya jadi berfikir, mungkin karena yang dimintai tolong tidak pernah merasa di tolong.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Boleh dikatakan perasaan ini dialami oleh banyak orang. Hanya orang-orang yang lurus hatinya saja yang tidak mempermasahkan ini. Dia hanya berfikir bahwa apa pun fasilitas yang Allah berikan, haruslah menjadi jalan kemudahan bagi orang lain. Saya ingat suatu hari ada seseorang yang begitu mudahnya memberikan pertolongan mengatakan “mbak, bukankah ketika kita meringankan beban saudara, maka Allah akan meringankan beban kita?!” Subhanallah. Masih ada di dunia ini jiwa-jiwa seperti ini. Memberikan pertolongan tanpa pamrih, kecuali hanya dengan keikhlasan mengharap keridhaan Tuhannya. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Saya jadi berfikir, bagaimana dengan konteks menolong agama Allah? Bolehkah kita melebarkan makna dengan mengatakan, bahwa setiap hal baik yang Allah ridho padanya, tidak dalam rangka melaksanakan kemaksiyatan pada Allah, adalah bagian dari menolong agama Allah? Bolehkah jika kita katakan, bahwa membuat sunnah hasanah dengan melestarikan jiwa saling meringankan beban orang lain, adalah juga menolong agama Allah? Bolehkah jika katakan bahwa menolong agama Allah bukan hanya berdakwah dalam forum-forum dan berjihad dalam peperangan? Jika kita berjihad mendarmakan diri kita demi jalan kemudhan bagi orang lain, apakah itu bagian dari menolong agama Allah? </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika jawaban yang kita dapatkan adalah “iya”, maka mengapa kita tidak menjadi cerdas membidik amal-amalan yang mudah kita lakukan dan bermanfaat besar bagi orang lain? Hanya hati kita bisa menjawabnya. Rasa egois adalah bagian dari diri kita. Wajar jika kita akan membuat banyak alasan untuk menguatkan sikap kita. Atau malah kita katakan bahwa itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Adalah hak saya untuk menolong atau tidak. Na’udzubillahi mindzalik. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Semoga Allah menjaga qolbu kita dari sikap kikir, bahkan pada hal yang kecil sekali pun. Wallahu a’lam bishowab.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 180pt; text-align: justify;"><i style="">Muhasabah di awal Dhuha, Rabu 24 Juni 2009<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 180pt; text-align: justify;"><i style=""><a href="http://istanamuallaf.blogspot.com/">fira412@gmail.com</a><o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 180pt; text-align: justify;"><i style=""><o:p> </o:p></i></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-15006557667058884262009-05-19T23:02:00.001-07:002009-05-19T23:02:47.050-07:00kANGEN<p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">13 Mei 2009</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right">(diiringi lantunan penuh asa Izzatul Islam, Sang Murrobi dan linangan kebahagiaan tak tertandinggi)</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Ya Allah izinkan aku kembali</p> <p class="MsoNormal">Izinkan aku berbuat</p> <p class="MsoNormal">Izinkan aku menikmati jalan para pewaris nabi dan jadikan aku ada diantaranya.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Izinkan dzikir-dzikir penuh kerinduan ini mengalun dalam derasnya butir-butir kebahagiaan</p> <p class="MsoNormal">Saat jiwa-jiwa tercerahkan, </p> <p class="MsoNormal">saat pilar-pilar keagungan-Mu menjulang di seantero pelosok negeriku.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Izinkan aku tak hanya bernostalgia dengan semua kenangan ini.</p> <p class="MsoNormal">Biarkan aku menikmati lagi perjalananku yang sesungguhnya.</p> <p class="MsoNormal">Perjalanan hamba yang merindukan senyum Tuhannya.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Perjalanan yang membuatku tersenyum dengan sepenuh jiwaku.</p> <p class="MsoNormal">Senyum kedmaian yang bahagian yang tiada terperi dalam tiap detak jantung yang hanya berharap ridho-Mu.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Kuatkan ia ya, Allah…</p> <p class="MsoNormal">‘Azzam yang masih tersimpan dalam relung dan palung jiwaku terdalam.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Apa lagi yang kuharap selain senyum-Mu, Rahiim.</p> <p class="MsoNormal">Biarlah rasa kesendirian ini pergi dan berganti dengan kebangkitan generasi rabbani yang hadir dari perantara duta-Mu ini.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><b style="">Sang Murrobi<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal">Ribuan langkah kau tapaki</p> <p class="MsoNormal">Plosok negri ku sambangi</p> <p class="MsoNormal">Tanpa kenal lelah jemu</p> <p class="MsoNormal">Sampaikan firman Tuhanmu………..</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Terik matahari tak surutkan langkahmu</p> <p class="MsoNormal">Deru hujan badai tak lunturkan ‘azzammu</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Ragakan terluka tak jerikan nyalimu</p> <p class="MsoNormal">Fatamorgana dunia tak silaukan pandangmu</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Semua makhluk bertasbih</p> <p class="MsoNormal">Panjatkan ampun bagimu</p> <p class="MsoNormal">Semua makhluk berdoa</p> <p class="MsoNormal">Limpahkan rahmat atasmu……………</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Duhai pewaris nabi duka fana tak berarti</p> <p class="MsoNormal">Surga kekal nan abadi </p> <p class="MsoNormal">Balasan ikhlas di hati</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Cerah hati kami kau semi nilai nan suci</p> <p class="MsoNormal">Tegak panji illahi bangkit generasi rabbani.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Semoga Allah mengabulkan doaku di ujung pagi ini. Dan biarkan para malaikat mengamininya. Dan biarkan aku bertemu dengan keindahan wajah Rabbku….</p> <p class="MsoNormal">Amiin ya rabbal ‘alamin.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><i style="">Asma Amanina, di ujung pagi bersama Tinjauan pustaka tesisku.10:50<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-51061158669147589952009-05-19T22:55:00.001-07:002009-05-19T22:59:09.601-07:00AKU BELAJAR....DAN HARUS BELAJAR<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Bismillah……….</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Astaqhfirullahal ‘adzim.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah….betapa banyak dosa yang sudah kulakukan hari ini. Mungkin juga karena aku jika seseorang harus melalaikan-Mu. Meski aku tahu, semalam ustadz Syatori menyampaikan bahwa baik buruknya seseorang tidak dipengaruhi seutuhnya oleh orang lain pun komitmennya. Jika pun ada itu hanya 15 % nya saja.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Astaqhfirullahal ‘adzim.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah….betapa bodohnya diri ini. Mungkin karena ketidaksempurnaan ilmuku yang membuat orang lain tidak menerima informasi dengan jelas, gamblang dan shahih. Meski aku tahu, semua orang tidak bisa di ajak bicara dengan cara dan ilmu yang ilmiah, dan inginnya dengan bahasa yang mudah dan praktis. Oh, berarti aku harus belajar ilmu cara menyampaikan bahasa hukum ke dalam bahasa masyarakat awam……………</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Alhamdulillah,…</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah….hari ini aku belajar berbicara dengan bahasa yang sederhana, tenang dan menguasai konsep.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah, aku juga belajar tentang pentingnya membangun konstruksi hukum yang tidak terburu-buru. Dijelaskan, dituliskan, dipahamkan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah, hari ini aku juga belajar menjadi seorang ibu yang siap dan tangguh. Punya planning saat akan melaksanakan sesuatu hingga tidak melanggar hak-hak menemui-Mu. Menyiapkan perlengkapan anak saat bepergian, hingga tidak menajiskan ibunya saat hendak shalat. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Aku juga belajar menjadi ibu yang tidak over protected pada anak. Menanamkan sikap mandiri dan percaya diri anak agar tidak bergantung pada ibunya. Bukan karena kesibukannya nanti dengan pekerjaan, tapi agar anakku tumbuh menjadi jundi yang kuat dan tidak “cemen”. “Ayo mujahid kecil, katakan engkau jundi yang lebih dicintai Allah karena KUAT”.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ya Allah, antara senang, sedih dan merasa berdosa yang sangat. Karena aku ceroboh hari ini. Sampai buku agenda seorang Bapak terbawa dalam tasku….oh….Bapak maafkan aku….</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Lucu banget sich kisah hari ini.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">TRAGIS…!!!!!!</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mau tahu cerita selengkapnya ? hubungi :08……… <span style="font-family: Wingdings;"><span style="">:)</span></span>……….dah dulu ah…mau mandi..O_O tapi Ruri juga mau mandi, yo wes duluan aja…………..tak Al Ma’tsuratan dulu.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 180pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i style="">Maghrib di Asma Amanina, 16 Mei 2009<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 180pt; text-align: justify;"><i style="">Jujur aku tidak mau mengingat hari ini, AKU MALU…</i><i style=""><span style="font-family: Wingdings;"><span style=""></span></span><o:p></o:p></i></p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-89739536577166231722009-05-19T22:48:00.000-07:002009-05-19T22:53:56.910-07:00Bangkit !<p class="MsoNormal"><span style=""> </span>21 April 2008</p> <p class="MsoNormal">Bismillahirrahmanirrahim.</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Mbak, hari ini adalah moment kebangkitan wanita-wanita <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. Maka janganlah pernah menyerah sekalipun sulit ya, oke…Bapak.</p> <p class="MsoNormal">Sender</p> <p class="MsoNormal">Mamy Q</p> <p class="MsoNormal">21 April 2008</p> <p class="MsoNormal">06:53:47</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Air mataku menyesakkan kedua kelopak mata, dan akhirnya tumpah juga. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Saat aku bangun 1/3 malam tadi dengan badan yang masih lelah, aku berharap bisa memulai hari ini dengan semangat. Kubunuh rasa malas dan kucoba berwudhu dengan cinta</p>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-23556619638566380132009-04-01T18:16:00.000-07:002009-04-01T19:01:43.342-07:00PentingHari ini kujalani dengan indah. Keindahan itu mulai pudar warnanya saat sebuah kesalahan kulakukan. Sunatullah, tiap keburukan lebih suka mengundang keburukan pula.<br /><br />Sepertiga malam kulalui dengan teman-teman yang semalaman sempat tidur cukup larut,. Diskusi, tahsin bercanda...oh sampai selarut ini kami masih saja membuat keributan :) (maaf ya yang merasa terganggu,..).<br /><br />Bangun dengan semangat, aku nyaris melompat dari peraduan. Ingat janji semalam mau tahajjud bareng :)..Tapi ya itulah,...sudah setengah empat rupanya kami baru bangun, meski sudah dibangunin dari tadi. Akhirnya shalat bersama tapi sendiri-sendiri....<br /><br />Siap menyambut hari, aku menghilangkan sisa-sisa kantuk semalam dengan bersenandung di sepanjang koridor kamar-kamar. Yap today waktunya belanja, rapat di kantor, masak dan standby di training saksi...<br /><br />Rasanya sudah mantap saja planning-planning semalam sebelum mata terpejam. Tapi ya, namanya rencana, jika ia tidk bisa A maka nusti ada B,C atau apalagi. Dan bener, kejadiannya beda dari planning, meski hanya 20%. Yo wes ra popo... masih bisa melakukan aktivitas yang bermanfaat pagi ini.<br /><br />Rapat sosialisasi di kantor berjalan molor!!! entahlah, tapi aku tak mau menyalahkan siapapun toch kita memang menunggu direktur operasional. Setelah berbagai sosialisasi, pertanyaan, pernyataan dan jawaban-jawaban plus PR tercurah dari beberapa personil, adzan Zuhur pun menyapa. (eh,,ada yang Milad tgl 1 April, jadi ada hidangan nie di ruang tamu, trus foto-foto dech Crewnya).<br /><br />Waktunya pulang dan masak buat ntar malam. Soale pukul 15.00 sudah harus standby di pelatihan saksi. Hanya karena kecintaan yang berlebih dengan diri dan orang-orang dekat, akhirnya tombol power laptop harus kepencet lagi. Lalu wajah-wajah manis mulai menghiasi layar. Yang pasti rata-rata wajahku sendiri (narsiskah?:), gak lah,ya...kata adik yang di psikologi, narsis itu penyakit. Tapi tak apalah, dengan begitu aku jadi bisa mensyukuri nikmat penciptaan). Tapi aktivitas ini akhirnya jadi bumerang....<br />why?<br />karena aku menghabiskan sekian menit bersama kotak kecil itu. Yach, sudah kuperkirakan sich. Berapa waktu yang akan kupakai untuk menyelesaiakan menu hari ini. Tapi ups... jam sudah mulai mengarah ke angka 3. Berarti aku harus segera ganti urusan. Lalu kutitipkan prosesi mencuci beras dan nyolokin rice cooker ke adik-adik di rumah. Dan.......... ini rupanya awal masalahnya.<br /><br />Setelah diantar ke lokasi training, aku pesan minta di jemput adik sekamar pukul 18.00 atau labih baik sebelum maghrib. Ternyata, friend....dia lupa!<br />aku hanya mengirim gambar senyum ke ponselnya dan say "take care, dik". Semoga tidak masalah lagi di perjalanannya. Aku sudah terlalu lama menanti di sini. Selepas Maghrib harus halaqoh Qur'an. tapi yach, namanya lupa itu pasti tidak ingat :)<br /><br />Diperjalanan aku membayangkan akan segera menemukan masakan yang tadi sudah kupersiapkan.Ehmm, pasti enak sekali (PeDe banget sich, iyalah. Dalam kamus lidahku kan hanya ada dua rasa, enak dan enak sekali. Masakan orang buatku semua rasanya enak, dan maskan sendiri di lidahku, enak sekali. Wee urik, itu. Kata orang Jambi sekewet. :0 yo ra popo to? lha wong ra doso kok). Karena pedenya bakal makan di rumah, aku hanya membeli sepotong "ayam manis" yang kusuka. Aku menyebutnya begitu.<br /><br />Setelah menghidangkan makanan, kuperiksa nasi yang tadi kutitipkan untuk dimasak. Oh,,,,Rabbana. Rice cookernya penuh sekali dan nasinya belum matang :(. Sedihnya hatiku, bukan apa-apa, aku tahu semua teman-teman yang ikut masak bareng selalu pulang maghrin dan pasti lapar. Sebelum halaqoh Qur'an biasanya kami makan selepas sholat. Lagian aku baru ingat, kalau dari pagi perutku juga belum disentuh nasi. Pantas rasanya "lapar":). Begini ni kalau tidak disiplin makan. Untuk sakit pencernaanku tidak langsung berontak. Soale sudah diganjal sama makanan lain kali, ya. Tapi karena asli Indonesia, ya biasalah. Kudu ketemu nasi.<br /><br />Sedih sekali rasanya, saat aku bertugas di hari pertamaku piket masak, aku harus mendzolimi teman-teman. Ohhhhh.<br /><br />Kadang ada saja hal yang tidak kita sangka-sangka akan terjadi di luar prediksi. Aku berani minta tolong masakin nasi siang tadi, karena biasanya si adik juga biasa masak nasi dan FINE aja. Rupanya dia pun delegasi tugas. Penerima delegasi juga biasa masak nasi.... Masya Allah alangkah pentingnya ternyata belajar masak buat para calon Ibu. Dari hal kecil memprediksi takaran nasi dan ukuran wadah saja perlu latihan ternyata (hayo para wanita).<br /><br />Aku masih saja menyalahkan diriku yang tidak amanah hari ini. Kecewa?pasti. Tapi sudah kadung ngono,yo piye meneh. rupanya si adik masak dari sore sampai malam begini gak mateng-mateng :). Aku menyesal karena aktivitas di depan laptop siang tadi yang seharusnya tidak ada di daftar agendaku hari ini jadi nyempil. Sedih, friend. Banget!<br /><br />Terlalu banyak kdang teori yang mampir dalam buku catatan kita, memori kita. Tapi untuk memanggilnya kembali saat tertentu, butuh akhlaq, kebiasaan, karakter (wee berat banget). Ya, kita sering diajari skala prioritas, tapi saat bekerja dan beraktivitas, sudahkan memori tentang ilmu itu menemani? Apalagi jika mengerjakan hal yang bukan hanya urusan diri sendiri, yang ada hubungannya dengan orang lain, yang ada hubungannya dengan untung rugi, apalagi yang ada hubungannya dengan akhirat, betapa beratnya konsekwensi yang harus ditanggung.<br /><br />Manusia, sekali lagi manusia. Begitu manusiawi. Sering lalai, lupa, malas dan sederetan kisah buruk lainnya. Semoga aku bisa belajar untuk peristiwa ini. 1 April 2009 - Asma Amanina DIYIstana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-8708184405075027782009-01-21T18:20:00.000-08:002009-01-21T18:21:52.117-08:00SelaluBismillah....<br />akhirnya mampir juga ke rumah ini. Tapi diantara pusing yang amat sangat, makanya gak bisa banyak berekspresi. Mohon doa dari muslim sedunia, segera pulih kembali seperti ketika baru lahir:) maksudnya?Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-60219522328757759422009-01-21T16:42:00.000-08:002009-01-21T16:55:52.655-08:00<div align="center"><strong> Pengorbanan: Milestone Kejayaan</strong></div><div align="center"><em><span style="font-size:78%;">CatatanAkhir Tahun Ketua Himmpas</span></em></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Hari masih pagi, ketika Nabi menemukan pemuda Anshor itu terpekur lesu di sudut masjid Nabawi. Nabi bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan pemuda ini? Kenapa ia duduk di masjid, sementara ini adalah saat produktif, jamkerja, waktu-waktu untuk berjuang. Rasulullah SAW menghampirinya, dan dengan segenap kelembutan sentuhan langit ia bertanya, “Ya Aba Umamah, limaa liiaraka jalisan filmasjidi fi ghairi waqtish shalah?”. “Wahai Abu Umamah,kenapa kulihat engkau duduk saja di masjid, bukankah ini belum waktunya shalat?”. Lelaki yang mulanya tertunduk itu perlahan menengadahkan wajah.Dengan duka ia mengadu, “Ya Rasulallah, aku sedang gelisah. Aku terbelit hutang…”. Nabi segera paham urusan anak muda ini. Kemudian ia bersabda,“Sahabatku, maukah kau kuberitahu sebuah perktaan, yang jika kau ucapkan makadihapuskanlah semua kegelisahanmu oleh Allah, dan dilunasi-Nya seluruh hutang-hutangmu”. Abu Umamah dengan sepenuh harap menjawab, “Tentu saja wahai Rasul yang mulia”. Rasulullah kemudian mengucapkan kata-kata keramat itu, “Diwaktu pagi dan petang, bacalah olehmu (do’a): “Allahumma inni a’udzubikaminalhammi walhazan, wa a’udzubika minal ‘ajzi walkasli, wa a’udzubikaminaljubni walbukhli, wa a’udzubika min ghalabatiddayni wa qahrirrijal”, “YaAllah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahandan kemalasan, dari kepengecutan dan kekikiran, serta dari belitan hutang danintimidasi manusia”. Kalimat-kalimat yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini kemudian menjadi do’a yang mengabadi, dibaca jutaan kaum Muslimin di sepanjang pagi dan petang. Namun do’a itu sebenarnya bukan semata-mata do’a penebus hutang. Ia punya kandungan makna yang lebih dalam. Ia berbicaratentang penguatan pilar-pilar kehidupan yang bisa membebaskan manusia dari duahal. Dua kerangkeng besar yang seringkali mengungkung manusia, memenjarakan kemerdekaan jiwanya, merusak keceriaan hari-harinya. Dua hal itu adalah hutangdan intimidasi, tekanan manusia lain. Hutang adalah simbol ketergantungan ekonomi, dan intimidasi melambangkan keterjajahan moril dan sosial. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Kini, di saat kita dihadapkan pada kenyataan pahit, bahwa kita memang tengah menjadi bangsa pengutang dan seringkali tertunduk pada bangsa lain, layak rasanya kembali me-muraja’ah, mengulang-ulang hikmah yang terkandung di dalam hadits mulia ini. Siklus Kelemahan Ada penjelasan yang runut dariNabiyullah Muhammad SAW dalam do’a ringkas yang diajarkannya tersebut, tentang siklus kelemahan. Bahwa kelemahan dan ketergantungan pada levelnya yang paling akut, sebenarnya bermula dari satu titik. Titik itu berada di hati, namanyakegelisahan (hammun). Kegelisahan adalah kondisi jiwa yang bingung untuk menemukan sikap dan tindakan yang tepat. Kegelisahan adalah kecamuk yang mendebarkan jantung secara sporadis, dalam ritme yang acak-acakan. Dan kegelisahan ini punya karib bernamakesedihan (huznun). Kesedihan merupakan kondisi di mana jiwa tak mampumenerima selisih antara keinginan dengan kenyataan, maka ia terguncang...Dua masalah hati ini kemudian terakumulasi sedemikian rupa, melahirkan kelemahan (‘ajzun). Kelemahan melahirkan kemalasan (kaslan).Perselingkuhan antara kelemahan dan kemalasan inilah yang kita sebut apatisme. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Apa selanjutnya? Tak ada. Jika jiwa telah terkungkung oleh tembok apatisme, maka pandangannya tertumbuk, bashirah-ya mengabur. Tak ada lagi semangat, tidak ada visi, tak ada keberanian. Makaitulah, Nabi mengajarkan pada kalimat berikutnya untuk terus menerus berlindung kepada Allah SWt dari deraan penyakit apatisme; kepengecutan (jubn) dan kekikiran (bukhl). Apa itu pengecut? Segala definisi tentangkepengecutan bermuara pada satu kesimpulan, keengganan mengambil resiko. Apapula itu kikir? Kikir adalah keengganan untuk berkorban. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Pengorbanan Sebagai Pilar Keutamaan </strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify">Jiwa pengecut dan lemah pengorbanan, merupakan simptom jiwa yang rusak, tua dan ringkih. Kalau jiwa semacam ini bersemayam di jasad pemuda, maka tak berguna lagi kesehatan fisik dan kebugaran raganya. Layaklah ia dikatakan pemuda tua. Bahkan mungkin kitapantas bertakbir empat kali atas kematian mereka sebelum ajal tiba. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Pengorbanan, adalah pilar keutamaan. Pengorbanan adalah spirit para pemuda. Lihatlah Ashabul Kahfi. Tertatih mereka lari meninggalkan negerinya, hijrah dari kemewahan istana untuk menjadi ‘manusia gua’. Pengorbanan itu semata mereka lakukan untuk mempertahankan kebenaran, mempertahankan prinsip, membela aqidahnya. Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya merekaa dalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi;Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran".(QSAl Kahfi; 13-14). Jiwa belia, ilmu yang menyinari hati, dan iman yang berkobar-kobar di dada mereka, menjadikan mereka pribadi-pribadi kukuh. Di hadapan Diqyanus, raja yang tiranik dan despotis,mereka mengumandangkan aqidah mereka. Menggemakan tauhid yang murni. Setelah itu tak mengapa terusir, karena tugas telah ditunaikan, amanah telah disampaikan. Inilah karakter pemuda selamanya, teguh kukuh. Inilah warna perjuangan pemuda yang sejati, deklaratif, proklamatif dan atraktif. Pemuda tak berjuang dalam sunyi. Pemuda tak sepi dari kreasi. Pemuda tak menutup diri untuk menangisi diri, tenggelam dalam kesalehan pribadi sementara lingkungannya tengah tercemari. Pemuda adalah para ahlutadhiyah, pribadi-pribadi yang rela bahkan berlomba untuk berkorban. Mereka tak pernah menutup mulutnya karena ketakutan, tak gemetar tangannya karena ancaman, tak lunglai lututnya karena tekanan dan penderitan. Ibrahim as, yang kita kaji ulang sejarah perikehidupannya pada momen ‘Iedul Adha lalu, juga merupakan pemuda ahlu tadhiyah. Di tanah Babylonia yang diwarnai angkara Namrudz, ia proklamirkan perjuangan tauhidnya. Ia lancarkan atraksi ‘basmi berhala’-nya. Setelah itu ia kalahkan pula Namrudz dalam perdebatan intelektual yang tajam. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,"orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”(QSAl Baqarah; 258)Lepas itu kita melihat hidup Ibrahim terusmenerus didera badai cobaan berkepanjangan. Dibakar di lautan api, hingga peristiwa penyembelihan Isma’il yang menggetarkan hati. Tapi itu semua berujung indah. Seluruh pengorbanan itu mengantarkan Ibrahim sebagai Imam, panutan sejarah. Maka manasiknya pun dijadikan sebagai perayaan akbar ummat ini. Perhelatan haji merupakan parade cinta, napak tilas pengorbanan Ibrahim as dan keluarganya yang diberkati. “Dan(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:‘Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’……” (QSAl Baqarah: 124)………………………….. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa lompatan besar hanya milik mereka yang berani untuk berlari lebih kencang. Bahwa keagungan hanya milik mereka yang rela berkorban. Bahwa keutamaan hanya milik mereka yang bersedia berkontribusi lebih. Ibnul Qayyimal-Jauziyah mengatakan, “ajma’a ‘uqala-ul ummah, anna na’im laa yudrakubinna’im wa anna raahah laa tunaalu birraahah”. “Sudah menjadi pandangan umum para cendikia, bahwa kenikmatan takkan pernah digapai dengan kenikmatan, dan kelapangan tidaklah diwujudkan dengan kelapangan”. Kini kita berdiri di sini. Mematut-matut diri di depan cermin besar peradaban. Lantas kita menemukan bahwa kita adalah anak-anak zaman, yang dikaruniai oleh Allah SWT berbagai kelebihan. Kita adalah pemuda yang mendapatkan sentuhan lembut keimanan, mereguk manisnyahidayah, berhimpun dalam nikmatnya persaudaraan, terang-benderang di bawah naungan cahaya keilmuan. Maka tak layak potensi ini diabaikan. Tak patut segala keutamaan yang Allah karuniakan ini kita nikmati sendiri dalam diam. Mari mensyukurinya dengan amal. Berikan waktu, tenaga, dana, dan potensi apa saja demik emaslahatan dan kejayaan masa hadapan. Kobarkan semangat pengorbanan, bersama dalam kebaikan!</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Andree S.IP</strong> <span style="font-size:85%;"> (Mohon maaf, pak tulisannya bagus. Jadi saya tampilkan saja, ya. Agar banyak yang membaca. jangan berhenti menulis, pak. Terima kasih</span></div>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-63652065842441395442009-01-19T00:45:00.001-08:002009-01-19T00:45:48.802-08:00N A M ABeberapa hari ini, saya selalu di hadapkan pada ucapan seputar kata ini "nama". Anda mungkin sering mendengar beberapa ungkapan tentangnya. Ada yang mengatakan "apalah arti sebuah nama" atau justru tepisan yang menyatakan bahwa "nama adalah doa". Beberapa hari yang lalu, teman sekamarku menanyakan nama apa ya mbak yang cocok untuk dipadukan dengan kata Hanif?Dengan skenario Allah di kelas pagiku, ustadz menyingggung tentang cara orang tua memberikan nama untuk anaknya. Ada yang memberi nama panjang dan indah didengar, ada yang memberi nama yang didasarkan bagaimana ya cara memanggilnya? Intinya, mereka berfikir kalau anaknya diberi nama bla bla bla, panggilannya apa.Atau mungkin ada diantara kita yang memberi nama anpa makna hanya karena suka kosa katanya, atau bahkan nama tokoh dan lain sebagainya. Baru beberapa menit yang lalu, saya dan teman-teman pun diskusi tentang nama. Nama organisasi.Iya, benar asumsi kita ia akan menjadi identitas dari content yang ditawarkan, pastinya. Diakhir saya hanya mengatakan, dari berbagai pilihan yang bagus itu, sebagai sebuah lembaga yang akan menembus pasar umum, kesan eksklusif haruslah dihilangkan. Bukan berarti tidak memahami bahwa nama adalah hal yang penting, namu yang juga tidak kalah penting dari sebuah "label" adalah "isi". Balik ke nama anak,...Kalau buat nama, jangan lupa beri pangggilan yang baik dan bermakna, ya. Karena nama adalah panggilan yang berupa doa. Wallahu 'alam.<br /><br />ekspresi menjelang adzan Dzuhur<br />18 Januaru 2009Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-73705226746471744382009-01-19T00:37:00.000-08:002009-01-19T00:38:50.954-08:00Mentalitas Miskin<br /><br />Siapa pun pasti mengenal realitas bangsa Indonesia yang kaya raya. Betapa tidak, negeri yang bergelar zamrud khatulistiwa ini punya aneka sumber daya alam, mulai dari tumbuhan, hasil tambang, hasil lautnya yang melimpah, belum lagi kekayaan budaya, bahasa, adat-istiadat dan banyak lagi. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang tidak memiliki potensi yang dapat dikembangkan, atau lebih tepatnya saya belum pernah mendengar itu. Segalanya telah tersedia.<br />Beberapa hari yang lalu, saat membuka lembar-lembar peta Indonesia karena kepentingan data lokasi buat tesis, saya justru asyik menyimak gugusan pulau-pulau di nusantara yang munggil-munggil. Mereka tersebar diantara perairan. Kiri, kanan dan bahkan sekelilingnya adalah air. Tanpa sadar, saya telah mengajak peta-peta itu bicara, “wah, pulau ini jauhnya dari propinsi induk, kecil-kecil lagi. Mana dekat dari negara ... berpotensi hilang nich.Wuih, kalau saya jadi presiden, sepertinya bakal mantenggin peta setiap hari. Mendata pulau mana yang masih jadi milikku (Indonesia), pulau mana yang belum ada sekolahnya, pulau mana yang sudah diincar tetangga sebelah de el el. Pusing juga ya. Belum harus memikirkan masalah yang lain. Pasti biaya transportasi antar pulau juga sangat mahal. Lha wong mau kemana-mana harus lewat air....”dan lain-lain komentarku yang juga didengar oleh adik sekamarku. Anda pasti berfikir, ngapain mantenggin peta mbak, bukannya ada internet, lagian presiden kan banyak staffnya. Mereka punya deskripsi kerja sendiri-sendiri. Ya, sich. Tapi tetap saja pertanggungjawabannya ada pada pemimpin. Ups,...wahai para pemimpin hati-hati, ya.(Ooo.bukankah setiap diri kita adalah pemimpin???) Baiklah, kita kembali ke jalan yang benar, eh maksudnya bahasan di atas.<br />Beberapa menit yang lalu, saya terlibat sebuah debat kusir dengan seorang calon akuntan (amiin) tentang warung makan. Berawal dari berita yang dimuat Republika tentang tempat makan halal di Ngayokyokartohadiningrat. Terus berhubung sudah siang, saya juga sudah merasa lapar. Dan tetangga kamar pun sama, tapi enggan keluar rumah (meski akhirnya keluar juga sich. Maturnuwun ya, dik sudah berkenan di titipi beli ma’em).<br />“Pesan aja, ya kalau nggak ingin keluar”.Seruku.<br />“Iya nie, mbak. Delivery order”. seru tetangga kamarku sembari mengeluarkan secarik menu yang bisa di pesan dan tentunya halal. Terus kita berdua jalan dech ke ruang keluarga yang biasanya menyediakan aneka makanan. Tapi nggak ada yang rasanya “rasa tuku atau rasa mbayar”:). Sampainya di ruang keluarga calon akuntan mengomentari berita dan daftar delivery order, katanya “pasti mahal. Kenapa sich, produk-produk yang bersertifikat halal itu mahal-mahal.” Lalu saya jawab “Nggak juga, coba bandingkan dengan rumah makan-rumah makan yang belum bersertifikasi halal MUI.” Dalam hati, saya mencoba membandingkan dengan beberapa menu makanan di beberapa tempat makan yang pernah saya kunjunggi. Atau memang dasar orang Sumatera, kali ya. Karena terbiasa dengan harga-harga kebutuhan yang jauh lebih mahal dari Jogja, saya tetap saja merasa pada umumnya makanan di Jogja itu murah. “Mungkin biaya sertifikasinya mahal.”lanjutku. Kemudian beliau menukas dengan argumen-argumennya tentang sertifikasi, blab bla bla. Tapi baiklah, kita tidak akan diskusikan itu sekarang. Satu hal yang membuatku terdiam adalah karena beliau bilang orang ‘Islam itu kan banyak yang miskin’. Saat jawaban tidak sepakat kulontarkan, beliau mengatakan dengan emosi, “ya, itu kan mbak”. Astaqfirullah, saya langsung terdiam dan rasanya ini sudah harus dihentikan.<br />Bukan masalah miskin atau kaya, menurutku. Tapi lebih dari itu, “cap buruk yang jujur sangat saya benci yang sering di tiupkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dengan mengatakan, “orang Islam identik dengan muskin, jorok, tidak professional”, entah apa lagi. Kalau masalah kondisi, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya juga masih setia menerima beasiswa dari orangtua. Itu pun tidak berlebihan. Tapi alhamdulillah, rasanya barakoh. Hal yang menarik yang ingin saya ceritakan adalah sebuah perasaan. Perasaan yang diwariskan penjajah yang berganti-ganti itu. Yang bukan hanya menjajah secara ekonomi, moral, dan sebagainya, tapi juga secara mental. Tentang bagaimana kita memandang diri kita. Saya jadi ingat tulisan seorang ketua organisasi yang berbasis gerakan sosialis. Beliau menguraikan tentang bagaimana penjajah telah menghancurkan banyak hal. Yang saya tangkap, juga menghancurkan rasa husnudzon bahkan kepada sesama anak bangsa.<br />Kita terlalu sering merasa diri kita lemah, tidak memiliki apapun. Jika ini konteksnya dalam urusan tauhid dan peribadatan, saya dapat menerimanya. Tapi dengan segala potensi yang kita miliki, anugrah tanah tumpah darah yang kaya masihkah kita merasa hina dan rendah? Kita lupakan debat kusir saya dengan calon akuntan di atas, karena memang ini bagian dari realitas. Memang masih banyak anak bangsa yang secara ekonomi kurang beruntung. Tapi tidak melulu kita harus terbelenggu keerbatasan tanpa karya nyata. Tidak selayaknya kita selalu merasa lemah, karena sesungguhnya kita adalah apa yang kita pikirkan. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya, mengapa tidak kita akui saja kalau kita punya potensi lalu bismillah, dengan ikhtiyar kita perbaiki kondisi yang ada. Apakah orang-orang yang hanya bisa memprotes tentang kondisi kemiskinan bangsa, sudah menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk dana kemanusiaan? Yach, minimal seratus rupiah sehari. Atau kalau belum bisa seratus, ya seribu juga tidak apa-apa.;)<br />Tepat kiranya istilah, dari pada mengutuk kegelapan, mending nyalakan saja lilin, obor, korek api, de el el, yang bisa meneranggi. Lebih solutifkan? Yuk, kita pakai kembali istilahnya Aa Gym yang 3M, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil dan mulai dari sekarang! Demikian pula halnya dalam membangun mentalitas kita yang sudah lama terjajah, jangan selalu merasa hina, sesungguhnya kita adalah mulia, jika kita adalah orang yang beriman. Bagaimana? Sepakat?<br />Luapan emosi menjelang Adzan Dzuhur<br /><br />22 Muharram 1430 H/19 Januari 2009<br />Me, <a href="mailto:fira412@gmail.com">fira412@gmail.com</a>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-85703877540755653002009-01-19T00:36:00.000-08:002009-01-19T00:37:11.722-08:00<span style="font-size:180%;">Dosa tak terlupakan</span><br /><br />1 tahun 3 bulan keberadaan di kota pelajar dan budaya ini. Julukan yang konon mulai terdzolimi karena ulah pelajar dan mahasiswanya yang banyak tidak mencerminkan moral pemuda terpelajar.<br />7 bulan sudah dari masa itu kujalani amanah yang menyita hatiku. Aku terseok-seok menata hati, menata langkah mencoba untuk berbuat dan peduli, meski tak selalunya manis. Itulah dinamika. Dari posisi staff, akhirnya takdir menuntunku mengkomandoi sebuah departemen di HIMMPAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana). Jika aku boleh memilih, biarlah aku memilih menjadi mas’ulah (pemimpin) tapi diantara saudara-saudaraku di Jambi. Kota yang selalu kurindukan. Atau jika boleh, aku ingin ada yang membimbingku, atau minimal memotivasi atau minimal mengingatkan jika aku tak bersikap lurus pada amanah ini. Betapa tak bersyukurnya aku? Itulah dinamika.<br />HIngga, aku selalu meratapi kebodohanku setiap kali ingat proses-proses yang kujalani dengan amanah ini. Hingga, LPJ........ hari yang menyedihkan bagiku. Bagaimana mungkin, aku bisa memaafkan diriku?<br /><br />31 Desember 2008Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-47647655115126464652009-01-19T00:32:00.000-08:002009-01-19T00:35:12.202-08:00<div><br />Momentum<br /><em>Martha Dewi Samodrawati, SH. </em><a class="sdfootnoteanc" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7325760855682134374#sdfootnote1sym" name="sdfootnote1anc"><em>1</em></a><em> </em></div>
<br /><div><em></em> </div>
<br /><div><br />Ini adalah bulan terakhir dari deretan bulan-bulan di tahun Hijriyah. Bulan yang didalamnya termuat sebuah peristiwa besar yang mengukir peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dzulhijah. Begitu dalam makna sejarah yang terkandung dari syariat qurban dan haji yang dilaksanakan mukmin yang berkemampuan di bulan ini. Setiap muslim mungkin sudah mafhum dengan dua rentetan peristiwa ini.<br />Dalam qurban, tersimpan pesan kejujuran wujud sebuah cinta seorang hamba pada penciptannya. Cinta yang dengannya mampu menandingi jutaan cinta selain pada-Nya, cinta yang mengugurkan hawa nafsu dan tipu daya dunia yang menggoda pandangan mata kepala. Cinta yang hanya mampu dicerna dengan pandangan mata hati dan kejujuran misi sebuah penciptaan.<br />Haji adalah ibadah persiapan menuju kematian. Saat segala gemerlap pakaian dunia ditanggalkan dan berganti dengan pakaian putih sebagai wujud kesiapan seorang hamba yang ingin menemui Rabbnya, saat setiap hati berharap akan ketentuan terbaik bagi dunia dan akhiratnya dengan do’a-do’a yang tak terhijab. Betapa beruntungnya mereka yang diundang Allah SWT dengan segala ketundukan seorang hamba. Tiada yang lebih diharapkan oleh seorang yang mencintai selain diundang dengan penuh kecintaan dari Kekasihnya. Semoga Allah berkenan memasukkan kita diantara para hamba yang dikasihi-Nya.<br />Masih di bulan ini, sebuah peristiwa besar terjadi sebagai penanda hijarahnya Rasulullah dengan awal tahun Hijriyah. Ya, beberapa hari lagi kita pun akan bertemu dengan tahun baru. Masa yang selayaknya menjadi sebuah moment instrospeksi dan menata hari-hari ke depan. Agar kita tidak menjadi orang yang rugi, yang tiap masa berlalu tak mampu membuatnya belajar dan berubah menjadi lebih baik hingga akhir hayatnya. Atau menjadi orang yang celaka, yang berinvestasi dengan hari-hari yang buruk dari sebelumnya dan menerima puncak kehidupan dengan siksaan. Na’udzubillahi mindzalik. Allah SWT telah memberikan pilihan dan bimbingan. Siapapun boleh memilih yang menurutnya terbaik. Namun alangkah tidak cerdasnya orang yang memilih kesia-siaan dan siksaan. Semoga kita menjadi orang yang beruntung, yang dari rentetan hari mampu merubah setiap momentum menjadi pemacu perubahan diri dan lingkungan menuju kebaikan, hingga mampu selalu berada dalam kebaikan.<br />Momentum waktu<br />Seringkali apa yang terjadi dalam tiap peristiwa dalam hari-hari kita hanya menjadi sebuah momentum waktu belaka. Banyak yang diingat, namun kemudian dengan mudahnya pula dilupakan. Momentum waktu hanya menyisakan pelajaran bahwa kita berpindah dari detik, menit, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya. Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa ini? Sering kali tidak banyak atau jika pun ada semua sering diukur dari ukuran materiil. Capaian kerja, usia yang makin tua, pendapatan, keuntungan dan kerugian atau deretan lain yang semua harus dapat dikalkulasikan dengan angka. Tidak salah memang, meski tidak sepenuhnya menguntungkan bagi kita.<br />Momentum Perubahan<br />“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Q.S.Al Hasyr:18<br />Ayat di atas mengisyaratkan banyak hal. Diantaranya tentang keoptimisan dan kehidupan yang lebih baik sebagai balasan atas perbuatan yang baik (sesuai tuntunan). Sesunggguhnya ada isyarat perubahan dan peningkatan yang tidak dapat dilepaskan dari pesan tersebut. Suatu momentum perubahan yang merupakan perpindahan dari sebuah kondisi yang tidak disukai Allah SWT menuju kondisi yang disukai-Nya. Itulah sebabnya ada monitoring yang Allah jalankan dari kemahatelitian-Nya. Intinya, momentum waktu harus mampu menjadi momentum perubahan bagi diri setiap mukmin.<br />Tidak berubah<br />Ungkapan yang sangat familiar di telinga kita bahwa tidak ada yang kekal di bumi ini selain dari perubahan. Benarkah demikian? Jika kita kembali pada tiga tipikal manusia terkait dengan waktunya, yaitu orang yang beruntung yang hari ini lebih baik dari kemarin, orang yang merugi karena hari ini sama dengan kemarin dan orang yang celaka karena hari ini lebih buruk dari kemarin, maka istilah ini tidak sepenuhnya benar. Karena masih ada orang-orang yang memilih untuk menjadi bagian yang merugi, artinya ia tidak berubah menjadi buruk dan tidak pula baik. Ada hal yang statis di dalamnya.<br />Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak mau atau tidak berubah, yaitu tidak tahu, tidak bisa dan tidak mungkin/ mustahil untuk berubah. Ketiganya hanya menjadi ukuran manusia yang hanya dapat ditilik dari sebab kejumudan seseorang. Karena dalam konteks apapun yang dipandang dari sudut keillahiyahan, maka tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi jika Allah menghendaki.<br />Untuk alasan pertama, yang mengatakan tidak tahu, secara manusiawi hal ini bisa jadi dapat diberikan alasan pemaaf atau alasan pembenar atas suatu tindakan, meski itu hal yang salah sekalipun. Orang akan mengatakan, “wajar saja, karena dia tidak tahu”. Jika kita bertemu dengan seorang muslimah yang belum menutup aurat dan bertanya padanya, mengapa ia tidak menutup aurat? Kemudian ia mengatakan tidak tahu atas tindakannya tersebut. Ia tidak pernah mengetahui kalau kewajiban menutup aurat itu harus ia tunaikan selaku seorang yang mengaku beragama Islam. Kita akan sedikit dapat memaklumi tindakannya, meski secara logika adalah “unik” jika seorang muslimah tidak mengerti syariat jilbab. Itulah sebabnya mengapa kemudian Allah SWT mengutus para nabi dan rasul serta menyatakan berbagai peraturan hidup dalam Al-Qur’an, agar kita tidak mengatakan “tidak tahu” jika tiba saatnya untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan, perasaan, dan lintasan pikiran yang ada. Demikian halnya ada syariat berdakwah yang dihukumi fardhu ‘ain, agar setiap diri dengan kemampuannya dapat mencerahkan pengetahuan saudaranya. Namun jika alasan tidak berubah pada tingkatan berikutnya yaitu tidak bisa, ada suatu hal yang dapat dikatakan “penyakit” yang melarbelakangi alasan ini. Apakah seorang perokok tidak tahu jika merokok akan merusak kesehatan dirinya bahkan orang lain? Rasanya mustahil, karena dalam bungkus setiap rokok pun tertulis peringatannya, kecuali bagi orang yang tidak dapat membaca atau melihat tulisan. Namun demikian, ia pasti tetap dapat merasakan efek yang ada dalam tubuhnya. Atau ia dapat mendengar informasinya dari orang lain. Demikian halnya dengan remaja yang berpacaran atau orang-orang yang suka bergosip baik menyaksikan maupun melakukan, atau seorang muslim yang lebih suka berbelanja hal-hal tidak penting ketimbang menganggarkan dananya bagi dakwah Islam atau membantu sesamanya, mereka semua tahu bahwa hal itu dilarang, tapi untuk menghentikannya, mereka akan katakan “saya tidak bisa!” JIka hal ini yang muncul, dapat dipahami bahwa apa yang di atas dimaksudkan dengan penyakit adalah, bahwa seseorang tidak berubah karena merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang menyenangkannya. Sehingga membuatnya khawatir untuk kehilanggan apa yang telah dinikmati selama ini.<br />Alasan berikutnya mengapa seseorang tidak berubah adalah kalimat, “tidak mungkin/mustahil”. Sesungguhnya kalimat ini adalah kalimat yang tidak manusiawi, artinya sebuah ungkapan yang melebihi batas-batas kemampuan seorang manusia biasa yang mampu menentukan akhir dari tiap pilihannya. Bukankah tidak mustahil jika suatu hari nanti, seorang yang sangat memusuhi Islam seperti George Bush akan justru masuk Islam dengan hidayah Allah? Bukankah hal ini mungkin?<br />Waktunya berubah<br />Dapat kembali diungkapkan bahwa sesungguhnya penyebab keenganan seseorang untuk berubah adalah karena tidak ingin berpisah dengan kesenangan dunia yang telah ia rasakan dan khawatir dengan akibat buruk yang tidak diinginkanya. Hal ini menjadi latarbelakang keteguhan seseorang dalam hal buruk sepanjang kehidupannya. Melihat hal ini, Allah kemudian mengingatkan dalam surat Ali Imran ayat 185:<br />“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”<br />Jika dunia hanyalah fatamorgana yang mengecoh pandangan mata, maka sebagai seorang mukmin pasti sangat merugi jika harus tertipu dengannya. Seperti seorang sahabat, Umar bin Abdul Aziz yang setelah menerima amanah kepemimpinan bukan justru mengisyaratkan sebuah kebahagiaan, namun sebuah rona bayangan beratnya pertanggungjawaban atas apa yang harus dipikulnya. Karena nikmatnya dunia hanyalah bagaikan menggoreskan tangan ke dalam air yang hanya sesaat bekasnya lalu hilang. Atau seperti seorang yang terguyur basah hujan, hanya sebentar, mungkin pula ia dapat sakit setelahnya.<br />Jika kita kembali mengingat peristiwa qurban nabi Ibrahim as. Kita akan merasakan suatu pelajaran besar tentang kekuatan melepaskan kesenangan dunia yang tidak lama ini lewat keikhlasan beliau melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya. Dapat kita bayangkan, betapa mahalnya harga seorang putra, apalagi dengan sejarah ujian-ujian Allah bahkan sejak Ismail masih balita. Hal lain yang pantas diikuti adalah bahwa perubahan terjadi tidak menunggu kita merasa bosan terhadap suatu hal. Karena orang yang mengatakan tidak dapat berubah menandakan bahwa ia adalah orang yang tidak cerdas, yang rela menukar kebahagiaan akhiratnya dengan kehidupan dunia yang hanya sesaat dan sedikit. Karena sungguh, kesenangan dunia itu begitu kecil jika dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat.<br />Seperti halnya waktu telah mengajarkan kepada kita bahwa berubah adalah sebuah keniscayaan, karena orang yang tidak mau berubah berarti ia telah membunuh waktu untuk hidupnya sendiri. Waktu selalu berputar dan berjalan ke depan, maka hanya orang yang mati sajalah kiranya yang tidak mampu lagi melakukan perubahan.<br />Semoga momentum tahun baru ini menjadi rangkaian perubahan menuju kebaikan bagi kita semua. Berkorbanlah meninggalkan kesenangan yang menipu dan sesaat untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal.<br />Wallahu 'alam bishowab.</div>
<br /><div><br />Goresan akhir tahun di penghujung malam/26 Dzulhijah 1428 H<br /><a class="sdfootnotesym" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7325760855682134374#sdfootnote1anc" name="sdfootnote1sym">1</a> Kadep. Humas dan Media 2007/2008</div>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-42940419011132562952009-01-19T00:28:00.000-08:002009-01-19T00:29:42.864-08:00"Karena Aku, mencintaimu.."Aku masih ingat pancangan mimpi-mimpi dan harapanku yang dulu sering mengisi fantasi hayalku di usia-usia belia. Sungguh, aku kian yakin tentang “takdir”. Ia telah tertulis 50.000 tahun yang lalu di lauful mahfudz, bahkan jauh sebelum bumi ini tercipta. Tiada kekhawatiran di lintasan hari-hariku. Semuanya telah jelas. Hanya, jika aku menginginkan hal-hal terbaik, melalui doa aku dapat memintanya. Siapa tahu jika takdir yang telah tertulis itu adalah baik, dengan doa ia menjadi sinkron dan lebih baik. Namun jika takdir itu buruk, dengan doa ia menjadi baik. Subhanallah. Inilah diantara senjataku.<br />Bila kuingat kembali perjalanan hidupku dari kecil hingga di usia hari ini, aku belum dan tidak akan pernah merasa gundah dengan hari depanku. Meski fenomena ini justru sangat kupahami saat aku mulai belajar Islam. Dan itu pun baru setelah perguruan tinggi memfasilitasi hidayahku.<br />Dulu, saat kelumpuhan menemani masa kecilku dan memutus interaksiku dengan teman-teman sebayaku, aku tetap menjadi makhluk kecil yang tegar. Mungkin hampir setiap hari, aku selalu berdialog dengan kedua kakiku di antara kubangan pasir di depan rumah simbah. Hanya sejuk dan rindang pohon sawo yang tak pernah bosan menemaniku bermain. Hingga aku tak pernah merasa sendiri. Aku bisa merasakan mereka pun mampu berdialog sepertiku, seperti halnya pamanku pernah berkata, bahwa mereka pun bisa bicara, tentu dengan bahasa mereka sendiri. Ada banyak makhluk Allah yang senantiasa bertasbih, bertahmid dan bertakbir mengagungkan asma-Nya. Allah SWT, pemilik keadilan. Ketika itu, dengan dewasanya kuelus kedua kaki yang tak juga kunjung dapat kupakai untuk melangkah. Di temani suara-suara alam yang khas.<br />“Sikil-sikil, kapan to arep mari?” (kaki-kaki, kapan mau sembuh?), Kata-kata itu kuinggat saat entah siapa yang coba mengingatkanku tentang saat-saat kecilku. Hingga aku dapat membayangkan semua kejadian saat itu. Saat aku harus digendong jika ingin beranjak dari bawah pohon sawo tempat bermainku, saat aku mau (maaf) buang hajat, saat aku ingin merasakan bumi Allah yang di bagian lain dan saat apapun.<br />Apa aku juga ingin bisa berjalan seperti teman-teman yang lain? Mungkin ia. Tapi sebuah pelajaran besar yang akhirnya kudapatkan dari kelumpuhan itu adalah, aku tidak “liar” mengumbar segala keinginanku. Pun hari ini, aku bisa memahami bagaimana frustasinya orang-orang yang tidak siap mentalnya, ketika ia harus mengalami kondisi keterbatasan fisik, setelah ia merasakan nikmatnya sehat. Segalanya sudah tertulis. Kita tidak pernah tahu apakah kedua tangan kita yang hari ini masih utuh dan sehat ini, esok juga masih seperti ini? Atau kaki kita yang bisa digunakan untuk berjalan bahkan berlari, esok masih bisa menemani langkah-langkah kita dengan tegap? Hanya berusaha dan berdoa itu yang kita mampu dan bisa.<br />Meski aku mungkin sudah kehilangan masa kecilku sesaat, namun sungguh semuanya telah tertulis. Allah pasti memiliki scenario terbaik untukku. Dan hingga aku diberi kesempatan untuk dapat berjalan kembali, aku merasakan sebuah kehidupan yang baru lengkap dengan tantangan yang baru pula.<br />Semuanya pas, sesuai dengan fisikku, sesuai dengan kapasitasku. Hingga Allah SWT berkenan menolongku. Mengembalikan fitrah Islam dalam diriku.<br /><br />Jumat,4 Muharram 1430 H/2 Januari 2009Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-3299140194768582912009-01-19T00:20:00.000-08:002009-01-19T00:21:22.083-08:00IzinkanRahiim.........<br />Tempat aku selalu merasa lemah<br />dan tak punya daya untuk tersenyum<br />karena bangga.<br />Rahiim, tempat hatiku selau melabuhkan kesah<br />gundah yang ianya adalah bagian terbesar dari usiaku<br />gundah yang hadir dari bolak-balik hatiku<br />dari bisikan jahat syetan, makhluk-Mu<br />Rahiim,<br />Tempat aku merasa dihargai<br />sebagai seorang wanita<br />manusia yang dimanusiakan.<br />Rahiim, aku adalah seonggok rasa seorang wanita<br />yang berlumur dosa dan hina.<br />Tiap lekuk diriku bertabur maksiyat.<br />Tiap desah nafasku enyirat aroma fitnah.<br />Tiap hasrat batinku begitu manusia<br />Jauh...<br />Masih jauh dari jiwa-jiwa bermata jeli di surga-Mu.<br />Dari shaf-shaf tentara-Mu yang mulia.<br />Izinkan onggokan ini berarti saat ruhnya telah menuju panggilan-Mu.<br /><br />Asma Amanina, 3 Juni 2008<br />20:08:57Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-7934004544426864872009-01-19T00:17:00.000-08:002009-01-19T00:18:18.091-08:00Kangen<br />Kangen dengan tilawahmu yang menggetarkan jiwa<br />Pada kata-kata yangmenyentuh nurani<br />Adik remajaku yang beranjak dewasa<br />Aku tak bisa membayangkan Rasulullah<br />Tapi aku merasa begitu dekatnya Rasulullah saat dekat denganmu.<br /> <br /> 22 Juli 2008Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-78433213622675721842009-01-19T00:14:00.000-08:002009-01-19T00:16:48.623-08:00"Terima kasih, cinta"<div align="justify"><br /></div><div align="justify"><br />Cinta mengajariku untuk sabar<br />Menahan diri dari gejolak perlawanan<br />Meredam emosi dengan diam dan do’a<br />Lalu berbagi saat hatiku mulai jernih.<br />Oh indahnya,.........<br />Seorang yang begitu temperamental, emosional, atraktik, ekspresif sepertiku mampu dibalutnya dengan selimut “diam”.<br />Meski tak selalunya diam itu baik<br />Sebab tak ada piliha lain yang harus ditempuh selain berbuat, saat kedzaliman yang menyapa.<br />Seberapa pun yang kita mampu, sekuat apa pun kapasitas diri.<br />Tidak ada seorang pun yang suka, jika ucapannya yang benar dibantah mentah-mentah, tanpa analisa dan rasionalisasi.<br />Tidak ringan ternyata untuk mendapatkan emas dalam diam. Tapi memang benar “ashobru jamil”.kesabaran itu indah.....<br />Yan pasti di akhirnya. Mengalah bukan berarti kalah, kadang ia justru menjadi pintu hidayah. </div><div align="justify"><br />Hikmah hari ini, 23:09<br />4 Muharram 1430 H/2 Januari 2009</div>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7325760855682134374.post-24040666998169533252008-12-30T23:28:00.000-08:002008-12-30T23:37:38.602-08:00Hanya Momentum?<div align="justify">Ini 1430 H. Seribu empat ratus tiga puluh tahun yang lalu, babak baru perjuangan Islam berganti metode. Hijrah telah mengawali masa-masa sulit di Mekah. Membalurkan terang cahaya damai dan kemerdekaan bagi setiap jiwa yang merinduinya.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Aku hanya bisa menatap jingganya langit senja yang tak kutemui di awal pagi dan gelapnya malam tadi. Terseok-seok kutata kembali tekad yang sering kali tergadai dengan kelenaan dunia yang hanya sekejap.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Tuts-tuts keyboard ini semoga menjadi saksi bagi seorang yang harus belajar banyak hal di usia muda keislamanku. Membunuh tiap kejahiliyahan yang selalu saja terasa dekat dengan hari-hariku. Aku hanya seorang hamba yang belajar menaati Allah dan Rasul-Nya, meski aku sering harus tergilas oleh fatamorgana nafsu dunia yang melenakan.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Semoga tahun baru ini menguatkan asaku menata dan mengevaluasi hari-hari akhir masih dapat kurasakan.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Selamat datang cahaya,................</div><div align="justify">Hiasi aku dengan cahaya</div><div align="justify">Agar seorang petualang ini akhirnya menemukan hakikat kebenaran.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">1 Muharram 1430 H</div>Istana Muallafhttp://www.blogger.com/profile/15942102634199608485noreply@blogger.com1