Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Senin, 19 Januari 2009


Momentum
Martha Dewi Samodrawati, SH. 1



Ini adalah bulan terakhir dari deretan bulan-bulan di tahun Hijriyah. Bulan yang didalamnya termuat sebuah peristiwa besar yang mengukir peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dzulhijah. Begitu dalam makna sejarah yang terkandung dari syariat qurban dan haji yang dilaksanakan mukmin yang berkemampuan di bulan ini. Setiap muslim mungkin sudah mafhum dengan dua rentetan peristiwa ini.
Dalam qurban, tersimpan pesan kejujuran wujud sebuah cinta seorang hamba pada penciptannya. Cinta yang dengannya mampu menandingi jutaan cinta selain pada-Nya, cinta yang mengugurkan hawa nafsu dan tipu daya dunia yang menggoda pandangan mata kepala. Cinta yang hanya mampu dicerna dengan pandangan mata hati dan kejujuran misi sebuah penciptaan.
Haji adalah ibadah persiapan menuju kematian. Saat segala gemerlap pakaian dunia ditanggalkan dan berganti dengan pakaian putih sebagai wujud kesiapan seorang hamba yang ingin menemui Rabbnya, saat setiap hati berharap akan ketentuan terbaik bagi dunia dan akhiratnya dengan do’a-do’a yang tak terhijab. Betapa beruntungnya mereka yang diundang Allah SWT dengan segala ketundukan seorang hamba. Tiada yang lebih diharapkan oleh seorang yang mencintai selain diundang dengan penuh kecintaan dari Kekasihnya. Semoga Allah berkenan memasukkan kita diantara para hamba yang dikasihi-Nya.
Masih di bulan ini, sebuah peristiwa besar terjadi sebagai penanda hijarahnya Rasulullah dengan awal tahun Hijriyah. Ya, beberapa hari lagi kita pun akan bertemu dengan tahun baru. Masa yang selayaknya menjadi sebuah moment instrospeksi dan menata hari-hari ke depan. Agar kita tidak menjadi orang yang rugi, yang tiap masa berlalu tak mampu membuatnya belajar dan berubah menjadi lebih baik hingga akhir hayatnya. Atau menjadi orang yang celaka, yang berinvestasi dengan hari-hari yang buruk dari sebelumnya dan menerima puncak kehidupan dengan siksaan. Na’udzubillahi mindzalik. Allah SWT telah memberikan pilihan dan bimbingan. Siapapun boleh memilih yang menurutnya terbaik. Namun alangkah tidak cerdasnya orang yang memilih kesia-siaan dan siksaan. Semoga kita menjadi orang yang beruntung, yang dari rentetan hari mampu merubah setiap momentum menjadi pemacu perubahan diri dan lingkungan menuju kebaikan, hingga mampu selalu berada dalam kebaikan.
Momentum waktu
Seringkali apa yang terjadi dalam tiap peristiwa dalam hari-hari kita hanya menjadi sebuah momentum waktu belaka. Banyak yang diingat, namun kemudian dengan mudahnya pula dilupakan. Momentum waktu hanya menyisakan pelajaran bahwa kita berpindah dari detik, menit, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya. Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa ini? Sering kali tidak banyak atau jika pun ada semua sering diukur dari ukuran materiil. Capaian kerja, usia yang makin tua, pendapatan, keuntungan dan kerugian atau deretan lain yang semua harus dapat dikalkulasikan dengan angka. Tidak salah memang, meski tidak sepenuhnya menguntungkan bagi kita.
Momentum Perubahan
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Q.S.Al Hasyr:18
Ayat di atas mengisyaratkan banyak hal. Diantaranya tentang keoptimisan dan kehidupan yang lebih baik sebagai balasan atas perbuatan yang baik (sesuai tuntunan). Sesunggguhnya ada isyarat perubahan dan peningkatan yang tidak dapat dilepaskan dari pesan tersebut. Suatu momentum perubahan yang merupakan perpindahan dari sebuah kondisi yang tidak disukai Allah SWT menuju kondisi yang disukai-Nya. Itulah sebabnya ada monitoring yang Allah jalankan dari kemahatelitian-Nya. Intinya, momentum waktu harus mampu menjadi momentum perubahan bagi diri setiap mukmin.
Tidak berubah
Ungkapan yang sangat familiar di telinga kita bahwa tidak ada yang kekal di bumi ini selain dari perubahan. Benarkah demikian? Jika kita kembali pada tiga tipikal manusia terkait dengan waktunya, yaitu orang yang beruntung yang hari ini lebih baik dari kemarin, orang yang merugi karena hari ini sama dengan kemarin dan orang yang celaka karena hari ini lebih buruk dari kemarin, maka istilah ini tidak sepenuhnya benar. Karena masih ada orang-orang yang memilih untuk menjadi bagian yang merugi, artinya ia tidak berubah menjadi buruk dan tidak pula baik. Ada hal yang statis di dalamnya.
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak mau atau tidak berubah, yaitu tidak tahu, tidak bisa dan tidak mungkin/ mustahil untuk berubah. Ketiganya hanya menjadi ukuran manusia yang hanya dapat ditilik dari sebab kejumudan seseorang. Karena dalam konteks apapun yang dipandang dari sudut keillahiyahan, maka tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi jika Allah menghendaki.
Untuk alasan pertama, yang mengatakan tidak tahu, secara manusiawi hal ini bisa jadi dapat diberikan alasan pemaaf atau alasan pembenar atas suatu tindakan, meski itu hal yang salah sekalipun. Orang akan mengatakan, “wajar saja, karena dia tidak tahu”. Jika kita bertemu dengan seorang muslimah yang belum menutup aurat dan bertanya padanya, mengapa ia tidak menutup aurat? Kemudian ia mengatakan tidak tahu atas tindakannya tersebut. Ia tidak pernah mengetahui kalau kewajiban menutup aurat itu harus ia tunaikan selaku seorang yang mengaku beragama Islam. Kita akan sedikit dapat memaklumi tindakannya, meski secara logika adalah “unik” jika seorang muslimah tidak mengerti syariat jilbab. Itulah sebabnya mengapa kemudian Allah SWT mengutus para nabi dan rasul serta menyatakan berbagai peraturan hidup dalam Al-Qur’an, agar kita tidak mengatakan “tidak tahu” jika tiba saatnya untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan, perasaan, dan lintasan pikiran yang ada. Demikian halnya ada syariat berdakwah yang dihukumi fardhu ‘ain, agar setiap diri dengan kemampuannya dapat mencerahkan pengetahuan saudaranya. Namun jika alasan tidak berubah pada tingkatan berikutnya yaitu tidak bisa, ada suatu hal yang dapat dikatakan “penyakit” yang melarbelakangi alasan ini. Apakah seorang perokok tidak tahu jika merokok akan merusak kesehatan dirinya bahkan orang lain? Rasanya mustahil, karena dalam bungkus setiap rokok pun tertulis peringatannya, kecuali bagi orang yang tidak dapat membaca atau melihat tulisan. Namun demikian, ia pasti tetap dapat merasakan efek yang ada dalam tubuhnya. Atau ia dapat mendengar informasinya dari orang lain. Demikian halnya dengan remaja yang berpacaran atau orang-orang yang suka bergosip baik menyaksikan maupun melakukan, atau seorang muslim yang lebih suka berbelanja hal-hal tidak penting ketimbang menganggarkan dananya bagi dakwah Islam atau membantu sesamanya, mereka semua tahu bahwa hal itu dilarang, tapi untuk menghentikannya, mereka akan katakan “saya tidak bisa!” JIka hal ini yang muncul, dapat dipahami bahwa apa yang di atas dimaksudkan dengan penyakit adalah, bahwa seseorang tidak berubah karena merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang menyenangkannya. Sehingga membuatnya khawatir untuk kehilanggan apa yang telah dinikmati selama ini.
Alasan berikutnya mengapa seseorang tidak berubah adalah kalimat, “tidak mungkin/mustahil”. Sesungguhnya kalimat ini adalah kalimat yang tidak manusiawi, artinya sebuah ungkapan yang melebihi batas-batas kemampuan seorang manusia biasa yang mampu menentukan akhir dari tiap pilihannya. Bukankah tidak mustahil jika suatu hari nanti, seorang yang sangat memusuhi Islam seperti George Bush akan justru masuk Islam dengan hidayah Allah? Bukankah hal ini mungkin?
Waktunya berubah
Dapat kembali diungkapkan bahwa sesungguhnya penyebab keenganan seseorang untuk berubah adalah karena tidak ingin berpisah dengan kesenangan dunia yang telah ia rasakan dan khawatir dengan akibat buruk yang tidak diinginkanya. Hal ini menjadi latarbelakang keteguhan seseorang dalam hal buruk sepanjang kehidupannya. Melihat hal ini, Allah kemudian mengingatkan dalam surat Ali Imran ayat 185:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Jika dunia hanyalah fatamorgana yang mengecoh pandangan mata, maka sebagai seorang mukmin pasti sangat merugi jika harus tertipu dengannya. Seperti seorang sahabat, Umar bin Abdul Aziz yang setelah menerima amanah kepemimpinan bukan justru mengisyaratkan sebuah kebahagiaan, namun sebuah rona bayangan beratnya pertanggungjawaban atas apa yang harus dipikulnya. Karena nikmatnya dunia hanyalah bagaikan menggoreskan tangan ke dalam air yang hanya sesaat bekasnya lalu hilang. Atau seperti seorang yang terguyur basah hujan, hanya sebentar, mungkin pula ia dapat sakit setelahnya.
Jika kita kembali mengingat peristiwa qurban nabi Ibrahim as. Kita akan merasakan suatu pelajaran besar tentang kekuatan melepaskan kesenangan dunia yang tidak lama ini lewat keikhlasan beliau melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya. Dapat kita bayangkan, betapa mahalnya harga seorang putra, apalagi dengan sejarah ujian-ujian Allah bahkan sejak Ismail masih balita. Hal lain yang pantas diikuti adalah bahwa perubahan terjadi tidak menunggu kita merasa bosan terhadap suatu hal. Karena orang yang mengatakan tidak dapat berubah menandakan bahwa ia adalah orang yang tidak cerdas, yang rela menukar kebahagiaan akhiratnya dengan kehidupan dunia yang hanya sesaat dan sedikit. Karena sungguh, kesenangan dunia itu begitu kecil jika dibandingkan dengan kebahagiaan akhirat.
Seperti halnya waktu telah mengajarkan kepada kita bahwa berubah adalah sebuah keniscayaan, karena orang yang tidak mau berubah berarti ia telah membunuh waktu untuk hidupnya sendiri. Waktu selalu berputar dan berjalan ke depan, maka hanya orang yang mati sajalah kiranya yang tidak mampu lagi melakukan perubahan.
Semoga momentum tahun baru ini menjadi rangkaian perubahan menuju kebaikan bagi kita semua. Berkorbanlah meninggalkan kesenangan yang menipu dan sesaat untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal.
Wallahu 'alam bishowab.


Goresan akhir tahun di penghujung malam/26 Dzulhijah 1428 H
1 Kadep. Humas dan Media 2007/2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bersikap bijak, berkata baik:)