Selamat Datang

Assalamu'alaikum wr wb.

Di rumah ini, aku bercerita tentang banyak hal yang kualami, kupelajari, dan kutemukan hikmahnya.

ini hanya catatan harianku. Tapi bagian dari jejak sejarah yang pernah terlewati dan akan terlalui.

Terima kasih, jika ada manfaatnya untukmu, saudaraku...

salam hikmah, aku muallaf...

Wassalam

Senin, 19 Januari 2009

Mentalitas Miskin

Siapa pun pasti mengenal realitas bangsa Indonesia yang kaya raya. Betapa tidak, negeri yang bergelar zamrud khatulistiwa ini punya aneka sumber daya alam, mulai dari tumbuhan, hasil tambang, hasil lautnya yang melimpah, belum lagi kekayaan budaya, bahasa, adat-istiadat dan banyak lagi. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang tidak memiliki potensi yang dapat dikembangkan, atau lebih tepatnya saya belum pernah mendengar itu. Segalanya telah tersedia.
Beberapa hari yang lalu, saat membuka lembar-lembar peta Indonesia karena kepentingan data lokasi buat tesis, saya justru asyik menyimak gugusan pulau-pulau di nusantara yang munggil-munggil. Mereka tersebar diantara perairan. Kiri, kanan dan bahkan sekelilingnya adalah air. Tanpa sadar, saya telah mengajak peta-peta itu bicara, “wah, pulau ini jauhnya dari propinsi induk, kecil-kecil lagi. Mana dekat dari negara ... berpotensi hilang nich.Wuih, kalau saya jadi presiden, sepertinya bakal mantenggin peta setiap hari. Mendata pulau mana yang masih jadi milikku (Indonesia), pulau mana yang belum ada sekolahnya, pulau mana yang sudah diincar tetangga sebelah de el el. Pusing juga ya. Belum harus memikirkan masalah yang lain. Pasti biaya transportasi antar pulau juga sangat mahal. Lha wong mau kemana-mana harus lewat air....”dan lain-lain komentarku yang juga didengar oleh adik sekamarku. Anda pasti berfikir, ngapain mantenggin peta mbak, bukannya ada internet, lagian presiden kan banyak staffnya. Mereka punya deskripsi kerja sendiri-sendiri. Ya, sich. Tapi tetap saja pertanggungjawabannya ada pada pemimpin. Ups,...wahai para pemimpin hati-hati, ya.(Ooo.bukankah setiap diri kita adalah pemimpin???) Baiklah, kita kembali ke jalan yang benar, eh maksudnya bahasan di atas.
Beberapa menit yang lalu, saya terlibat sebuah debat kusir dengan seorang calon akuntan (amiin) tentang warung makan. Berawal dari berita yang dimuat Republika tentang tempat makan halal di Ngayokyokartohadiningrat. Terus berhubung sudah siang, saya juga sudah merasa lapar. Dan tetangga kamar pun sama, tapi enggan keluar rumah (meski akhirnya keluar juga sich. Maturnuwun ya, dik sudah berkenan di titipi beli ma’em).
“Pesan aja, ya kalau nggak ingin keluar”.Seruku.
“Iya nie, mbak. Delivery order”. seru tetangga kamarku sembari mengeluarkan secarik menu yang bisa di pesan dan tentunya halal. Terus kita berdua jalan dech ke ruang keluarga yang biasanya menyediakan aneka makanan. Tapi nggak ada yang rasanya “rasa tuku atau rasa mbayar”:). Sampainya di ruang keluarga calon akuntan mengomentari berita dan daftar delivery order, katanya “pasti mahal. Kenapa sich, produk-produk yang bersertifikat halal itu mahal-mahal.” Lalu saya jawab “Nggak juga, coba bandingkan dengan rumah makan-rumah makan yang belum bersertifikasi halal MUI.” Dalam hati, saya mencoba membandingkan dengan beberapa menu makanan di beberapa tempat makan yang pernah saya kunjunggi. Atau memang dasar orang Sumatera, kali ya. Karena terbiasa dengan harga-harga kebutuhan yang jauh lebih mahal dari Jogja, saya tetap saja merasa pada umumnya makanan di Jogja itu murah. “Mungkin biaya sertifikasinya mahal.”lanjutku. Kemudian beliau menukas dengan argumen-argumennya tentang sertifikasi, blab bla bla. Tapi baiklah, kita tidak akan diskusikan itu sekarang. Satu hal yang membuatku terdiam adalah karena beliau bilang orang ‘Islam itu kan banyak yang miskin’. Saat jawaban tidak sepakat kulontarkan, beliau mengatakan dengan emosi, “ya, itu kan mbak”. Astaqfirullah, saya langsung terdiam dan rasanya ini sudah harus dihentikan.
Bukan masalah miskin atau kaya, menurutku. Tapi lebih dari itu, “cap buruk yang jujur sangat saya benci yang sering di tiupkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dengan mengatakan, “orang Islam identik dengan muskin, jorok, tidak professional”, entah apa lagi. Kalau masalah kondisi, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya juga masih setia menerima beasiswa dari orangtua. Itu pun tidak berlebihan. Tapi alhamdulillah, rasanya barakoh. Hal yang menarik yang ingin saya ceritakan adalah sebuah perasaan. Perasaan yang diwariskan penjajah yang berganti-ganti itu. Yang bukan hanya menjajah secara ekonomi, moral, dan sebagainya, tapi juga secara mental. Tentang bagaimana kita memandang diri kita. Saya jadi ingat tulisan seorang ketua organisasi yang berbasis gerakan sosialis. Beliau menguraikan tentang bagaimana penjajah telah menghancurkan banyak hal. Yang saya tangkap, juga menghancurkan rasa husnudzon bahkan kepada sesama anak bangsa.
Kita terlalu sering merasa diri kita lemah, tidak memiliki apapun. Jika ini konteksnya dalam urusan tauhid dan peribadatan, saya dapat menerimanya. Tapi dengan segala potensi yang kita miliki, anugrah tanah tumpah darah yang kaya masihkah kita merasa hina dan rendah? Kita lupakan debat kusir saya dengan calon akuntan di atas, karena memang ini bagian dari realitas. Memang masih banyak anak bangsa yang secara ekonomi kurang beruntung. Tapi tidak melulu kita harus terbelenggu keerbatasan tanpa karya nyata. Tidak selayaknya kita selalu merasa lemah, karena sesungguhnya kita adalah apa yang kita pikirkan. Bukankah Allah sesuai persangkaan hamba-Nya, mengapa tidak kita akui saja kalau kita punya potensi lalu bismillah, dengan ikhtiyar kita perbaiki kondisi yang ada. Apakah orang-orang yang hanya bisa memprotes tentang kondisi kemiskinan bangsa, sudah menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk dana kemanusiaan? Yach, minimal seratus rupiah sehari. Atau kalau belum bisa seratus, ya seribu juga tidak apa-apa.;)
Tepat kiranya istilah, dari pada mengutuk kegelapan, mending nyalakan saja lilin, obor, korek api, de el el, yang bisa meneranggi. Lebih solutifkan? Yuk, kita pakai kembali istilahnya Aa Gym yang 3M, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil dan mulai dari sekarang! Demikian pula halnya dalam membangun mentalitas kita yang sudah lama terjajah, jangan selalu merasa hina, sesungguhnya kita adalah mulia, jika kita adalah orang yang beriman. Bagaimana? Sepakat?
Luapan emosi menjelang Adzan Dzuhur

22 Muharram 1430 H/19 Januari 2009
Me, fira412@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bersikap bijak, berkata baik:)