Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Senin, 31 Agustus 2009

Tak ada yang lebih mengerti!!!


Telephon berdering di hand phone jadulku. Bapak memintaku pulang untuk sebuah acara. Ah, Bapak. Pasti engkau kangen pada putrimu inikan? Lagian acaranya tidak penting-penting amat bagiku. Setelah ujian, aku memang belum sempat pulang. Masih banyak urusan dikampus yang tidak mudah kutinggalkan. Maklum aktivis!he he he.

Pak Kades datang siang itu dengan membawa berita yang membuatku bingung untuk bersikap. Senang atau harus sedih? Entahlah yang pasti aku kadang bosan dengan hal-hal seperti ini. Pikiran burukku mengatakan, ”seakan hanya jadi obyek”. Tragis. Kasihan sekali mereka. Mereka? Aku juga kale!. Tidak, karena aku berbeda. Aku sudah merasa berdaya dan puas dengan yang kumiliki dan kurasakan. Apa kupikir mereka tidak? Mereka mungkin juga jauh lebih kuat dan tegar dengan alur hidupnya. ”Mau bagaimana lagi, mbak!”.

”Mbak, besok ada kegiatan Rehabilitasi sosial keliling untuk penyandang cacat, tadi pak Kades datang mengantarkan undangannya”.

”Acaranya apa, pak?”

”Ada pelatihan beberapa skill sepertinya”.

”Dimana, pak?”

”Di Sarolangun, besok diampiri mobil dinas sosial jam tujuh. Sepertinya mobil yang dulu pernah jemput mbak Dewi pas SD itu. Siap-siap aja di depan rumah.” Aku diam saja. Mungkin Bapak tahu kalau aku bosan dengan hal-hal seperti ini. Bapak juga tahu seperti apa putrinya. Tanpa program pemberdayaan pun aku sudah berdaya.

”Mungkin mbak malah bisa membantu tim dinas sosial”. Ucap Bapak akhirnya.

”Ouo, njih, Pak lihat situasinya dulu”.

Bapak juga sudah tahu kalau aku bahkan sudah merintis lembaga training bersama teman-teman. Materi motivasi selama ini selalu ditugaskan padaku. Entah apa maksud teman-teman. Tapi aku percaya mereka memahami aku seperti aku memahami mereka. Karena aku ”provokator” J. Bermacam-macam niat tiba-tiba mampir diotakku. Aku bisa merasakan psikologis penyandang cacat. Mereka tidak akan mampu bangkit hanya dengan motivasi yang lahir dari dalam dirinya. Apalagi jika lingkungannya menekan pertumbuhan semangat itu. Sementara mereka belum memiliki nilai yang mampu membuat mereka merasa tidak sia-sia. Mungkin suatu hari nanti bisa bekerjasama dengan dinas sosial untuk pembinaan ini. Amiin.

......

Tak ada yang bisa mengerakkan hatiku selain dari membantu memenuhi kewajiban pak Kades untuk mendata dan menyertakan warganya dalam program sosial itu. Apa yang istimewa? Aku juga pernah mengikuti aktivitas serupa. Bedanya saat itu aku masih kecil. Seingatku baru kelas tiga SD. Masih imut-imut dan lucu-lucunya J. Masak sich? Iya, karena tidak ada orang lain yang serapi dan selucu diriku di tempat itu. Kita diperiksa satu persatu oleh tim medisnya. Ditanya-tanya lalu diputuskan akan diberi alat bantu seperti apa, atau perlakuan yang menurut mereka ”tepat”. Mungkin karena aku masih terlalu dini untuk memahami program ini saat itu, aku hanya melihat bapak-bapak, ibu-ibu ada juga anak-anak seusiaku yang memiliki keunikan sendiri-sendiri dan manis menurutku. Karena mereka special. Ada yang tidak punya tangan, kaki, ada yang badannya besar tapi tingkahnya seperti anak-anak, ada bayi yang tidak tumbuh sempurna dan kepalanya besar. Aku jadi berfikir, kok yang sakit begini juga ada disini? Bukannya harusnya di bawa ke rumah sakit? Oh, mungkin memang para kepala desanya hanya asal angkut saja, urusan pilih-pilih itu urusannya para medis itu. Nanti mau diperlakukan gimana, dirujuk kemana, yang penting dapat pertolongan pertama dulu. Maksudnya dibawa ke kegiatan sosial ini. Seingatku, mereka umumnya orang-orang yang menengah ke bawah. Layanan seperti ini mungkin juga membantu. Seberapa membantukah?

Dari yang lengkap ingatannya sampai yang hilang ingatannya ada disini. Antrian yang panjang, kasihan mereka. Aku tidak pernah merasa bagian dari keterpurukan nasib mereka. Perasaan nyaman itu mungkin yang membuatku beda. Aku hanya bermain saja dihalaman sekolah yang dijadikan tempat pelayanan itu. Masih dengan seragam sekolahku yang rapi. Lucunya. Ya karena saat itu, aku dijemput Bapak ke sekolah karena mau diajak hadir di kegiatan ini.

Karena perjalanan dari rumah cukup jauh, sampai siang hari begini aku masih pakai seragam sekolah. Sementara SD yang dipakai untuk acara ini sudah ditinggalkan makhluknya eh muridnya. Anak sekolahan nieh. Bangga juga rasanya. Aku merasa lebih beruntung dari mereka. Meski sama-sama penyandang cacat, masih bisa merasakan jadi anak sekolahan, tidak sekolah di SLB tapi bersama anak-anak yang katanya normal. Padahal teman-temanku juga banyak yang ”aneh”. Masak sich, anak normal kok suka aneh? Kalau diajarin gak mudeng-mudeng, nakal tidak produktif. Meski aku juga nakal, tapi kan selalu produktif. Tepatnya sering, bukan selalu! He he. Jadi apa bedanya anak SLB dengan anak-anak yang sekolah di sekolahan normal/biasa? Saat bapak-bapak tim medis itu menanyakan adabtasiku di sekolah biasa dan menanyakan kemungkinanku masuk SLB ke Bapak, aku jadi bingung sendiri. Bukankah seharusnya anak sepertiku tidak boleh didiskriminasikan? Aku juga berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Aku juga berhak menentukan mau sekolah dimana. Buatku sudah tidak penting masalah adabtasi harus dibesar-besarkan. Justru perlakuan yang khusus akan membuat anak sepertiku tidak bermetal baik. ”Dianggap beda”. Seperti anak-anak aneh yang harus dimasukkan ke penjara yang jauh dari peradaban luar. Bukankah suatu saat nanti kami juga harus berinteraksi dengan berbagai bentuk manusia? Mengapa tidak dibiarkan saja kami menjalani proses persaingan hidup bersama. Bukan perlakuan istimewa itu yang seharusnya diberikan, tapi perhatian yang benar dalam pebinaan mental kami para penyandang cacat!

Dasar anak kecil, tapi aku diam saja saat bapak ibu para medis itu tanya ini itu. Biar Bapak yang jawab. Lagian aku tetap saja juara di sekolah. Imposibble kalau Bapak mau menyekolahkan aku di SLB. Hanya cacat sedikit ini, lagian tidak menghambatku untuk bisa berfikir normal. Huuuhhh, memuakkan!

Lagi-lagi memang aku masih begitu kecil saat itu, setelah diperiksa, aku kembali bermain dan diam-diam memperhatikan orang-orang unik disekitarku. Aku tahu, mereka juga pasti tidak suka kalau kuamati terus. Mereka bisa saja jadi minder karena kondisi fisiknya. Aku paham itu. Sebisanya aku bersikap normal atau kadang melemparkan senyum imutku. Ya Allah, Engkau menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, itu pasti!

Dhin dhin dhin...suara klakson mobil dinas sosial sudah memanggilku untuk keluar rumah. ”Mbak, jemputan sudah datang”. Ibu mengingatkanku. Kali ini aku harus pergi sendiri karena aku sudah jadi mahasiswa. Lebih tepatnya sudah sarjana. Meski tidak ada yang akan menyangkanya. Apa peduliku. Tubuhku yang awet imutnya ini selalu saja menipu banyak orang. Mereka pasti berfikir kalau aku masih anak SMA atau kalau yang keterlaluan mungkin dikira masih SMP atau malah SD J. Tidak apa-apa, itu namanya awet muda!

Dulu saat SMP aku juga pernah ikut kegiatan seperti ini. Aku dapat kenang-kenangan sepasang tongkat penyangga dari dinas sosial. Ya hanya jadi kenang-kenangan karena sampai hari ini aku enggan memakai tongkat itu yang hanya membuatku tidak leluasa berjalan. Bahkan masih berada dibungkusan plastik dan kupajang saja disudut kamarku untuk dipandangi sebelum dan setelah tidur. Tapi bukan benda yang dikeramatkan lho! Lucunya, karena aku tidak punya perasaan apapun dengan selalu melihat barang menarik itu. Harusnya kan, aku menangis kalau melihat togkat itu. Bukankah itu lambang ketidakberdayaan? Ketergantungan? Tidak demikian karena aku merasa sudah mampu menerima kenyataan ini 100%. Ya, aku seorang penyandang cacat, lalu kenapa?! Kata orang-orang dari dinas sosial dulu, kata ”penyandang” dipilih karena kami hanya menyandang gelar itu saja. Toch, tidak menutup kemungkinan orang-orang yang hari ini sehat lengkap fisiknya bisa mengalami hal yang serupa dengan kami. Buatku ini pasti terasa sangat menantang.

Suatu hari teman SMP ku yang kebetulan rumahnya juga tidak jauh dari rumah dan biasa seangkot bersama, kecelakaan. Kakinya patah. Anaknya manis eh, cantik ding. Sepertinya dia begitu tertekan. Sebagai gadis cantik yang biasanya lincah dan disukai banyak anak-anak putra, sejak kejadian itu ia seperti orang yang tidak percaya diri. Bukan seperti lagi, tapi aku yakin, pasti! Dia tidak lagi berani berbicara dengan manatap lawan bicaranya. Mungkin dia merasa begitu hina. Tiap naik turun angkot, dia begitu kesulitan. Maklum, penyandang cacat baru. He he. Lho kok diketawain, biarin biar dia tahu rasanya. Bukan itu maksudku, aku hanya melatih dia untuk menerima kenyataan dan percaya bahwa ia bisa sembuh lagi. Tiap berangkat, aku selalu berusaha menemani dan mengantarkannya sampai ke dalam kelas lalu mengunjinginya saat akan pulang. Bukan karena kasihan, tapi aku bisa merasakan beratnya menyesuaikan diri dengan profile yang baru. Padahal aku sendiri juga tidak kuat-kuat amat seandainya harus menolonya saat jatuh. Tapi setidaknya aku bisa pakai jurus sakti ”teriakan minta tolong”. Aku berharap, dengan adanya teman yang memperhatikannya, hatinya jadi lebih kuat dan ini sangat baik bagi perkembangan kesehatan kakinya. Dalam pemahamanku, stimulus positif itu begitu berkesan dalam banyak penyembuhan penyakit. Gak percaya? Buktikan sendiri! Pikiran positif dan lingkungan positif yang kita rasakan akan mempercepat penyembuhan penyakit meski tanpa obat-oabatan kimia sintetis. Karena dengan rangsangan positif ini, otak akan bekerja lebih ekstra untuk mengomandoi organ-organ tubuh untuk melakukan aktivitas penyembuhan. Coba saja kalau sedang pusing, pegang bagian yang pusing dan bacakan beberapa surat pendek dari Al Qur’an sebagai stimulus positifnya dan katakan dengan yakin bahwa pusing itu akan mulai hilang perlahan-lahan. Dijamin, tambah pusing eh enggak. Insya Allah sembuh. Tapi harus tahu dulu penyebab pusingnya, kalau karena lapar ya makan obatnya. Sambil baca-baca mantra, eh maksudnya ayat-ayat tadi, pijit beberapa titik kontak syaraf yang ada di tangan dan kaki. Wah gak rampung ntar kisahnya kalau ditambah ilmu yang ini. Kalau mau belajar hubungi nomor sekian-sekian J. Back to fokus!

Untuk aku yang sudah cacat dari kecil, biasa saja dengan hidup begini. Jadi bahan tertawaan orang, teman-teman, anak-anak kecil. Di pandang dengan tatapan yang mengasihani, atau malah dianggap tidak layak dengan posisi tertentu hanya karena cacat fisik, itu mah biasaaa!. Tapi bagaimana dengan mereka yang cacatnya baru? Mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, apa yang sebelumnya mampu dilakukan sendiri menjadi begitu terbatas. Akhirnya harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal. Ketergantungan ini dan kondisi fisik yang berubah, membuat banyak orang tidak percaya lagi pada dirinya. Bahkan tidak jarang yang akhirnya lupa dengan potensi-potensi yang tersimpan dalam dirinya. Ia lebih asyik dengan aktivitas barunya. Meratapi nasib dan merasa menjadi manusia tidak berguna! Wuih,..tragis! Apalagi jika ia merupakan tulang punggung keluarga atau, harapan tempat bersandar banyak orang, ia merasa menjadi benar-benar tidak berguna. Jika tidak kuat, tidak sedikit yang akhirnya memilih bunuh diri. Na’udzubillahi mindzalik! Ya Allah, seberat itukah hidup?

...........

”Martha Dewi Samodrawati!”. Panggilan itu akhirnya sampai juga diurutan namaku. Sedari pagi aku hanya mencoba berkenalan dengan manusia-manusia unik ini. Berusaha untuk membuat mereka bahagia. Dasarnya aku memang suka bersama anak-anak, semua anak kecil yang unik ini akhirnya bisa kujinakkan! Aku satu-satunya mahasiswi di sini. Paling manis lagi (narsis!). Rasanya aku salah alamat dan nambah-nambahin pekerjaan kru dinas sosial. Harusnya aku yang membantu mereka untuk urusan seperti ini. Kemampuan bersikap simpatikku tidak akan mengecewakan. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa aku juga sering membuka praktik ”pelacur” tidak resmi. Ups, jangan salah sangka dulu, maksudku pelayanan curhat gitu lho! Jadi, seharusnyalah jika aku bisa membuat orang-orang ini nyaman dengan hadirku. Bukankah aku memang ”wanita penghibur”. Tuh, kan....dilarang berfikir negatif lho! Ini kawasan ”berikat” dan terikat (pakai apa?). Terikat pada norma-norma hati yang dibuat oleh pembaca sendiri J. Ok, deal?

Hobi kenalan rupanya ada manfaatnya juga. Aku memang sama dengan penyandang cacat lainnya, tapi bedanya aku sudah masuk bagian dari sedikit komunitas yang tercerahkan. Ya, tercerahkan adalah istilah yang paling tepat. Aku merasa telah menemukan hakikat penciptaanku dan nyaman dengan apa yang kumiliki dan rasakan. Kuberharap virus motivasi positif ini akan menular lewat sapaan, senyuman dan diskusi ringanku dengan mereka. Menjadi penyakit yang melenakan jiwa. Hingga mereka tidak peduli pada orang-orang negatif yang ada disekitarnya yang selalu menularkan aura negatifnya. Ya, orang-orang negatif memang suka bawa sial! Auranya bisa mematikan sel-sel positif yang bergejolak dalam diri mereka yang butuh disalurkan segera sebelum ia digantikan dengan sel baru atau mati mengenaskan! Yap, aku akan menularkan virus itu.

......

Siapa yang tidak senang jika dirinya merasakan sinyal-sinyal penerimaan dari target operasinya? Pun aku, meski mungkin hanya hari ini bersama mereka, aku bahagia sekali. Semoga mereka bisa bermimpi lebih tinggi dari apa yang telah kudapatkan. Karena aku juga masih punya banyak stock mimpi yang akan kuserahkan pada Penciptaku. Agar Dia mengembalikan mimpiku dengan warna-warna yang mengagumkan. Aku percaya itu!

Anak-anak ini, bapak-ibu, mas dan mbak yang ada diantaraku ini. Mereka harus tahu bahwa kondisi fisik bukanlah halangan yang berarti bagi masa depan mereka. Apalagi masa depan akhir hidup mereka. Di Palestina, seorang pria pincang dan selalu bersama kursi rodanya tetap menjadi penggelora semangat perjuangan orang-orang disekelilingnya untuk mencapai cita-cita tertinggi, asma amanina,...syahid sebagai syuhada atau hidup mulia! Siapa yang tidak mengenal pria pincang itu? Bahkan Israel bangsa yang konon very very cerdas, begitu takut dengan keberadaannya. Apalah yang bisa dilakukan oleh seorang yang cacat dan harus diantarkan oleh kursi rodanya? Apa ia bisa ikut perang, bisa melatih brigade militer atau apalah....Ternyata ada hal istimewa yang ia miliki yang mungkin tidak dimiliki oleh selainnya, karena Allah menciptakan manusia dengan kunikannya masing-masing. Kekuatan ruhiyahnya jauh lebih berbahaya dibandingkan seluruh senjata pemusnah masal mana pun buatan Israel. Kedekatannya pada Pemilik nyawa, jauh lebih dekat dari tembok ratapan Yahudi. Dialah Syekh Ahmad Yassin. Pria sederhana yang tewas dibom dan berserakan bersama kursi rodanya oleh kebiadaban Israel! Orang-orang ini, disini, pasti juga punya keistimewaan, aku percaya itu. Hanya mampukah mereka mengenali dirinya dan melejitkan potensi istimewa itu menjadi sesuatu yang dikenang oleh sejarah. Setidaknya sebagai cerita positif bagi anak cucunya kelak.

”Martha kuliah di Unja?”

”Iya, pak. Di Fakultas Hukum”

”Martha, dari dinas sosial kita punya beberapa program yang bisa Martha manfaatkan. Kita menyediakan beberapa pelatihan skill di Bandung dan Jakarta. Seperti yang Martha lihat, anak-anak tadi juga akan ditangani sesuai kebutuhannya.”

” Tadi Martha bilang sudah lulus kuliah, ya?”

”Iya, pak. Baru dua pekan yang lalu saya ujian. Karena di suruh pulang sama orangtua untuk datang di acara ini, makanya saya pulang”.

”Kalau Martha bersedia, kita bisa mengirim Martha untuk ikut pelatihan yang cocok dan Martha suka”.

”Mohon maaf bapak sebelumnya. Saya sebenarnya senang sekali jika bisa mengikuti pelatihan-pelatihan itu. Saya jadi punya skill tambahan. Tapi mohon maaf, pak. Orangtua meminta saya untuk melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan UGM tahun ini. Insya Allah akhir bulan ini saya sudah harus berangkat ke Jogja karena harus ikut test penerimaan.”

”Wah, bagus kalau begitu. Bapak bangga! Semangatmu untuk kuliah tinggi. Bapak doakan semoga apa yang Martha cita-citakan terwujud.”

”Amiin! Terima kasih, pak. Jika ada hal yang bisa kita kerjasamakan, saya bersedia dihubungi, pak. Saya bersama teman-teman di Jambi juga punya lembaga training, namanya ChaMpion Leadership Centre.”

”Hehemm. Yaa. ”Ini kartu nama Bapak. Kalau pulang ke Jambi, silakan mampir ke rumah”.

”Terima kasih sekali, pak. Saya tidak akan melupakan pengalaman ini”.

......

Hampir sore ketika aku akhirnya sampai di rumah. Mobil yang mengantarkan kami harus pula mengantarkan satu-persatu penyandang cacat yang datang di program ini. Lumayan, aku jadi bisa merasakan masuk-masuk ke beberapa desa di Sarolangun. Kondisinya beragam. Ada yang jalannya sudah diaspal, ada yang masih jalan tanah dan sangat becek setelah dilalui truk barang yang biasa mengangkut karet dan sawit. Yang pasti buatku setiap perjalanan adalah hal yang menarik. Banyak pelajaran yang tak akan pernah kuterima di bangku kuliah apalagi dengan jurusan yang kupilih. Bagaimana memahami orang-orang dengan keterbelakangan mental yang kadang ngamuk, menguatkan para penyandang cacat hanya untuk mau hadir saja di acara seperti ini, masih banyak lagi. Rupanya rasa minder yang dalam membuat kebanyakan mereka hanya berdiam diri di rumah dan terisolasi dari warga sekitar. Begitu yang kutahu dari para kru dinas sosial ini. Sabarnya mereka ya. Menjemput satu persatu, membujuk, lalu mengantarnya lagi pulang. Semoga diberi balasan yang baik. Ternyata masih ada di negeri ini orang-orang yang bisa bersikap santun kepada para penyandang cacat. Maklum, dulu sewaktu kecil aku sering merasakan sikap yang tidak simpatik kecuali hanya kasihan!

Aku harus lebih baik dari teman-teman sesama penyandang cacat itu. Meski tidak sempurna, aku masih memiliki fisik yang bisa dibawa kemana-mana. Aku masih memiliki banyak potensi yang tersimpan. Aku juga bukan anak idiot. Setidaknya tidak layak bagiku untuk meratapi kondisi dengan kekayaan ciptaan Allah atas fisikku. Hatiku. Dengan merasa tidak berguna dan menjadi beban, secara sadar atau pun tidak, aku sedang memaki Penciptaku dan menampar muka-Nya dengan keluhan-keluhanku. Mengapa aku harus diciptakan cacat? Mengapa aku tidak seberutung anak-anak lain yang memiliki dua kaki sempurna. Jika mereka ingin latihan naik motor atau nyetir mobil, mereka tinggal latihan saja. Toch, dua kakinya kuat untuk itu. Sedangkan aku, kemana-mana harus diantar. Malah dulu saat masih lumpuh, harus digendong kemana-mana.

Rahman Rahiim, aku tahu semua yang Engkau beri bagi hamba-Mu adalah adil. Aku tidak pernah tahu jika saja aku bukan penyandang cacat, entah seperti apa liarnya diriku. Atau sudah jadi apa diriku. Dan bimbingan yang selalu hadir dalam hidupku ini, selalu saja membuatku merasa kuat meski sering jatuh dan jatuh lagi dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan menyenangkan. Yach,...aku harus menerima ini. Harus!

Dulu saat aku masih kecil, aku sering ingat lagu sekolah minggu yang masih kuingat hingga hari ini. Begini kurang lebih syairnya

Ada orang buta

Duduk minta-minta

Tiap-tiap hari dipinggir jalan

Pada suatu hari

Tuhan memberkati

Karena Tuhan cinta celik matanya

Celik matanya

Celik matanya

Karna Tuhan cinta dia disembuhkan!

Aku lalu mengqiyaskan dua celik mata orang buta itu dengan kedua kakiku. Saat itu, aku percaya, bahwa satu kakiku yang sempurna juga Tuhan simpan disurga seperti halnya mata orang buta itu. Hanya tinggal menunggu waktu kapankah aku akan bertemu dengan dua kaki sempurnaku di surga. Indahnya, subhanallah...Ini pula yang rupanya membuatku merasakan kefanaan dunia dan tidak terlalu berharap banyak darinya. Karena toch, yang kuharapkan adalah bertemu dengan hal-hal yang kucintai di surga. Maka ketika aku merasakan lelah yang sangat payah karena harus berjalan kaki, saat itu aku kembali mengingat lagu ini. Menghibur diri karena mengharapkan pertemuan yang abadi. Anak kecil!

Rahiim, harusnya hari ini aku masih seperti dulu. Oh, sungguh dunia begitu melenakan!

11:41 29 Agustus 2009

Aku lebih tertarik menulis ini daripada BAB IV Tesisku,...OH L.maafkan!

Lalu adzan Dzuhur mempertemukan kembali ku pada-Nya. So nice^_^.

2 komentar:

  1. Subhanallah..., kayak crita di kick andy aja ya....heee. nice posting ukhty. lam kenal en lam ukhuwah ya...dinanti kunjungan baleknya yach.....keep on bloging!!!

    BalasHapus
  2. thank's mbak kunjungannya ^_^...Fira udah balik berkunjung, mbak. nyenengin!

    Mbak MUtia, semangat ya JSD nya..

    BalasHapus

bersikap bijak, berkata baik:)