Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Rabu, 21 Januari 2009

Selalu

Bismillah....
akhirnya mampir juga ke rumah ini. Tapi diantara pusing yang amat sangat, makanya gak bisa banyak berekspresi. Mohon doa dari muslim sedunia, segera pulih kembali seperti ketika baru lahir:) maksudnya?
Pengorbanan: Milestone Kejayaan
CatatanAkhir Tahun Ketua Himmpas
Hari masih pagi, ketika Nabi menemukan pemuda Anshor itu terpekur lesu di sudut masjid Nabawi. Nabi bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan pemuda ini? Kenapa ia duduk di masjid, sementara ini adalah saat produktif, jamkerja, waktu-waktu untuk berjuang. Rasulullah SAW menghampirinya, dan dengan segenap kelembutan sentuhan langit ia bertanya, “Ya Aba Umamah, limaa liiaraka jalisan filmasjidi fi ghairi waqtish shalah?”. “Wahai Abu Umamah,kenapa kulihat engkau duduk saja di masjid, bukankah ini belum waktunya shalat?”. Lelaki yang mulanya tertunduk itu perlahan menengadahkan wajah.Dengan duka ia mengadu, “Ya Rasulallah, aku sedang gelisah. Aku terbelit hutang…”. Nabi segera paham urusan anak muda ini. Kemudian ia bersabda,“Sahabatku, maukah kau kuberitahu sebuah perktaan, yang jika kau ucapkan makadihapuskanlah semua kegelisahanmu oleh Allah, dan dilunasi-Nya seluruh hutang-hutangmu”. Abu Umamah dengan sepenuh harap menjawab, “Tentu saja wahai Rasul yang mulia”. Rasulullah kemudian mengucapkan kata-kata keramat itu, “Diwaktu pagi dan petang, bacalah olehmu (do’a): “Allahumma inni a’udzubikaminalhammi walhazan, wa a’udzubika minal ‘ajzi walkasli, wa a’udzubikaminaljubni walbukhli, wa a’udzubika min ghalabatiddayni wa qahrirrijal”, “YaAllah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahandan kemalasan, dari kepengecutan dan kekikiran, serta dari belitan hutang danintimidasi manusia”. Kalimat-kalimat yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini kemudian menjadi do’a yang mengabadi, dibaca jutaan kaum Muslimin di sepanjang pagi dan petang. Namun do’a itu sebenarnya bukan semata-mata do’a penebus hutang. Ia punya kandungan makna yang lebih dalam. Ia berbicaratentang penguatan pilar-pilar kehidupan yang bisa membebaskan manusia dari duahal. Dua kerangkeng besar yang seringkali mengungkung manusia, memenjarakan kemerdekaan jiwanya, merusak keceriaan hari-harinya. Dua hal itu adalah hutangdan intimidasi, tekanan manusia lain. Hutang adalah simbol ketergantungan ekonomi, dan intimidasi melambangkan keterjajahan moril dan sosial.
Kini, di saat kita dihadapkan pada kenyataan pahit, bahwa kita memang tengah menjadi bangsa pengutang dan seringkali tertunduk pada bangsa lain, layak rasanya kembali me-muraja’ah, mengulang-ulang hikmah yang terkandung di dalam hadits mulia ini. Siklus Kelemahan Ada penjelasan yang runut dariNabiyullah Muhammad SAW dalam do’a ringkas yang diajarkannya tersebut, tentang siklus kelemahan. Bahwa kelemahan dan ketergantungan pada levelnya yang paling akut, sebenarnya bermula dari satu titik. Titik itu berada di hati, namanyakegelisahan (hammun). Kegelisahan adalah kondisi jiwa yang bingung untuk menemukan sikap dan tindakan yang tepat. Kegelisahan adalah kecamuk yang mendebarkan jantung secara sporadis, dalam ritme yang acak-acakan. Dan kegelisahan ini punya karib bernamakesedihan (huznun). Kesedihan merupakan kondisi di mana jiwa tak mampumenerima selisih antara keinginan dengan kenyataan, maka ia terguncang...Dua masalah hati ini kemudian terakumulasi sedemikian rupa, melahirkan kelemahan (‘ajzun). Kelemahan melahirkan kemalasan (kaslan).Perselingkuhan antara kelemahan dan kemalasan inilah yang kita sebut apatisme.
Apa selanjutnya? Tak ada. Jika jiwa telah terkungkung oleh tembok apatisme, maka pandangannya tertumbuk, bashirah-ya mengabur. Tak ada lagi semangat, tidak ada visi, tak ada keberanian. Makaitulah, Nabi mengajarkan pada kalimat berikutnya untuk terus menerus berlindung kepada Allah SWt dari deraan penyakit apatisme; kepengecutan (jubn) dan kekikiran (bukhl). Apa itu pengecut? Segala definisi tentangkepengecutan bermuara pada satu kesimpulan, keengganan mengambil resiko. Apapula itu kikir? Kikir adalah keengganan untuk berkorban.
Pengorbanan Sebagai Pilar Keutamaan
Jiwa pengecut dan lemah pengorbanan, merupakan simptom jiwa yang rusak, tua dan ringkih. Kalau jiwa semacam ini bersemayam di jasad pemuda, maka tak berguna lagi kesehatan fisik dan kebugaran raganya. Layaklah ia dikatakan pemuda tua. Bahkan mungkin kitapantas bertakbir empat kali atas kematian mereka sebelum ajal tiba.
Pengorbanan, adalah pilar keutamaan. Pengorbanan adalah spirit para pemuda. Lihatlah Ashabul Kahfi. Tertatih mereka lari meninggalkan negerinya, hijrah dari kemewahan istana untuk menjadi ‘manusia gua’. Pengorbanan itu semata mereka lakukan untuk mempertahankan kebenaran, mempertahankan prinsip, membela aqidahnya. Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya merekaa dalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi;Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran".(QSAl Kahfi; 13-14). Jiwa belia, ilmu yang menyinari hati, dan iman yang berkobar-kobar di dada mereka, menjadikan mereka pribadi-pribadi kukuh. Di hadapan Diqyanus, raja yang tiranik dan despotis,mereka mengumandangkan aqidah mereka. Menggemakan tauhid yang murni. Setelah itu tak mengapa terusir, karena tugas telah ditunaikan, amanah telah disampaikan. Inilah karakter pemuda selamanya, teguh kukuh. Inilah warna perjuangan pemuda yang sejati, deklaratif, proklamatif dan atraktif. Pemuda tak berjuang dalam sunyi. Pemuda tak sepi dari kreasi. Pemuda tak menutup diri untuk menangisi diri, tenggelam dalam kesalehan pribadi sementara lingkungannya tengah tercemari. Pemuda adalah para ahlutadhiyah, pribadi-pribadi yang rela bahkan berlomba untuk berkorban. Mereka tak pernah menutup mulutnya karena ketakutan, tak gemetar tangannya karena ancaman, tak lunglai lututnya karena tekanan dan penderitan. Ibrahim as, yang kita kaji ulang sejarah perikehidupannya pada momen ‘Iedul Adha lalu, juga merupakan pemuda ahlu tadhiyah. Di tanah Babylonia yang diwarnai angkara Namrudz, ia proklamirkan perjuangan tauhidnya. Ia lancarkan atraksi ‘basmi berhala’-nya. Setelah itu ia kalahkan pula Namrudz dalam perdebatan intelektual yang tajam. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,"orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”(QSAl Baqarah; 258)Lepas itu kita melihat hidup Ibrahim terusmenerus didera badai cobaan berkepanjangan. Dibakar di lautan api, hingga peristiwa penyembelihan Isma’il yang menggetarkan hati. Tapi itu semua berujung indah. Seluruh pengorbanan itu mengantarkan Ibrahim sebagai Imam, panutan sejarah. Maka manasiknya pun dijadikan sebagai perayaan akbar ummat ini. Perhelatan haji merupakan parade cinta, napak tilas pengorbanan Ibrahim as dan keluarganya yang diberkati. “Dan(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:‘Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’……” (QSAl Baqarah: 124)…………………………..
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa lompatan besar hanya milik mereka yang berani untuk berlari lebih kencang. Bahwa keagungan hanya milik mereka yang rela berkorban. Bahwa keutamaan hanya milik mereka yang bersedia berkontribusi lebih. Ibnul Qayyimal-Jauziyah mengatakan, “ajma’a ‘uqala-ul ummah, anna na’im laa yudrakubinna’im wa anna raahah laa tunaalu birraahah”. “Sudah menjadi pandangan umum para cendikia, bahwa kenikmatan takkan pernah digapai dengan kenikmatan, dan kelapangan tidaklah diwujudkan dengan kelapangan”. Kini kita berdiri di sini. Mematut-matut diri di depan cermin besar peradaban. Lantas kita menemukan bahwa kita adalah anak-anak zaman, yang dikaruniai oleh Allah SWT berbagai kelebihan. Kita adalah pemuda yang mendapatkan sentuhan lembut keimanan, mereguk manisnyahidayah, berhimpun dalam nikmatnya persaudaraan, terang-benderang di bawah naungan cahaya keilmuan. Maka tak layak potensi ini diabaikan. Tak patut segala keutamaan yang Allah karuniakan ini kita nikmati sendiri dalam diam. Mari mensyukurinya dengan amal. Berikan waktu, tenaga, dana, dan potensi apa saja demik emaslahatan dan kejayaan masa hadapan. Kobarkan semangat pengorbanan, bersama dalam kebaikan!
Andree S.IP (Mohon maaf, pak tulisannya bagus. Jadi saya tampilkan saja, ya. Agar banyak yang membaca. jangan berhenti menulis, pak. Terima kasih

Senin, 19 Januari 2009

N A M A

Beberapa hari ini, saya selalu di hadapkan pada ucapan seputar kata ini "nama". Anda mungkin sering mendengar beberapa ungkapan tentangnya. Ada yang mengatakan "apalah arti sebuah nama" atau justru tepisan yang menyatakan bahwa "nama adalah doa". Beberapa hari yang lalu, teman sekamarku menanyakan nama apa ya mbak yang cocok untuk dipadukan dengan kata Hanif?Dengan skenario Allah di kelas pagiku, ustadz menyingggung tentang cara orang tua memberikan nama untuk anaknya. Ada yang memberi nama panjang dan indah didengar, ada yang memberi nama yang didasarkan bagaimana ya cara memanggilnya? Intinya, mereka berfikir kalau anaknya diberi nama bla bla bla, panggilannya apa.Atau mungkin ada diantara kita yang memberi nama anpa makna hanya karena suka kosa katanya, atau bahkan nama tokoh dan lain sebagainya. Baru beberapa menit yang lalu, saya dan teman-teman pun diskusi tentang nama. Nama organisasi.Iya, benar asumsi kita ia akan menjadi identitas dari content yang ditawarkan, pastinya. Diakhir saya hanya mengatakan, dari berbagai pilihan yang bagus itu, sebagai sebuah lembaga yang akan menembus pasar umum, kesan eksklusif haruslah dihilangkan. Bukan berarti tidak memahami bahwa nama adalah hal yang penting, namu yang juga tidak kalah penting dari sebuah "label" adalah "isi". Balik ke nama anak,...Kalau buat nama, jangan lupa beri pangggilan yang baik dan bermakna, ya. Karena nama adalah panggilan yang berupa doa. Wallahu 'alam.

ekspresi menjelang adzan Dzuhur
18 Januaru 2009
Mentalitas Miskin

Siapa pun pasti mengenal realitas bangsa Indonesia yang kaya raya. Betapa tidak, negeri yang bergelar zamrud khatulistiwa ini punya aneka sumber daya alam, mulai dari tumbuhan, hasil tambang, hasil lautnya yang melimpah, belum lagi kekayaan budaya, bahasa, adat-istiadat dan banyak lagi. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang tidak memiliki potensi yang dapat dikembangkan, atau lebih tepatnya saya belum pernah mendengar itu. Segalanya telah tersedia.
Beberapa hari yang lalu, saat membuka lembar-lembar peta Indonesia karena kepentingan data lokasi buat tesis, saya justru asyik menyimak gugusan pulau-pulau di nusantara yang munggil-munggil. Mereka tersebar diantara perairan. Kiri, kanan dan bahkan sekelilingnya adalah air. Tanpa sadar, saya telah mengajak peta-peta itu bicara, “wah, pulau ini jauhnya dari propinsi induk, kecil-kecil lagi. Mana dekat dari negara ... berpotensi hilang nich.Wuih, kalau saya jadi presiden, sepertinya bakal mantenggin peta setiap hari. Mendata pulau mana yang masih jadi milikku (Indonesia), pulau mana yang belum ada sekolahnya, pulau mana yang sudah diincar tetangga sebelah de el el. Pusing juga ya. Belum harus memikirkan masalah yang lain. Pasti biaya transportasi antar pulau juga sangat mahal. Lha wong mau kemana-mana harus lewat air....”dan lain-lain komentarku yang juga didengar oleh adik sekamarku. Anda pasti berfikir, ngapain mantenggin peta mbak, bukannya ada internet, lagian presiden kan banyak staffnya. Mereka punya deskripsi kerja sendiri-sendiri. Ya, sich. Tapi tetap saja pertanggungjawabannya ada pada pemimpin. Ups,...wahai para pemimpin hati-hati, ya.(Ooo.bukankah setiap diri kita adalah pemimpin???) Baiklah, kita kembali ke jalan yang benar, eh maksudnya bahasan di atas.
Beberapa menit yang lalu, saya terlibat sebuah debat kusir dengan seorang calon akuntan (amiin) tentang warung makan. Berawal dari berita yang dimuat Republika tentang tempat makan halal di Ngayokyokartohadiningrat. Terus berhubung sudah siang, saya juga sudah merasa lapar. Dan tetangga kamar pun sama, tapi enggan keluar rumah (meski akhirnya keluar juga sich. Maturnuwun ya, dik sudah berkenan di titipi beli ma’em).
“Pesan aja, ya kalau nggak ingin keluar”.Seruku.
“Iya nie, mbak. Delivery order”. seru tetangga kamarku sembari mengeluarkan secarik menu yang bisa di pesan dan tentunya halal. Terus kita berdua jalan dech ke ruang keluarga yang biasanya menyediakan aneka makanan. Tapi nggak ada yang rasanya “rasa tuku atau rasa mbayar”:). Sampainya di ruang keluarga calon akuntan mengomentari berita dan daftar delivery order, katanya “pasti mahal. Kenapa sich, produk-produk yang bersertifikat halal itu mahal-mahal.” Lalu saya jawab “Nggak juga, coba bandingkan dengan rumah makan-rumah makan yang belum bersertifikasi halal MUI.” Dalam hati, saya mencoba membandingkan dengan beberapa menu makanan di beberapa tempat makan yang pernah saya kunjunggi. Atau memang dasar orang Sumatera, kali ya. Karena terbiasa dengan harga-harga kebutuhan yang jauh lebih mahal dari Jogja, saya tetap saja merasa pada umumnya makanan di Jogja itu murah. “Mungkin biaya sertifikasinya mahal.”lanjutku. Kemudian beliau menukas dengan argumen-argumennya tentang sertifikasi, blab bla bla. Tapi baiklah, kita tidak akan diskusikan itu sekarang. Satu hal yang membuatku terdiam adalah karena beliau bilang orang ‘Islam itu kan banyak yang miskin’. Saat jawaban tidak sepakat kulontarkan, beliau mengatakan dengan emosi, “ya, itu kan mbak”. Astaqfirullah, saya langsung terdiam dan rasanya ini sudah harus dihentikan.
Bukan masalah miskin atau kaya, menurutku. Tapi lebih dari itu, “cap buruk yang jujur sangat saya benci yang sering di tiupkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dengan mengatakan, “orang Islam identik dengan muskin, jorok, tidak professional”, entah apa lagi. Kalau masalah kondisi, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya juga masih setia menerima beasiswa dari orangtua. Itu pun tidak berlebihan. Tapi alhamdulillah, rasanya barakoh. Hal yang menarik yang ingin saya ceritakan adalah sebuah perasaan. Perasaan yang diwariskan penjajah yang berganti-ganti itu. Yang bukan hanya menjajah secara ekonomi, moral, dan sebagainya, tapi juga secara mental. Tentang bagaimana kita memandang diri kita. Saya jadi ingat tulisan seorang ketua organisasi yang berbasis gerakan sosialis. Beliau menguraikan tentang bagaimana penjajah telah menghancurkan banyak hal. Yang saya tangkap, juga menghancurkan rasa husnudzon bahkan kepada sesama anak bangsa.
Kita terlalu sering merasa diri kita lemah, tidak memiliki apapun. Jika ini konteksnya dalam urusan tauhid dan peribadatan, saya dapat menerimanya. Tapi dengan segala potensi yang kita miliki, anugrah tanah tumpah darah yang kaya masihkah kita merasa hina dan rendah? Kita lupakan debat kusir saya dengan calon akuntan di atas, karena memang ini bagian dari realitas. Memang masih banyak anak bangsa yang secara ekonomi kurang beruntung. Tapi tidak melulu kita harus terbelenggu keerbatasan tanpa karya nyata. Tidak selayaknya kita selalu merasa lemah, karena sesungguhnya kita adalah apa yang kita pikirkan. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya, mengapa tidak kita akui saja kalau kita punya potensi lalu bismillah, dengan ikhtiyar kita perbaiki kondisi yang ada. Apakah orang-orang yang hanya bisa memprotes tentang kondisi kemiskinan bangsa, sudah menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk dana kemanusiaan? Yach, minimal seratus rupiah sehari. Atau kalau belum bisa seratus, ya seribu juga tidak apa-apa.;)
Tepat kiranya istilah, dari pada mengutuk kegelapan, mending nyalakan saja lilin, obor, korek api, de el el, yang bisa meneranggi. Lebih solutifkan? Yuk, kita pakai kembali istilahnya Aa Gym yang 3M, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil dan mulai dari sekarang! Demikian pula halnya dalam membangun mentalitas kita yang sudah lama terjajah, jangan selalu merasa hina, sesungguhnya kita adalah mulia, jika kita adalah orang yang beriman. Bagaimana? Sepakat?
Luapan emosi menjelang Adzan Dzuhur

22 Muharram 1430 H/19 Januari 2009
Me, fira412@gmail.com
Dosa tak terlupakan

1 tahun 3 bulan keberadaan di kota pelajar dan budaya ini. Julukan yang konon mulai terdzolimi karena ulah pelajar dan mahasiswanya yang banyak tidak mencerminkan moral pemuda terpelajar.
7 bulan sudah dari masa itu kujalani amanah yang menyita hatiku. Aku terseok-seok menata hati, menata langkah mencoba untuk berbuat dan peduli, meski tak selalunya manis. Itulah dinamika. Dari posisi staff, akhirnya takdir menuntunku mengkomandoi sebuah departemen di HIMMPAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana). Jika aku boleh memilih, biarlah aku memilih menjadi mas’ulah (pemimpin) tapi diantara saudara-saudaraku di Jambi. Kota yang selalu kurindukan. Atau jika boleh, aku ingin ada yang membimbingku, atau minimal memotivasi atau minimal mengingatkan jika aku tak bersikap lurus pada amanah ini. Betapa tak bersyukurnya aku? Itulah dinamika.
HIngga, aku selalu meratapi kebodohanku setiap kali ingat proses-proses yang kujalani dengan amanah ini. Hingga, LPJ........ hari yang menyedihkan bagiku. Bagaimana mungkin, aku bisa memaafkan diriku?

31 Desember 2008

Momentum
Martha Dewi Samodrawati, SH. 1



Ini adalah bulan terakhir dari deretan bulan-bulan di tahun Hijriyah. Bulan yang didalamnya termuat sebuah peristiwa besar yang mengukir peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dzulhijah. Begitu dalam makna sejarah yang terkandung dari syariat qurban dan haji yang dilaksanakan mukmin yang berkemampuan di bulan ini. Setiap muslim mungkin sudah mafhum dengan dua rentetan peristiwa ini.
Dalam qurban, tersimpan pesan kejujuran wujud sebuah cinta seorang hamba pada penciptannya. Cinta yang dengannya mampu menandingi jutaan cinta selain pada-Nya, cinta yang mengugurkan hawa nafsu dan tipu daya dunia yang menggoda pandangan mata kepala. Cinta yang hanya mampu dicerna dengan pandangan mata hati dan kejujuran misi sebuah penciptaan.
Haji adalah ibadah persiapan menuju kematian. Saat segala gemerlap pakaian dunia ditanggalkan dan berganti dengan pakaian putih sebagai wujud kesiapan seorang hamba yang ingin menemui Rabbnya, saat setiap hati berharap akan ketentuan terbaik bagi dunia dan akhiratnya dengan do’a-do’a yang tak terhijab. Betapa beruntungnya mereka yang diundang Allah SWT dengan segala ketundukan seorang hamba. Tiada yang lebih diharapkan oleh seorang yang mencintai selain diundang dengan penuh kecintaan dari Kekasihnya. Semoga Allah berkenan memasukkan kita diantara para hamba yang dikasihi-Nya.
Masih di bulan ini, sebuah peristiwa besar terjadi sebagai penanda hijarahnya Rasulullah dengan awal tahun Hijriyah. Ya, beberapa hari lagi kita pun akan bertemu dengan tahun baru. Masa yang selayaknya menjadi sebuah moment instrospeksi dan menata hari-hari ke depan. Agar kita tidak menjadi orang yang rugi, yang tiap masa berlalu tak mampu membuatnya belajar dan berubah menjadi lebih baik hingga akhir hayatnya. Atau menjadi orang yang celaka, yang berinvestasi dengan hari-hari yang buruk dari sebelumnya dan menerima puncak kehidupan dengan siksaan. Na’udzubillahi mindzalik. Allah SWT telah memberikan pilihan dan bimbingan. Siapapun boleh memilih yang menurutnya terbaik. Namun alangkah tidak cerdasnya orang yang memilih kesia-siaan dan siksaan. Semoga kita menjadi orang yang beruntung, yang dari rentetan hari mampu merubah setiap momentum menjadi pemacu perubahan diri dan lingkungan menuju kebaikan, hingga mampu selalu berada dalam kebaikan.
Momentum waktu
Seringkali apa yang terjadi dalam tiap peristiwa dalam hari-hari kita hanya menjadi sebuah momentum waktu belaka. Banyak yang diingat, namun kemudian dengan mudahnya pula dilupakan. Momentum waktu hanya menyisakan pelajaran bahwa kita berpindah dari detik, menit, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya. Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa ini? Sering kali tidak banyak atau jika pun ada semua sering diukur dari ukuran materiil. Capaian kerja, usia yang makin tua, pendapatan, keuntungan dan kerugian atau deretan lain yang semua harus dapat dikalkulasikan dengan angka. Tidak salah memang, meski tidak sepenuhnya menguntungkan bagi kita.
Momentum Perubahan
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Q.S.Al Hasyr:18
Ayat di atas mengisyaratkan banyak hal. Diantaranya tentang keoptimisan dan kehidupan yang lebih baik sebagai balasan atas perbuatan yang baik (sesuai tuntunan). Sesunggguhnya ada isyarat perubahan dan peningkatan yang tidak dapat dilepaskan dari pesan tersebut. Suatu momentum perubahan yang merupakan perpindahan dari sebuah kondisi yang tidak disukai Allah SWT menuju kondisi yang disukai-Nya. Itulah sebabnya ada monitoring yang Allah jalankan dari kemahatelitian-Nya. Intinya, momentum waktu harus mampu menjadi momentum perubahan bagi diri setiap mukmin.
Tidak berubah
Ungkapan yang sangat familiar di telinga kita bahwa tidak ada yang kekal di bumi ini selain dari perubahan. Benarkah demikian? Jika kita kembali pada tiga tipikal manusia terkait dengan waktunya, yaitu orang yang beruntung yang hari ini lebih baik dari kemarin, orang yang merugi karena hari ini sama dengan kemarin dan orang yang celaka karena hari ini lebih buruk dari kemarin, maka istilah ini tidak sepenuhnya benar. Karena masih ada orang-orang yang memilih untuk menjadi bagian yang merugi, artinya ia tidak berubah menjadi buruk dan tidak pula baik. Ada hal yang statis di dalamnya.
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak mau atau tidak berubah, yaitu tidak tahu, tidak bisa dan tidak mungkin/ mustahil untuk berubah. Ketiganya hanya menjadi ukuran manusia yang hanya dapat ditilik dari sebab kejumudan seseorang. Karena dalam konteks apapun yang dipandang dari sudut keillahiyahan, maka tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi jika Allah menghendaki.
Untuk alasan pertama, yang mengatakan tidak tahu, secara manusiawi hal ini bisa jadi dapat diberikan alasan pemaaf atau alasan pembenar atas suatu tindakan, meski itu hal yang salah sekalipun. Orang akan mengatakan, “wajar saja, karena dia tidak tahu”. Jika kita bertemu dengan seorang muslimah yang belum menutup aurat dan bertanya padanya, mengapa ia tidak menutup aurat? Kemudian ia mengatakan tidak tahu atas tindakannya tersebut. Ia tidak pernah mengetahui kalau kewajiban menutup aurat itu harus ia tunaikan selaku seorang yang mengaku beragama Islam. Kita akan sedikit dapat memaklumi tindakannya, meski secara logika adalah “unik” jika seorang muslimah tidak mengerti syariat jilbab. Itulah sebabnya mengapa kemudian Allah SWT mengutus para nabi dan rasul serta menyatakan berbagai peraturan hidup dalam Al-Qur’an, agar kita tidak mengatakan “tidak tahu” jika tiba saatnya untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan, perasaan, dan lintasan pikiran yang ada. Demikian halnya ada syariat berdakwah yang dihukumi fardhu ‘ain, agar setiap diri dengan kemampuannya dapat mencerahkan pengetahuan saudaranya. Namun jika alasan tidak berubah pada tingkatan berikutnya yaitu tidak bisa, ada suatu hal yang dapat dikatakan “penyakit” yang melarbelakangi alasan ini. Apakah seorang perokok tidak tahu jika merokok akan merusak kesehatan dirinya bahkan orang lain? Rasanya mustahil, karena dalam bungkus setiap rokok pun tertulis peringatannya, kecuali bagi orang yang tidak dapat membaca atau melihat tulisan. Namun demikian, ia pasti tetap dapat merasakan efek yang ada dalam tubuhnya. Atau ia dapat mendengar informasinya dari orang lain. Demikian halnya dengan remaja yang berpacaran atau orang-orang yang suka bergosip baik menyaksikan maupun melakukan, atau seorang muslim yang lebih suka berbelanja hal-hal tidak penting ketimbang menganggarkan dananya bagi dakwah Islam atau membantu sesamanya, mereka semua tahu bahwa hal itu dilarang, tapi untuk menghentikannya, mereka akan katakan “saya tidak bisa!” JIka hal ini yang muncul, dapat dipahami bahwa apa yang di atas dimaksudkan dengan penyakit adalah, bahwa seseorang tidak berubah karena merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang menyenangkannya. Sehingga membuatnya khawatir untuk kehilanggan apa yang telah dinikmati selama ini.
Alasan berikutnya mengapa seseorang tidak berubah adalah kalimat, “tidak mungkin/mustahil”. Sesungguhnya kalimat ini adalah kalimat yang tidak manusiawi, artinya sebuah ungkapan yang melebihi batas-batas kemampuan seorang manusia biasa yang mampu menentukan akhir dari tiap pilihannya. Bukankah tidak mustahil jika suatu hari nanti, seorang yang sangat memusuhi Islam seperti George Bush akan justru masuk Islam dengan hidayah Allah? Bukankah hal ini mungkin?
Waktunya berubah
Dapat kembali diungkapkan bahwa sesungguhnya penyebab keenganan seseorang untuk berubah adalah karena tidak ingin berpisah dengan kesenangan dunia yang telah ia rasakan dan khawatir dengan akibat buruk yang tidak diinginkanya. Hal ini menjadi latarbelakang keteguhan seseorang dalam hal buruk sepanjang kehidupannya. Melihat hal ini, Allah kemudian mengingatkan dalam surat Ali Imran ayat 185:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Jika dunia hanyalah fatamorgana yang mengecoh pandangan mata, maka sebagai seorang mukmin pasti sangat merugi jika harus tertipu dengannya. Seperti seorang sahabat, Umar bin Abdul Aziz yang setelah menerima amanah kepemimpinan bukan justru mengisyaratkan sebuah kebahagiaan, namun sebuah rona bayangan beratnya pertanggungjawaban atas apa yang harus dipikulnya. Karena nikmatnya dunia hanyalah bagaikan menggoreskan tangan ke dalam air yang hanya sesaat bekasnya lalu hilang. Atau seperti seorang yang terguyur basah hujan, hanya sebentar, mungkin pula ia dapat sakit setelahnya.
Jika kita kembali mengingat peristiwa qurban nabi Ibrahim as. Kita akan merasakan suatu pelajaran besar tentang kekuatan melepaskan kesenangan dunia yang tidak lama ini lewat keikhlasan beliau melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya. Dapat kita bayangkan, betapa mahalnya harga seorang putra, apalagi dengan sejarah ujian-ujian Allah bahkan sejak Ismail masih balita. Hal lain yang pantas diikuti adalah bahwa perubahan terjadi tidak menunggu kita merasa bosan terhadap suatu hal. Karena orang yang mengatakan tidak dapat berubah menandakan bahwa ia adalah orang yang tidak cerdas, yang rela menukar kebahagiaan akhiratnya dengan kehidupan dunia yang hanya sesaat dan sedikit. Karena sungguh, kesenangan dunia itu begitu kecil jika dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat.
Seperti halnya waktu telah mengajarkan kepada kita bahwa berubah adalah sebuah keniscayaan, karena orang yang tidak mau berubah berarti ia telah membunuh waktu untuk hidupnya sendiri. Waktu selalu berputar dan berjalan ke depan, maka hanya orang yang mati sajalah kiranya yang tidak mampu lagi melakukan perubahan.
Semoga momentum tahun baru ini menjadi rangkaian perubahan menuju kebaikan bagi kita semua. Berkorbanlah meninggalkan kesenangan yang menipu dan sesaat untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal.
Wallahu 'alam bishowab.


Goresan akhir tahun di penghujung malam/26 Dzulhijah 1428 H
1 Kadep. Humas dan Media 2007/2008

"Karena Aku, mencintaimu.."

Aku masih ingat pancangan mimpi-mimpi dan harapanku yang dulu sering mengisi fantasi hayalku di usia-usia belia. Sungguh, aku kian yakin tentang “takdir”. Ia telah tertulis 50.000 tahun yang lalu di lauful mahfudz, bahkan jauh sebelum bumi ini tercipta. Tiada kekhawatiran di lintasan hari-hariku. Semuanya telah jelas. Hanya, jika aku menginginkan hal-hal terbaik, melalui doa aku dapat memintanya. Siapa tahu jika takdir yang telah tertulis itu adalah baik, dengan doa ia menjadi sinkron dan lebih baik. Namun jika takdir itu buruk, dengan doa ia menjadi baik. Subhanallah. Inilah diantara senjataku.
Bila kuingat kembali perjalanan hidupku dari kecil hingga di usia hari ini, aku belum dan tidak akan pernah merasa gundah dengan hari depanku. Meski fenomena ini justru sangat kupahami saat aku mulai belajar Islam. Dan itu pun baru setelah perguruan tinggi memfasilitasi hidayahku.
Dulu, saat kelumpuhan menemani masa kecilku dan memutus interaksiku dengan teman-teman sebayaku, aku tetap menjadi makhluk kecil yang tegar. Mungkin hampir setiap hari, aku selalu berdialog dengan kedua kakiku di antara kubangan pasir di depan rumah simbah. Hanya sejuk dan rindang pohon sawo yang tak pernah bosan menemaniku bermain. Hingga aku tak pernah merasa sendiri. Aku bisa merasakan mereka pun mampu berdialog sepertiku, seperti halnya pamanku pernah berkata, bahwa mereka pun bisa bicara, tentu dengan bahasa mereka sendiri. Ada banyak makhluk Allah yang senantiasa bertasbih, bertahmid dan bertakbir mengagungkan asma-Nya. Allah SWT, pemilik keadilan. Ketika itu, dengan dewasanya kuelus kedua kaki yang tak juga kunjung dapat kupakai untuk melangkah. Di temani suara-suara alam yang khas.
“Sikil-sikil, kapan to arep mari?” (kaki-kaki, kapan mau sembuh?), Kata-kata itu kuinggat saat entah siapa yang coba mengingatkanku tentang saat-saat kecilku. Hingga aku dapat membayangkan semua kejadian saat itu. Saat aku harus digendong jika ingin beranjak dari bawah pohon sawo tempat bermainku, saat aku mau (maaf) buang hajat, saat aku ingin merasakan bumi Allah yang di bagian lain dan saat apapun.
Apa aku juga ingin bisa berjalan seperti teman-teman yang lain? Mungkin ia. Tapi sebuah pelajaran besar yang akhirnya kudapatkan dari kelumpuhan itu adalah, aku tidak “liar” mengumbar segala keinginanku. Pun hari ini, aku bisa memahami bagaimana frustasinya orang-orang yang tidak siap mentalnya, ketika ia harus mengalami kondisi keterbatasan fisik, setelah ia merasakan nikmatnya sehat. Segalanya sudah tertulis. Kita tidak pernah tahu apakah kedua tangan kita yang hari ini masih utuh dan sehat ini, esok juga masih seperti ini? Atau kaki kita yang bisa digunakan untuk berjalan bahkan berlari, esok masih bisa menemani langkah-langkah kita dengan tegap? Hanya berusaha dan berdoa itu yang kita mampu dan bisa.
Meski aku mungkin sudah kehilangan masa kecilku sesaat, namun sungguh semuanya telah tertulis. Allah pasti memiliki scenario terbaik untukku. Dan hingga aku diberi kesempatan untuk dapat berjalan kembali, aku merasakan sebuah kehidupan yang baru lengkap dengan tantangan yang baru pula.
Semuanya pas, sesuai dengan fisikku, sesuai dengan kapasitasku. Hingga Allah SWT berkenan menolongku. Mengembalikan fitrah Islam dalam diriku.

Jumat,4 Muharram 1430 H/2 Januari 2009

Izinkan

Rahiim.........
Tempat aku selalu merasa lemah
dan tak punya daya untuk tersenyum
karena bangga.
Rahiim, tempat hatiku selau melabuhkan kesah
gundah yang ianya adalah bagian terbesar dari usiaku
gundah yang hadir dari bolak-balik hatiku
dari bisikan jahat syetan, makhluk-Mu
Rahiim,
Tempat aku merasa dihargai
sebagai seorang wanita
manusia yang dimanusiakan.
Rahiim, aku adalah seonggok rasa seorang wanita
yang berlumur dosa dan hina.
Tiap lekuk diriku bertabur maksiyat.
Tiap desah nafasku enyirat aroma fitnah.
Tiap hasrat batinku begitu manusia
Jauh...
Masih jauh dari jiwa-jiwa bermata jeli di surga-Mu.
Dari shaf-shaf tentara-Mu yang mulia.
Izinkan onggokan ini berarti saat ruhnya telah menuju panggilan-Mu.

Asma Amanina, 3 Juni 2008
20:08:57
Kangen
Kangen dengan tilawahmu yang menggetarkan jiwa
Pada kata-kata yangmenyentuh nurani
Adik remajaku yang beranjak dewasa
Aku tak bisa membayangkan Rasulullah
Tapi aku merasa begitu dekatnya Rasulullah saat dekat denganmu.

22 Juli 2008

"Terima kasih, cinta"



Cinta mengajariku untuk sabar
Menahan diri dari gejolak perlawanan
Meredam emosi dengan diam dan do’a
Lalu berbagi saat hatiku mulai jernih.
Oh indahnya,.........
Seorang yang begitu temperamental, emosional, atraktik, ekspresif sepertiku mampu dibalutnya dengan selimut “diam”.
Meski tak selalunya diam itu baik
Sebab tak ada piliha lain yang harus ditempuh selain berbuat, saat kedzaliman yang menyapa.
Seberapa pun yang kita mampu, sekuat apa pun kapasitas diri.
Tidak ada seorang pun yang suka, jika ucapannya yang benar dibantah mentah-mentah, tanpa analisa dan rasionalisasi.
Tidak ringan ternyata untuk mendapatkan emas dalam diam. Tapi memang benar “ashobru jamil”.kesabaran itu indah.....
Yan pasti di akhirnya. Mengalah bukan berarti kalah, kadang ia justru menjadi pintu hidayah.

Hikmah hari ini, 23:09
4 Muharram 1430 H/2 Januari 2009